PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SD
DALAM KURIKULUM 2013
Dr.Dyah Sulistyowati,M.Pd.
Pengawas TK/SD Dinas Dikpora Kab. Karanganyar
dyah_mpd@yahoo.co.id
Abstract
In the elementary school curriculum 2013 uses a
thematic-integrative and scientific approach in addition to the communicative
approach in learning. The function of Indonesian language learning as a carrier
of knowledge for another lesson. Indonesian lesson also takes role as a
character building for students. Because through Indonesian lesson learning
process, knowledge, skill and behavior can be achieved.
“Language
is a system of arbitrary
conventionalized vocal, written, or gestural symbols that enable members
of given community to communicate intelligibly with one another.” The language
teacher needs to know something about the system of communication that we call
language.
An
important trend in language teacher development in recent years has been a move
away from the teacher as passive recipient and implementer of other people syllabuses
and methods, towards the idea of the teacher as an active creator. The new
paradigm of learning process needs creative teacher in selecting language
approach and creating active class.
A
constructivism paradigm as a new paradigm in teaching learning process of
Indonesian and literacy, emphasized on active processes. Besides that, teacher
shouldn’t give knowledge to the student only. Students must build their
knowledge, as a teacher we just help them to reach the objective by guiding to
learn how to do something giving instruction and providing with knowledge.
1.
Pendahuluan
Pembelajaran
Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar berdasarkan kurikulum 2013
menganut pendekatan tematik integratif dengan tetap menekankan pada
pendekatan komunikatif. Artinya, dalam implementasinya pembelajaran
bahasa Indonesia terintegrasi dengan matapelajaran lain, yang
lebih menekankan pada aspek komunikatif dan fungsional. Yang harus diajarkan
ialah bahasa sebagai alat komunikasi. Siswa diajak belajar bahasa secara
komunikatif untuk bekal kecakapan hidupnya, baik soft skills maupun hard skills, sehingga bahasa merupakan sesuatu yang
fungsional bagi kehidupan siswa. Dalam pengembangan
kurikulum 2013, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan carrier of knowledge. Maksudnya, disamping bahasa Indonesia
diajarkan sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai penghela bagi mata
pelajaran lainnya. Lewat pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa dapat belajar
materi pelajaran lainnya, karena topik yang dibahas dalam berkomunikasi diintegrasikan
dengan kompetensi inti yang terintegrasi dengan matapelajaran lainnya, sehingga
matapelajaran bahasa Indonesia lebih sebagai penghela matapelajaran lainnya, baik
dalam pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Karena perannya tersebut, bahasa
Indonesia sekaligus berfungsi sebagai pembentuk karakter siswa.
Arah
pembelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum Bahasa kurikulum 2013
lebih menekankan keterlibatan anak dalam belajar, membuat anak secara aktif
terlibat dalam proses pembelajaran. Pendekatan dalam kurikulum
2013 ini menggunakan pendekatan scientifik, lebih mendekati apa
yang dikemukakan John Dewey dengan konsep learning by doing. Hal ini
sesuai dengan paradigma pendidikan yang harus bergeser dari belajar yang
berfokus pada penguasaan pengetahuan kepada belajar
holistik realistis yang lebih bermakna. Pembelajaran bahasa Indonesia lebih menekankan pada
proses dari pada hasil belajar semata, sehingga dengan menekankan proses
pembelajaran akan dimungkinkan pembentukan karakter anak lewat pembentukan
keterampilan dan sikap, disamping berperan mencerdaskan intelektual siswa.
Hal tersebut di atas, selaras dengan laporan
Comission on Education for the Twenty- first Century pada Unesco 1996 (dalam
Sudjana, 2003), bahwa pendidikan sepanjang hayat sebagai pandangan yang
ditopang empat pilar, yaitu: (1) learning to know dan learning to learn,
yaitu belajar untuk memperoleh pengetahuan dan belajar untuk belajar, (2) learning
to do, yaitu belajar untuk memiliki kompetensi dasar dalam hubungan dengan
situasi kerja, (3) learning to live together, yaitu belajar untuk mampu
mengapresiasi dan mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman,
(4) learning to be, yaitu belajar untuk
mengaktualisasikan diri sebagai individu.
Pembelajaran
bahasa Indonesia selain dengan pendekatan komunikatif, juga harus dilaksanakan secara tematik integratif/terpadu.
Pendekatan terpadu merupakan seperangkat wawasan dan aktivitas guru dalam
merancang butir- butir pembelajaran yang diharapkan dapat menguntai tema,
topik, konsep, maupun pemahaman dan keterampilan yang diperoleh murid secara
utuh. Arah dan tujuan pembelajaran terpadu menurut Frazee dan Rosse (1995)
mengarah pada pembentukan pemikiran anak- anak secara utuh, karena secara
kodrati anak- anak terutama usia sekolah dasar (SD) memandang sesuatu selalu
dengan pandangan yang utuh dan meyeluruh. Alasan lain, karena dalam kehidupan
sehari-hari, anak- anak menggunakan bahasa tidak secara per bagian, melainkan
secara utuh. Oleh karena itu, akan lebih baik bila pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah, diarahkan untuk menuju pemahaman dan penggunaan secara
utuh. Megawangi (2005:6) mengutip pendapat David Orr yang mengatakan bahwa ”isu-
isu terbesar saat ini ialah kegagalan kita dalam melihat segala sesuatu secara
keseluruhan”. Kegagalan tersebut terjadi ketika siswa terbiasa
berpikir terkotak- kotak dan tidak diajarkan bagaimana berpikir secara
keseluruhan dan melihat keterkaitan antar kotak- kotak tersebut.
Hal
senada juga dikatakan Fijrof Capra (dalam Megawangi, 2005),
bahwa hasil belajar yang terkotak- kotak menjadikan manusia tidak mampu melihat
keseluruhan dari setiap fenomena. Akibatnya, banyak solusi yang dilakukan
manusia dalam menghadapi berbagai segi kehidupan didekati pula dengan parsial,
sehingga tidak dapat menyelesaikan masalah, tetapi justru memperburuknya.
Akhir-akhir ini banyak pihak sedang begitu
bersemangat membicarakan Kurikulum 2013.
Kurikulum ini diluncurkan sebagai alternatif untuk memperbaiki dan mengubah paradigma pendidikan dari pendidikan yang
berorientasi kognitif menjadi pendidikan yang berorientasi skill. Dalam bidang
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, materi pembelajaran diarahkan pada
penguasaan keterampilan berbahasa seperti menyusun resensi, pidato, laporan,
karya tulis, menulis puisi dsb, topik pembahasannya diintegrasikan dengan kompetensi inti matapelajaran
lainnya.
Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah dengan konsep seperti itu akan terjadi
perubahan mendasar dalam pembelajaran di tingkat sekolah, ataukah konsep
tersebut sekedar menjadi konsep ideal sementara praktik
pembelajaran di kelas kembali ke pola lama? Apakah konsep tersebut merupakan
persoalan dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, atau mentalitas dan
kemampuan guru dalam pembelajaran?
Tulisan
ini akan membahas tentang paradigma baru pembelajaran bahasa dan sastra,
sebagai alternatif tawaran dalam meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia berdasarkan kurikulum 2013.
2.
Makna paradigma
pembelajaran
Paradigma
dapat dimaknai sebagai model pola, contoh (John M. Echols dan Hassan Shadily,
An English-Indonesian Dictionary, 1990), sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) paradigma dimaknai sebagai model
dalam teori ilmu pengetahuan; dan kerangka berpikir. Dapat disimpulkan bahwa
paradigma pembelajaran adalah kerangka berpikir yang berdasarkan pada pandangan
tertentu mengenai model pola pembelajaran yang diharapkan.
Paradigma
pembelajaran sangat diwarnai oleh perkembangan teori belajar yang sedang
berkembang. Pada saat paradigma behavioristic yang menekankan paradigma
S-R dalam belajar, berpandangan bahwa pembelajaran menekankan pada penumpukan materi yang perlu
ditransformasikan kepada siswa, sehingga dalam pembelajaran guru banyak
memberikan latihan-latihan (drill). Dengan demikian proses belajar menurut
behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanik dan
otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu di dalam diri siswa
yang belajar (Galloway, 1976; dalam Toeti Soekamto dkk.). Namun sejalan dengan
perkembangan teori belajar konstruktivistik, paradigma pembelajaran berubah
dari sekedar transformasi materi kepada siswa menuju kepada pembelajaran
bermakna yang memberi peluang yang cukup kepada siswa untuk mengkonstruk
pemahamannya sendiri berdasarkan pengalaman belajar yang bermakna.
Konstruktivistik merupakan paradigma alternative yang muncul sebagai dampak
dari revolusi ilmiah yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir ( Kuhn,
1970 ; dalam Paulina Panen dkk.).
3.
Paradigma baru
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
Paradigma baru pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
dapat dimaknai sebagai model pola baru yang berkembang dalam pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia. Sejalan dengan perkembangan filsafat yang sedang
berkembang mempengaruhi pendekatan dalam pembelajaran termasuk dalam
pembelajaran bahasa dan sastra. Sejalan dengan paradigma di atas, pengajaran
bahasa dan sastra harus disajikan dalam kegiatan berbahasa (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis). Pembelajaran bahasa bertujuan memberi bekal
kepada siswa untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Ini tidak berarti
pembelajaran pengetahuan bahasa, grammer dan kosa kata tidak penting, hal
tersebut tetap diperlukan untuk melengkapi pengetahuan siswa tentang
aturan-aturan penggunaan kaidah berbahasa untuk diaplikasikan dalam konteks
keterampilan berbahasa. Pendekatan terpadu dalam pembelajaran
bahasa Indonesia mengacu pada pernyataan Goodman (1986) tentang kurikulum, bahwa pengajaran bahasa dan pengajaran bidang studi lain
(yang dilaksanakan dengan menggunakan bahasa sebagai media penyajian) merupakan
kurikulum yang bersifat ganda. Artinya, pengajaran bahasa dan isi dari bidang
studi lain bersama- sama menjadi bagian dari kurikulum secara utuh.
Demikian pula keterpaduan dalam bidang studi bahasa
Indonesia, Goodman dalam pandangannya tentang pengajaran bahasa menyatakan
bahwa keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak tidak dipandang
sebagai komponen yang terpisah-pisah untuk diajarkan sendiri- sendiri. Hal ini
juga diisyaratkan dalam rambu- rambu kurikulum bahasa Indonesia, baik dalam KTSP maupun kurikulum 2013 ”Kompetensi dasar
mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dan apresiasi sastra
sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu” (Depdiknas,
2003). Arah dan tujuan
pendekatan terpadu menurut Fraze dan Rosse ( 1995) mengarah pada pembentukan
pemikiran siswa secara utuh, karena secara kodrati siswa usia SD memandang
sesuatu selalu secara utuh dan menyeluruh. Alasan lain, karena dalam kehidupan
sehari hari siswa menggunakan pengetahuan tidak secara perbagian, tetapi secara
utuh. Oleh karena itu, lebih baik bila pembelajaran di sekolah diarahkan untuk
menuju pemikiran secara utuh tersebut. Jika dibandingkan dengan pendekatan kontekstual, pendekatan terpadu tampaknya
lebih menekankan keterlibatan siswa dalam belajar. Siswa dibuat dan dikondisikan secara aktif terlibat dalam dalam
proses pembelajaran dan pembuatan keputusan secara utuh. Pendekatan ini memungkinkan terjadinya sesuatu yang dikemukakan oleh Jhon
Dewey ( Depdiknas, 2006) dengan konsep learning by doing. Pendekatan ini
berangkat dari teori pembelajaran yang menolak drill sebagai dasar pembentukan
pengetahuan struktur intelektual siswa. Karena kurikulum 2013 mengamanatkan pembelajaran termasuk pembelajaran bahasa
Indonesia harus dapat mewujudkan hasil belajar siswa yang produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif.
Slamet Soewandi (1993:4) mengatakan
bahwa studi interdisipliner mampu memberikan kesadaran baru, bahwa tujuan pengajaran bahasa bukanlah demi dikuasainya
kemampuan linguistik semata-mata, melainkan demi dikuasainya kemampuan
linguistik untuk tujuan berkomunikasi secara riil, atau dicapainya kemampuan komunikatif pada diri siswa. Jika kita
konsisten pada tujuan pembelajaran tersebut, titik berat materi pembelajaran akan diletakkan pada praktik penggunaan bahasa. Namun kenyataan yang terjadi dalam
pembelajaran sehari-hari di sekolah justru
sebaliknya. Materi ketatabahasaan dan teori-teori menjadi bahan pembelajaran
utama. Jarang sekali guru memberi tugas untuk menulis dan menciptakan karya
sastra.
Sebagian guru dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia enggan
berubah, kecenderungan menganut paradigma lama masih dipertahankan, sehingga
pola pembelajaran dari tahun ke tahun hampir sama. Bahkan banyak di antara guru yang apriori dengan perubahan, baik perubahan
kurikulum maupun perkembangan ilmu pengetahuan. Sikap seperti ini akan
menghambat upaya pembaharuan dalam bidang pembelajaran. Pada akhirnya,
pembelajaran yang terfokus pada ketatabahasaan dan teori tetap terjadi, walaupun kurikulum dan tujuan pembelajarannya berubah.
Di bawah ini disajikan beberapa
ciri-ciri paradigma baru pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme
(dalam Mulyasa, 2005: 240) antara lain:
•
Pembelajaran berpusat pada siswa (mengikuti filsafat
progresivisme), lingkungan merupakan pusat bagi siswa, kekuatan dan tanggung
jawab yang utama berpusat pada diri siswa.
•
Guru menjadi fasilitator dan kreator yang menyusun
skenario pembelajaran.
•
Siswa mandiri, tidak dikontrol oleh guru.
•
Berfokus pada proses, artinya siswa ikut dalam proses
pengolahan dan penerimaan informasi/konsep materi.
•
Siswa belajar secara independent tidak tergantung pada
guru.
•
Pembelajaran dapat independent, cooperative, ataupun collaborative.
•
Siswa mengevaluasi diri sendiri membuat keputusan
sendiri, dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri . Karena itu,
mereka dapat secara tuntas memahami pengetahuannya.
•
Siswa mengembangkan kemampuan menjawab pertanyaan “how”
dan “why” bukan hanya “what” dan “when”.
•
Siswa aktif menyimpulkan dan mensintesiskan pengetahuan
dari berbagai sumber.
•
Pembelajaran di kelas dapat diperkaya dan pelaksanaan
pembelajaran fleksibel, tidak harus selalu di dalam kelas.
•
Guru di samping fasilitator dan kreator, juga sumber ajar
dan patner bagi siswa.
Menurut teori konstruktivis, satu prinsip yang paling penting dalam
psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam
benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi
kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan
mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka
sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa
ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus
memanjat anak tangga tersebut (Nur, 2002:8).
Implikasi dari pandangan konstruktivisme tersebut dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menurut Aminuddin (1996) sebagai
berikut:
1. Perencanaan pengajaran harus dilandasi pemahaman karakteristik proses
berpikir siswa dalam mengolah, menghayati, dan mengkonseptualisasikan isi
pemilihan materi, dan kegiatan pembelajarannya. Hal ini perlu diperhatikan
karena perumusan tujuan, pemilihan materi, dan kegiatan pembelajaran akan
menentukan resepsi, penghayatan, pengolahan informasi, dan rekonstruksi
pemahaman
2. Proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia bukan hanya ditujukan pada
upaya pengembangan kemampuan berkomunikasi semata- mata. Lebih dari itu, materi
pembelajarannya harus dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan
berpikir, daya nalar maupun bentuk-bentuk aktivitas lain.
3. Pengorganisasian materi dan kegiatan pembelajaran, idealnya selain memberi
peluang terjadinya pembelajaran individual juga harus memberi peluang
terjadinya proses pembelajaran secara kelompok.
4. Materi pelajaran yang secara formal disajikan di sekolah bukan merupakan
satu-satunya sumber isi pembelajaran. Siswa dapat memanfaatkan lingkungan
sosial budaya di luar sekolah sebagai sumber belajar. Agar pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh lewat pembelajaran di kelas memiliki relevansi,
memiliki nilai fungsional, dan bermanfaat bagi kehidupan siswa, dalam menelaah
dan menyusun materi pelajaran guru hendaknya memperhitungkan pertaliannya
dengan keperluan dan lingkungan kehidupan sosial budaya siswa.
4. Hubungan Paradigma Baru Pembelajaran Bahasa dan Sastra
dengan Pendekatan Komunikatif
Paradigma baru pengajaran bahasa berhubungan erat dengan
pendekatan komunikatif dalam belajar bahasa, hal ini bukan merupakan hal yang
baru, pendekatan ini sudah dicanangkan sejak kurikulum 1994 dan masih dipertahankan pada kurikulum 2013 ini, namun kenyataannya hingga sekarang masih banyak guru masih bertahan
dengan pendekatan lama, yakni menekankan materi pembelajaran tatabahasa.
Dalam rambu- rambu kurikulum 2013, tersurat bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk
berkomunikasi. Komunikasi dimaksud adalah suatu proses penyampaian maksud
kepada orang lain dengan menggunakan saluran tertentu. Maksud komunikasi dapat
berupa pengungkapan pikiran, gagasan, ide, pendapat, persetujuan, keinginan
penyampaian informasi suatu peristiwa. Menurut Littlewood (dalam Zuchdi dan Darmiyati,
1997:34) pendekatan komunikatif didasarkan pada pemikiran sebagai berikut:
- Pendekatan komunikatif membuka
diri bagi pandangan yang lebih luas tentang bahasa. Hal ini terutama
dilihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tatabahasa dan kosa kata, tetapi
juga pada fungsinya sebagai sarana berkomunikasi.
- Pendekatan komunikatif membuka
diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa. Hal ini
menimbulkan kesadaran bahwa mengajarkan bahasa, tidak cukup dengan
memberikan bentuk- bentuk asing kepada siswa, tetapi siswa harus mampu
mengembangkan cara-cara menerapkan bentuk itu sesuai dengan fungsi bahasa
sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang tepat.
Paradigma baru pengajaran bahasa yang komunikatif nampak
lebih humanistik, yaitu sentralisasi kegiatan lebih banyak berada pada diri siswa. Guru hanya sebagai fasilitaror, siswa diberi kebebasan, otonomi, tanggung jawab dan
kreativitas yang lebih besar dalam proses belajar (Stevik, dalam Sumardi,
1992). Dalam kegiatan komunikatif, guru berperan sebagai individu yang
diharapkan memberi nasihat, memantau kegiatan siswa, menentukan latihan dan memberikan bimbingan.
Tujuan pengajaran bahasa menurut pendekatan komunikatif
adalah: 1) mengembangkan kompetensi
komunikatif siswa, yaitu kemampuan menggunakan bahasa yang dipelajarinya itu
untuk berkomunikasi dalam berbagai situasi dan konteks, 2) meningkatkan penguasaan keempat keterampilan berbahasa
yang diperlukan dalam berkomunikasi. Adapun materi pelajaran utamanya ialah: a)
empat keterampilan berbahasa, b) fungsi-fungsi bahasa yang diperlukan siswa,
seperti fungsi bertanya, menjawab, menyapa, menyangkal, mengajukan pendapat,
dan lain- lain. Siswa dilatih menggunakan bahasa untuk berbagai fungsi tersebut
sebagai alat komunikasi.
Meskipun penggunaan bahasa dalam berbagai fungsinya memerlukan dukungan pemahaman aspek
kebahasaan, sama sekali bukan berarti bahwa bila siswa telah memahami perihal
fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik lalu siswa terampil berbahasa.
Menurut Aminuddin (1996), siswa memahami dan terampil berbahasa justru karena
mereka menghayati penggunaan bahasa dalam berbagai fungsinya.
Pembelajaran di SD menggunakan pendekatan tematik
integratif, dimana pemisahan antar matapelajaran tidak begitu nampak, yang
menggunakan proses pendekatan scientifik
dalam pembelajaran. Peran bahasa dalam pembelajaran sebagai penghela bagi
matapelajaran lainnya. Matapelajaran bahasa Indonesia sebagai media penyajian,
sedangkan matapelajaran lainnya lebih pada posisi contentnya. Hal tersebut dapat diwujudkan dalam pembelajaran yang
tematik integratif. Sebagaimana pemahaman perihal
kebahasaan, pemahaman bagaimana menggunakan bahasa dalam kegiatan menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis juga harus didasarkan pada aktivitas kegiatan
berbahasanya.
5. Teknik yang Dapat Dikembangkan Guru di Kelas
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar diselenggarakan
berdasarkan Silabus yang dikembangkan berdasarkan kurikulum 2013 yang berbasis
kompetensi, dilaksanakan dengan pendekatan tematik dan integratif, serta
pendekatan scientifik. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia didasarkan pada
tema tertentu yang berfungsi sebagai pengikat proses komunikasi. Kompetensi
dasar yang dikembangkan dari kompetensi inti, harus diajarkan mencakup aspek
mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan apresiasi sastra. Untuk tingkat
sekolah dasar apresiasi sastra ini tidak berdiri sendiri, tetapi terintegrasi
ke dalam keempat aspek keterampilan berbahasa. Pendekatan tematik dan
integratif didasarkan pada kenyataan bahwa proses komunikasi yang sesungguhnya
terjadi karena adanya ikatan tema tertentu. Dalam proses komunikasi tidak hanya
melibatkan satu aspek kemahiran saja, melainkan melibatkan dua atau lebih
aspek, misal mendengarkan dengan berbicara, membaca dan menulis, atau bahkan semua aspek dapat dilakukan secara
bersama-sama. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara integratif dapat
digambarkan sebagai berikut :
Guru bahasa dan
sastra Indonesia dalam merancang pembelajaran harus didasarkan pada tema
tertentu dan dilaksanakan secara terintegrasi. Tugas guru adalah membelajarkan
siswa serta menciptakan situasi dan kondisi, agar siswa belajar secara optimal
untuk berlatih terampil berbahasa agar kompetensi yang diharapkan dapat
tercapai. Dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang dirancang
guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri secara
aktif dalam bentuk berlatih, berlatih, dan berlatih menggunakan bahasa.
Integratif berarti menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses. Misalnya,
menyimak diintegrasikan dengan berbicara dan menulis, menulis diintegrasikan
dengan berbicara dan membaca. Materi kebahasaan diintegrasikan dengan
keterampilan berbahasa. Saat mengajarkan kalimat, guru tidak secara langsung
menyodorkan materi kalimat kepada siswa, tetapi diawali dengan membaca atau kegiatan aspek lainnya.
Perpindahannya diatur secara tipis, bahkan guru yang pandai mengintegrasikan
penyampaian materi dapat menyebabkan siswa tidak merasakan perpindahan materi
pengintegrasiannya diaplikasikan sesuai dengan kompetensi dasar yang perlu
dimiliki siswa. Materi tidak dipisah-pisahkan, tapi justru merupakan kesatuan
yang perlu dikemas secara menarik.
Pendekatan tematik
dimaksudkan bahwa semua komponen materi diintegrasikan ke dalam tema yang sama
dalam satu unit pertemuan. Yang perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan,
tetapi merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan disajikan secara
kontekstualitas, kontemporer, konkret,
dan konseptual. Tema yang telah ditentukan haruslah diolah sesuai dengan perkembangan di lingkungan
siswa yang terjadi saat ini. Budaya,
sosial, dan religiusitas mereka harus menjadi perhatian. Begitu pula isi tema
harus disajikan secara kontemporer, sehingga siswa senang. Apa yang terjadi
sekarang di lingkungan siswa harus terbahas dan didiskusikan di kelas. Tema
tidak disajikan secara abstrak, tetapi diberikan secara konkret, sehingga semua
siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan logika yang dipunyainya. Konsep-konsep
dasar tidak terlepas. Siswa berangkat dari konsep ke analisis atau dari
analisis ke konsep kebahasaan, penggunaan, dan pemahaman. Penekanan materi pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013
topiknya diintegrasikan berdasarkan kompetensi inti pada tiap jenjang kelas,
sehingga siswa dalam belajar berbahasa sekaligus belajar menguasai kompetensi
inti bersamaan belajar matapelajaran lainnya.
Peran guru sangat
menentukan dalam mendesain kesuksesan pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah
dasar, oleh karena itu diharapkan guru memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Guru perlu menekankan bahwa
bahasa merupakan sarana berpikir. Keterampilan berbahasa siswa menjadi
tolok ukur kemampuan berpikir siswa.
- Kreativitas siswa perlu
diperhatikan oleh guru, terutama dalam kreativitas berbahasa yang sesuai
dengan kaidah bahasa Indonesia.
- Pembelajaran bahasa Indonesia
harus menyenangkan bagi siswa. Oleh karena itu minat, keingintahuan, dan
gairah siswa perlu mendapatkan perhatian.
- Ada banyak model, pendekatan, metode
dan teknik yang cocok yang dapat digunakan. Guru tidak harus monoton,
klise, jenuh, dan kehabisan strategi dan teknik dalam pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia.
- Guru harus lebih dahulu
memperhatikan apa yang diucapkan siswa sebelum memperhatikan bagaimana
siswa mengungkapkan.
Beberapa metode pembelajaran yang dapat dipilih dan dikembangkan oleh guru
dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, antara lain:
a.
Metode Kuantum (
Quantum Learning and Teaching )
- Metode
Konstruktivistik
- Metode
Kooperatif
1)
Student Teams – Achievement Divisions
( STAD / Slavin, 1995 )
2)
Team – Assisted Individualization ( TAI )
3)
Cooperative Integrated Reading and Composition ( CIRC / Steven dan
Slavin, 1995 )
4)
Jigsaw ( Aronson, Blaney, Stephen, Sikes, and Snapp, 1978 ).
5)
Learning Together ( belajar bersama )
- Group Inverstigation ( penelitian kelompok )
- Metode
Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning )
6. Penutup
Mengajar
adalah membantu seseorang untuk belajar mengerjakan sesuatu, memberikan
pengajaran, membimbing pembelajaran, memberikan pengetahuan, agar mengetahui
atau memahami. Penggunaan berbagai teknik dan inovatif dapat menciptakan
situasi pembelajaran yang kondusif. Peserta didik dalam kaitan ini ikut
terlibat langsung dalam menyerap linformasi dan menyatakan kembali hasil
rekaman informasi yang diperolehnya sesuai dengan kemampuan individu siswa. Melalui
proses pembelajaran bahasa Indonesia yang dinamis diharapkan akan menciptakan
suatu bentuk komunikasi lisan antara siswa dengan siswa, yang terpola melalui
keterampilan menyimak, berbicara,membaca dan menulis.
Pembelajaran
bahasa yang baik ialah pembelajaran yang komunikatif dan integratif. Siswa
dikondisikan untuk belajar berkomunikasi, artinya, siswa mempelajari hal ikhwal
berbahasa dan bukan mempelajari tentang bahasa. Kebermaknaan sangat penting
dibandingkan dengan struktur dan bentuk bahasa. Hal ini sesuai dengan paradigma
baru pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yang pembelajarannya berpusat
pada siswa, lingkungan merupakan pusat bagi siswa, kekuatan dan tanggung jawab
yang utama berpusat pada diri siswa. Peran matapelajaran bahasa Indonesia lebih
kepada pembentukan karakter siswa disamping peran mencerdaskan intelektual
sisiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. 1994. Pembelajaran Terpadu Bentuk Penerapan Kurikulum 1994
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Malang: IKIP malang
Depdikbud. 1990. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Depdiknas. 2003. Kurikulum Pendidikan Dasar: GBPP
Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.
Frazee, B.M dan Rosse, A.R. 1995. Integrated Teaching
Methods: Theory, Classroom aplication, and Field based Connections.
New York: Delmar Publisher.
John
M. Echols dan Hassan Shadily. 1990. An English-Indonesian Dictionary. Jakarta : PT Gramedia
Goodman, Ken. 1986. What’s Whole in Whole Language?
Porstmouth: Heinermann
.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan yang Patut dan
menyenagkan (DAP) Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Nur, M. 1998. Psikologi Pendidikan: Fondasi untuk
Pengajaran. Surabaya: IKIP Surabaya.
Paulina Pannen, Dina Mustafa, Mestika Sekarwinahyu. 2005. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Applied
Approach Mengajar di Perguruan Tinggi.
Jakarta : Dirjen Dikti
Slavin,
E. Robert. 1995. Cooperative Learning. Boston, London, Toronto, Sydney,
Tokyo, Singapore : Allyn and Bacon Inc.
Sudjana, Nana, dan
Rivai, Ahmad. 2003. Teknologi Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.
Sumardi, Mulyanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam
Pengajaran Bahasa dan sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Soewandi, A.M. Slamet. 1993. “Pengajaran Pragmatik”
makalah disampaikan dalam studi banding mahasiswa STKIP PGRI Bandar Lampung ke
IKIP Sanata Dharma, 10 Feruari 1993.
Toeti Soekamto, Wardani, Udin Saripudin Winataputra.
1992. Prinsip Belajar dan Pembelajaran. PEKERTI. Jakarta : Dirjen Dikti
Trianto. 2007. Model-model
Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Konsep, Landasan Teoritis-Praktis, dan
Implementasinya. Jakarta : Prestasi Pustaka
Udin, Tamsik dan Sopandi. 1987. Ilmu Pendidikan.
Bandung: Epsilon Grup.
Zuhdi, Darmiyati. 1997. Pendidikan Bahasa dan sastra
Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Dikti.
0 Response to "Contoh Artikel Seminar Internasional"
Post a Comment