Contoh Artikel Hasil Pemikiran Jurnal

PARADIGMA BARU PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM 2013

Dyah Sulistyowati,.
Pengawas TK/SD Dinas Dikpora Kab. Karanganyar
dyah_mpd@yahoo.co.id
                                                                                                     
Abstract


“Language is a system of arbitrary  conventionalized vocal, written, or gestural symbols that enable members of given community to communicate intelligibly with one another.” The language teacher needs to know something about the system of communication that we call language.
An important trend in language teacher development in recent years has been a move away from the teacher as passive recipient and implementer of other people syllabuses and methods, towards the idea of the teacher as an active creator. The new paradigm of learning process needs creative teacher in selecting language approach and creating active class.
A constructivism paradigm as a new paradigm in teaching learning process of Indonesian and literacy, emphasized on active processes. Besides that, teacher shouldn’t give knowledge to the student only. Students must build their knowledge, as a teacher we just help them to reach the objective by guiding to learn how to do something giving instruction and providing with knowledge.


1.     Pendahuluan

Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar berdasarkan kurikulum 2013 menganut pendekatan komunikatif. Artinya, dalam implementasinya pembelajaran bahasa Indonesia harus lebih menekankan pada aspek komunikatif dan fungsional. Yang harus diajarkan ialah bahasa sebagai alat komunikasi. Siswa diajak belajar bahasa secara komunikatif untuk bekal kecakapan hidupnya sehingga bahasa merupakan sesuatu yang fungsional bagi kehidupan siswa. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan carrier of knowledge. Lewat pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa dapat belajar materi pelajaran lainnya, karena topik yang dibahas dalam berkomunikasi diintegrasikan dengan kompetensi inti yang terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya, sehingga matapelajaran Bahasa Indonesia lebih sebagai penghela matapelajaran lainnya, baik dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Arah pembelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum Bahasa Indonesia tahun 2013 lebih menekankan keterlibatan anak dalam belajar, membuat anak secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Pendekatan kurikulum 2013 ini lebih mendekati apa yang dikemukakan John Dewey dengan konsep learning by doing. Hal ini sesuai dengan paradigma pendidikan yang harus bergeser dari belajar yang berfokus pada penguasaan pengetahuan ke belajar holistik realistis yang lebih bermakna. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih menekankan pada proses dari pada hasil belajar semata.
Laporan Comission on Education for the Twenty- first Century pada Unesco 1996 (dalam Sudjana, 2003), bahwa pendidikan sepanjang hayat sebagai pandangan yang ditopang empat pilar, yaitu: (1) learning to know dan learning to learn, yaitu belajar untuk memperoleh pengetahuan dan belajar untuk belajar, (2) learning to do, yaitu belajar untuk memiliki kompetensi dasar dalam hubungan dengan situasi kerja, (3) learning to live together, yaitu belajar untuk mampu mengapresiasi dan mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman, (4) learning to be, yaitu belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu.
Pembelajaran Bahasa Indonesia selain komunikatif, juga harus dilaksanakan secara terpadu atau tematik. Pendekatan terpadu merupakan seperangkat wawasan dan aktivitas guru dalam merancang butir- butir pembelajaran yang diharapkan dapat menguntai tema, topik, konsep, maupun pemahaman dan keterampilan yang diperoleh murid secara utuh. Arah dan tujuan pembelajaran terpadu menurut Frazee dan Rosse (1995) mengarah pada pembentukan pemikiran anak- anak secara utuh, karena secara kodrati anak- anak terutama usia sekolah dasar (SD) memandang sesuatu selalu dengan pandangan yang utuh dan meyeluruh. Alasan lain, karena dalam kehidupan sehari-hari, anak- anak menggunakan bahasa tidak secara per bagian, melainkan secara utuh. Oleh karena itu, akan lebih baik bila pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, diarahkan untuk menuju pemahaman dan penggunaan secara utuh. Megawangi (2005: 6) mengutip pendapat David Orr yang mengatakan bahwa ”isu- isu terbesar saat ini ialah kegagalan kita dalam melihat segala sesuatu secara keseluruhan”. Kegagalan tersebut terjadi ketika kita terbiasa berpikir terkotak- kotak dan tidak diajarkan bagaimana berpikir secara keseluruhan dan melihat keterkaitan antar kotak- kotak tersebut.
Hal senada juga dikatakan Fijrof Capra (dalam Megawangi, 2005) bahwa hasil belajar yang terkotak- kotak menjadikan manusia tidak mampu melihat keseluruhan dari setiap fenomena. Akibatnya, banyak solusi yang dilakukan manusia dalam menghadapi berbagai segi kehidupan didekati pula dengan parsial, sehingga tidak dapat menyelesaikan masalah, tetapi justru memperburuknya.
 Akhir- akhir ini banyak pihak sedang begitu bersemangat membicarakan Kurikulum 2013. Kurikulum ini konon kabarnya diluncurkan sebagai alternatif untuk mengubah paradigma pendidikan dari pendidikan yang berorientasi kognitif menjadi pendidikan yang berorientasi skill. Dalam bidang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia misalnya, materi pembelajaran diarahkan pada penguasaan keterampilan berbahasa seperti menyusun resensi, pidato, laporan, karya ilmiah menulis puisi dsb, topik pembahasannya diintegrasikan dengan kompetensi inti matapelajaran lainnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan konsep seperti itu akan terjadi perubahan mendasar dalam pembelajaran di tingkat sekolah, ataukah konsep tersebut sekedar menjadi konsep ideal sementara praktek pembelajaran di kelas kembali ke pola lama? Apakah konsep tersebut merupakan persoalan dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, atau mentalitas dan kemampuan guru dalam pembelajaran
Tulisan ini akan membahas tentang paradigma baru pembelajaran bahasa dan sastra, sebagai alternatif tawaran dalam meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
2.     Makna paradigma pembelajaran
Paradigma dapat dimaknai sebagai model pola, contoh (John M. Echols dan Hassan Shadily, An English-Indonesian Dictionary, 1990). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) paradigma dimaknai sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan; dan kerangka berpikir. Dapat disimpulkan bahwa paradigma pembelajaran adalah kerangka berpikir yang berdasarkan pada pandangan tertentu mengenai model pola pembelajaran yang diharapkan.
Paradigma pembelajaran sangat diwarnai oleh perkembangan teori belajar yang sedang berkembang. Pada saat paradigma behavioristic yang menekankan paradigma S-R dalam belajar, berpandangan bahwa pembelajaran  menekankan pada penumpukan materi yang perlu ditransformasikan kepada siswa, sehingga dalam pembelajaran guru banyak memberikan latihan-latihan (drill). Dengan demikian proses belajar menurut behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu di dalam diri siswa yang belajar (Galloway, 1976; dalam Toeti Soekamto dkk.). Namun sejalan dengan perkembangan teori belajar konstruktivistik, paradigma pembelajaran berubah dari sekedar transformasi materi kepada siswa menuju kepada pembelajaran bermakna yang memberi peluang yang cukup kepada siswa untuk mengkonstruk pemahamannya sendiri berdasarkan pengalaman belajar yang bermakna. Konstruktivistik merupakan paradigma alternative yang muncul sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir ( Kuhn, 1970 ; dalam Paulina Panen dkk.).
3.     Paradigma baru pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
Paradigma baru pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat dimaknai sebagai model pola baru yang berkembang dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sejalan dengan perkembangan filsafat yang sedang berkembang mempengaruhi pendekatan dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Sejalan dengan paradigma di atas, pengajaran bahasa dan sastra harus disajikan dalam kegiatan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Pembelajaran bahasa bertujuan memberi bekal kepada siswa untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Ini tidak berarti pembelajaran pengetahuan bahasa, grammer dan kosa kata tidak penting, hal tersebut tetap diperlukan untuk melengkapi pengetahuan siswa tentang aturan-aturan penggunaan kaidah berbahasa untuk diaplikasikan dalam konteks keterampilan berbahasa. Pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengacu pada pernyataan Goodman (1986) tentang kurikulum bahwa pengajaran bahasa dan pengajaran bidang studi lain (yang dilaksanakan dengan menggunakan bahasa sebagai media penyajian) merupakan kurikulum yang bersifat ganda. Artinya, pengajaran bahasa dan isi dari bidang studi lain bersama- sama menjadi bagian dari kurikulum secara utuh.
Demikian pula keterpaduan dalam bidang studi bahasa Indonesia, Goodman dalam pandangannya tentang pengajaran bahasa menyatakan bahwa keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak tidak dipandang sebagai komponen yang terpisah-pisah untuk diajarkan sendiri- sendiri. Hal ini juga diisyaratkan dalam rambu- rambu kurikulum bahasa Indonesia, baik  dalam KTSP maupun kurikulum 2013 ”Kompetensi dasar mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dan apresiasi sastra sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu” (Depdiknas, 2003). Arah dan tujuan pendekatan terpadu menurut Fraze dan Rosse ( 1995) mengarah pada pembentukan pemikiran siswa secara utuh, karena secara kodrati siswa usia SD memandang sesuatu selalu secara utuh dan menyeluruh. Alasan lain, karena dalam kehidupan sehari hari siswa menggunakan pengetahuan tidak secara perbagian, tetapi secara utuh. Oleh karena itu, lebih baik bila pembelajaran di sekolah diarahkan untuk menuju pemikiran secara utuh tersebut. Jika dibandingkan dengan pendekatan kontekstual, pendekatan terpadu tampaknya lebih menekankan keterlibatan siswa dalam belajar. Siswa dibuat secara aktif terlibat dalam dalam proses pembelajaran dan pembuatan keputusan. Pendekatan ini memungkinkan terjadinya sesuatu yang dikemukakan oleh Jhon Dewey ( Depdiknas, 2006) dengan konsep learning by doing. Pendekatan ini berangkat dari teori pembelajaran yang menolak drill sebagai dasar pembentukan pengetahuan strutur intelektual siswa. Karena kurikulum 2013 mengamanatkan pembelajaran Bahasa Indonesia harus dapat mewujudkan hasil belajar siswa yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif.
Dalam pembelajaran dikenal beberapa komponen belajar mengajar. Komponen- komponen tersebut adalah tujuan pengajaran, strategi, media, dan evaluasi pengajaran (Udin dan Sopandi, 1987:155-168). Komponen- komponen tersebut saling berhubungan dan berpengaruh satu dengan yang lain. Bila tujuan pengajarannya berubah, komponen- komponen lain pun akan mengalami perubahan.
Slamet Soewandi (1993:4) mengatakan bahwa studi interdisipliner mampu memberikan kesadaran baru bahwa tujuan pengajaran bahasa bukanlah demi dikuasainya kemampuan linguistik semata-mata, melainkan demi dikuasainya kemampuan linguistik untuk tujuan berkomunikasi secara riil, atau dicapainya kemampuan komunikatif pada diri siswa. Jika kita konsisten pada tujuan pembelajaran, titik berat materi pembelajaran akan diletakkan pada praktik penggunaan bahasa. Namun kenyataan yang terjadi dalam pembelajaran sehari-hari di sekolah justru sebaliknya. Materi ketatabahasaan dan teori-teori menjadi bahan pembelajaran utama. Jarang sekali guru memberi tugas untuk menulis dan menciptakan karya sastra.
Sebagian guru bahasa dan sastra Indonesia enggan berubah, kecenderungan menganut paradigma lama masih dipertahankan, sehingga pola pembelajaran dari tahun ke tahun hampir sama. Bahkan banyak di antara guru yang apriori dengan perubahan, baik perubahan kurikulum maupun perkembangan ilmu pengetahuan. Sikap seperti ini akan menghambat upaya pembaharuan dalam bidang pembelajaran. Pada akhirnya, pembelajaran yang terfokus pada ketatabahasaan dan teori tetap terjadi walau kurikulum dan tujuan pembelajarannya diubah.
Di bawah ini disajikan beberapa ciri-ciri paradigma baru pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme (dalam Mulyasa, 2005: 240) antara lain:
          Pembelajaran berpusat pada siswa (mengikuti filsafat progresivisme), lingkungan merupakan pusat bagi siswa, kekuatan dan tanggung jawab yang utama berpusat pada diri siswa.
          Guru menjadi fasilitator dan kreator yang menyusun skenario pembelajaran.
          Siswa mandiri, tidak dikontrol oleh guru.
          Berfokus pada proses, artinya siswa ikut dalam proses pengolahan dan penerimaan informasi/konsep materi.
          Siswa belajar secara independent tidak tergantung pada guru.
          Pembelajaran dapat independent, cooperative, ataupun collaborative.
          Siswa mengevaluasi diri sendiri membuat keputusan sendiri, dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri . Karena itu, mereka dapat secara tuntas memahami pengetahuannya.
          Siswa mengembangkan kemampuan menjawab pertanyaan “how” dan “why” bukan hanya “what” dan “when”.
          Siswa aktif menyimpulkan dan mensintesiskan pengetahuan dari berbagai sumber.
          Pembelajaran di kelas dapat diperkaya dan pelaksanaan pembelajaran fleksibel, tidak harus selalu di dalam kelas.
          Guru di samping fasilitator dan kreator, juga sumber ajar dan patner bagi siswa.
Menurut teori konstruktivis, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nur, 2002:8).
Implikasi dari pandangan konstruktivisme tersebut dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menurut Aminuddin (1996) sebagai berikut.
1.     Perencanaan pengajaran harus dilandasi pemahaman karakteristik proses berpikir siswa dalam mengolah, menghayati, dan mengkonseptualisasikan isi pemilihan materi, dan kegiatan pembelajarannya. Hal ini perlu diperhatikan karena perumusan tujuan, pemilihan materi, dan kegiatan pembelajaran akan menentukan resepsi, penghayatan, pengolahan informasi, dan rekonstruksi pemahaman
2.     Proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia bukan hanya ditujukan pada upaya pengembangan kemampuan berkomunikasi semata- mata. Lebih dari itu, materi pembelajarannya harus dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir, daya nalar maupun bentuk-bentuk aktivitas lain.
3.     Pengorganisasian materi dan kegiatan pembelajaran, idealnya selain memberi peluang terjadinya pembelajaran individual juga harus memberi peluang terjadinya proses pembelajaran secara kelompok.
4.     Materi pelajaran yang secara formal disajikan di sekolah bukan merupakan satu-satunya sumber isi pembelajaran. Siswa dapat memanfaatkan lingkungan sosial budaya di luar sekolah sebagai sumber belajar. Agar pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh lewat pembelajaran di kelas memiliki relevansi, memiliki nilai fungsional, dan bermanfaat bagi kehidupan siswa, dalam menelaah dan menyusun materi pelajaran guru hendaknya memperhitungkan pertaliannya dengan keperluan dan lingkungan kehidupan sosial budaya siswa.
4. Hubungan Paradigma Baru Pembelajaran Bahasa dan Sastra dengan Pendekatan Komunikatif
      Paradigma baru pengajaran bahasa berhubungan erat dengan pendekatan komunikatif dalam belajar bahasa, hal ini bukan merupakan hal yang baru, pendekatan ini sudah dicanangkan sejak kurikulum 1994, namun kenyataannya hingga sekarang masih banyak guru masih bertahan dengan pendekatan lama, yakni tatabahasa terjemahan.
Dalam rambu- rambu kurikulum 2013, tersurat bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi. Komunikasi dimaksud adalah suatu proses penyampaian maksud kepada orang lain dengan menggunakan saluran tertentu. Maksud komunikasi dapat berupa pengungkapan pikiran, gagasan, ide, pendapat, persetujuan, keinginan penyampaian informasi suatu peristiwa. Menurut Littlewood (dalam Zuchdi dan Darmiyati, 1997:34) pendekatan komunikatif didasarkan pada pemikiran sebagai berikut:
  1. Pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang lebih luas tentang bahasa. Hal ini terutama dilihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tatabahasa dan kosa kata, tetapi juga pada fungsinya sebagai sarana berkomunikasi.
  2. Pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa mengajarkan bahasa, tidak cukup dengan memberikan bentuk- bentuk asing kepada siswa, tetapi siswa harus mampu mengembangkan cara-cara menerapkan bentuk itu sesuai dengan fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang tepat.
Paradigma baru pengajaran bahasa yang komunikatif nampak lebih humanistik, yaitu sentralisasi kegiatan lebih banyak berada pada pada siswa. Guru hanya sebgai fasilitaror, siswa diberi kebebasan, otonomi, tanggung jawab dan kreativitas yang lebih besar dalam proses belajar (Stevik, dalam Sumardi, 1992). Dalam kegiatan komunikatif, guru berperan sebagai individu yang diharapkan memberi nasihat, memantau kegiatan siswa, menentukan latihan dan memberikan bimbingan.
Tujuan pengajaran bahasa menurut pendekatan komunikatif adalah: 1) mengembangkan kompetensi komunikatif siswa, yaitu kemampuan menggunakan bahasa yang dipelajarinya itu untuk berkomunikasi dalam berbagai situasi dan konteks, 2) meningkatkan penguasaan keempat keterampilan berbahasa yang diperlukan dalam berkomunikasi. Adapun materi pelajaran utamanya ialah: a) empat keterampilan berbahasa, b) fungsi-fungsi bahasa yang diperlukan siswa, seperti fungsi bertanya, menjawab, menyapa, menyangkal, mengajukan pendapat, dan lain- lain. Siswa dilatih menggunakan bahasa untuk berbagai fungsi tersebut sebagai alat komunikasi.
Meskipun penggunaan bahasa dalam berbagai fungsinya memerlukan dukungan pemahaman aspek kebahasaan, sama sekali bukan berarti bahwa bila siswa telah memahami perihal fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik lalu siswa terampil berbahasa. Menurut Aminuddin (1996), siswa memahami dan terampil berbahasa justru karena mereka menghayati penggunaan bahasa dalam berbagai fungsinya.
Sebagaimana pemahaman perihal kebahasaan, pemahaman bagaimana menggunakan bahasa dalam kegiatan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis juga harus didasarkan pada aktivitas kegiatan berbahasanya.
5. Teknik yang Dapat Dikembangkan Guru di Kelas
                  Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar diselenggarakan berdasarkan Silabus yang dikembangkan berdasarkan kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi, dilaksanakan dengan pendekatan tematik dan integratif. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia didasarkan pada tema tertentu yang berfungsi sebagai pengikat proses komunikasi. Kompetensi dasar yang dikembangkan dari kompetensi inti, harus diajarkan mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan apresiasi sastra. Untuk tingkat sekolah dasar apresiasi sastra ini tidak berdiri sendiri, tetapi terintegrasi ke dalam keempat aspek keterampilan berbahasa. Pendekatan tematik dan integratif didasarkan pada kenyataan bahwa proses komunikasi yang sesungguhnya terjadi karena adanya ikatan tema tertentu. Dalam proses komunikasi tidak hanya melibatkan satu aspek kemahiran saja, melainkan melibatkan dua atau lebih aspek, misal mendengarkan dengan berbicara, membaca dan menulis, atau  bahkan semua aspek dapat dilakukan secara bersama-sama. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara integratif dapat digambarkan sebagai berikut :                
      Guru bahasa dan sastra Indonesia dalam merancang pembelajaran harus didasarkan pada tema tertentu dan dilaksanakan secara terintegrasi. Tugas guru adalah membelajarkan siswa serta menciptakan situasi dan kondisi, agar siswa belajar secara optimal untuk berlatih terampil berbahasa agar kompetensi yang diharapkan dapat tercapai. Dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang dirancang guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri secara aktif dalam bentuk berlatih, berlatih, dan berlatih menggunakan bahasa.
                  Integratif berarti menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses. Misalnya, menyimak diintegrasikan dengan berbicara dan menulis, menulis diintegrasikan dengan berbicara dan membaca. Materi kebahasaan diintegrasikan dengan keterampilan berbahasa. Saat mengajarkan kalimat, guru tidak secara langsung menyodorkan materi kalimat kpada siswa, tetapi diawali dengan membaca atau kegiatan aspek lainnya. Perpindahannya diatur secara tipis, bahkan guru yang pandai mengintegrasikan penyampaian materi dapat menyebabkan siswa tidak merasakan perpindahan materi pengintegrasiannya diaplikasikan sesuai dengan kompetensi dasar yang perlu dimiliki siswa. Materi ttidak dipisah-pisahkan, tapi justru merupakan kesatuan yang perlu dikemas secara menarik.
                  Pendekatan tematik dimaksudkan bahwa semua komponen materi diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Yang perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan, tetapi merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan disajikan secara kontekstualitas,  kontemporer, konkret, dan konseptual. Tema yang telah ditentukan haruslah diolah  sesuai dengan perkembangan di lingkungan siswa yang terjadi saat ini.  Budaya, sosial, dan religiusitas mereka harus menjadi perhatian. Begitu pula isi tema harus disajikan secara kontemporer, sehingga siswa senang. Apa yang terjadi sekarang di lingkungan siswa harus terbahas dan didiskusikan di kelas. Tema tidak disajikan secara abstrak, tetapi diberikan secara konkret, sehingga semua siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan logika yang dipunyainya. Konsep-konsep dasar tidak terlepas. Siswa berangkat dari konsep ke analisis atau dari analisis ke konsep kebahasaan, penggunaan, dan pemahaman. Penekanan materi pembelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 topiknya diintegrasikan dengan kompetensi inti matapelajaran lainnya, sehingga siswa dalam belajar berbahasa sekaligus belajar kompetensi inti matapelajaran lainnya.
                  Peran guru sangat menentukan dalam mendesain kesuksesan pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah dasar, oleh karena itu diharapkan guru memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Guru perlu menekankan bahwa bahasa merupakan sarana berpikir. Keterampilan berbahasa siswa menjadi tolok ukur kemampuan berpikir siswa.
  2. Kreativitas siswa perlu diperhatikan oleh guru, terutama dalam kreativitas berbahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
  3. Pembelajaran bahasa Indonesia harus menyenangkan bagi siswa. Oleh karena itu minat, keingintahuan, dan gairah siswa perlu mendapatkan perhatian.  
  4. Ada banyak model, pendekatan, metode dan teknik yang cocok yang dapat digunakan. Guru tidak harus monoton, klise, jenuh, dan kehabisan strategi dan teknik dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
  5. Guru harus lebih dahulu memperhatikan apa yang diucapkan siswa sebelum memperhatikan bagaimana siswa mengungkapkan.
Beberapa metode pembelajaran yang dapat dipilih dan dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, antara lain :
a.                     Metode Kuantum ( Quantum Learning and Teaching )
                  Quantum learning adalah merupakan metode belajar yang mengutamakan percepatan belajar dengan cara partisipatori peserta didik dalam melihat potensi diri dalam kondisi penguasaan diri. Gaya belajar yang mengacu pada fungsi otak kanan dan otak kiri menjadi cirri khas quantum learning. Menurut metode ini proses belajar mengajar merupakan fenomena yang kompleks, sesutau dapat berarti, setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi, tinggal bagaimana guru mengubah lingkungan, merancang pembelajaran , dan presentasi selama proses pembelajaran berlangsung
.                 Dalam quantum learning yang dipentingkan adalah pemercepatan belajar, fasilitasi, konteks dengan prinsip segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum menemukan, akui setiap usaha pembelajar, dan jika layak dipelajari berarti layak untuk dirayakan. QL mengutamakan konteks dan isi. Konteks berisi tentang : (a) suasana yang memberdayakan, (b) landasan yang kukuh, (c) lingkungan yang mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Sedang isi tediri atas : (a) penyajian yang prima, (b) fasilitas yang luwes, (c) keterampilan belajar untuk belajar, dan keterampilan hidup.
                  Metode quantum mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang kurikulum, menyampaikan isi, dan memudahkan proses belajar. Dengan menggunakan metode ini bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar, dengan menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses belajar alamiah dengan secara sengaja menggunakan musik, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif pembelajaran, dan keterlibatan aktif siswa dan guru. Asas yang digunakan adalah : bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka.
                  Oleh metode quantum siswa dianggap sebagai pusat keberhasilan belajar, saran-saran yang dikemukakan dalam membangun hubungan dengan siswa adalah:
            1)   Perlakukan siswa sebagai manusia sederajad.
2)     Ketahuilah apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka.
3)     Bayangkan apa yang mereka katakan kepada diri sendiri dan mengenai dirinya sendiri.
4)     Ketahuilah apa yang menghambat mereka untuk memperoleh hal yang benar-benar mereka ingingkan, jika guru tidak tahu tanyakan kepada siswa.  
5)     Berbicaralah dengan jujur kepada mereka dengan cara yang membuat mereka mendengarnya dengan jelas dan halus.
6)     Bersenang-senanglah bersama mereka.
  1. Metode Konstruktivistik
                  Asumsi sentral metode konstruktivistik adalah bahwa belajar itu menemukan. Meskipun guru menyampaikan sesuatu kepada siswa, tetapi mereka melakukan proses mental atau kerja otak atas informasi itu, agar informasi tersebut masuk ke dalam pemahaman mereka. Konstruktivistik dimulai dari  masalah (sering muncul dari siswa sendiri) dan selanjutnya membantu menyelesaikan dan menemukan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut.
                  Metode konstruktivistik didasarkan pada teori belajar kognitif yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran generatif, strategi bertanya, inkuiri atau menemukan, dan keterampilan metakognitif lainnya (belajar bagaimana seharusnya belajar). Dalam konstruktivistik terdapat empat aspek yang penting dalam pengembangan perubahan kognitif yang bertumpu dari aspek sosial dalam belajar, antara lain :
a.     pembelajaran sosial,
b.    zona perkembangan terdekat,
c.     pemagangan kognitif, dan
d.    dukungan tahap demi tahap dan pemecahan masalah.
Dalam pembelajaran konstruktivistik siswa diberikan tugas-tugas yang kompleks, sulit, dan realistik. Siswa diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas. Tugas kompleks tersebut misalnya proyek, simulasi, penyelidikan di masyarakat, menulis untuk dipresentasikan, dan tugas-tugas autentiklainnya ( diambil dari kehidupan nyata ).
Pengajaran konstruktivistik lebih menekankan pada pemecahan masalah oleh siswa, misalnya siswa diberikan konsep dasar paragraf baru, kemudian menganalisis kalimat, mengeja, tata bahasa, dan tanda bacanya.
  1. Metode Kooperatif
                  Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok (4 orang) untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi hakekat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif.
                  Kooperatif dilakukan dengan empat siswa yang berbeda-beda dari segi kemampuan atau ukuran kelompok. Siswa ditempatkan ke dalam kelompok kooperatif dan tinggal bersama sebagai satu kelompok untuk beberapa hari. Mereka dilatih untuk saling membantu dan bekerja sama dengan baik, memberikan penjelasan dengan baik, dan mengajukan pertanyaan dengan baik. Dalam kooperatif learning terdapat berbagai metode sebagai berikut :
1)       Student Teams – Achievement Divisions  ( STAD / Slavin, 1995 ), yang menggunakan satu langkah pengajaran di kelas dengan menempatkan siswa ke dalam tim campuran berdasarkan prestasi, jenis kelamin, dan suku. Akhirnya seluruh siswa dikenai problem (kuis) berkaitan dengan materi dan sesama anggota tim saat mengerjakan kuis tidak boleh saling membantu.
2)       Team – Assisted Individualization ( TAI ), yang lebih menekankan pada pengajaran individual, meskipun tetap menggunakan pola kooperatif.
3)       Cooperative Integrated Reading and Composition ( CIRC / Steven dan Slavin, 1995 ), adalah bagian metode kooperatif yang komprehensif atau luas dan lengkap untuk pembelajaran membaca dan menulis kelas tinggi. Dalam CIRC siswa dikelompokkan berdasarkan perbedaan masing-masing sebanyak empat orang. Mereka terlibat ke dalam rangkaian kegiatan bersama, termasuk saling membacakan satu dengan yang lainnya, menulis tanggapan terhadap cerita, saling membuatkan ikhtisar, berlatih pengejaan, serta perbendaharaan kata.
4)       Jigsaw ( Aronson, Blaney, Stephen, Sikes, and Snapp, 1978 ). Dalam jigsaw siswa dikelompokkan ke dalam tim beranggotakan enam orang yang mempelajari materi akademik yang telah dibagi-bagi menjadi beberaps sub bab. Misalnya dari enam anggota kelompok saat mempelajari tema tokoh besar, masing-masing mempelajari riwayat hidup, prestasi, awal kemundururan yang dialami, dampak dari kiprahnya. Kemudian para siswa kembali ke timnya dan bergantian menceritakan hasilnya.
5)       Learning Together ( belajar bersama ), metode ini melibatkan siswa uyang bekerja dalam kelompok beranggotakan empat atau lima siswa heterogen untuk menangani tugas tertentu. Kemudian mereka melaporkan tugas itu. Metode belajar bersama lebih mengarah pada pembinaan kerjasama dan keberhasilannya.
6)       Group Inverstigation ( penelitian kelompok ), merupakan rencana organisasi kelas umum. Siswa bekerja dalam kelompok kecil dengan menggunakaninkuiri kooperatif ( pembelajaran kooperatif yang bercirikan penemuan ), diskusi kelompok, dan perencanaan, serta proyek kooperatif.
  1. Metode Partisipatori
            Metode pembelajaran partisipotori lebih menekankan keterlibatan siswa secara penuh. Siswa dianggap sebagai subjek belajar, dengan berpartisipasi aktif, siswa dapat menemukan hasil belajar. Guru hanya bersifat sebagai pemandu atau fasilitator. Siswa harus aktif dan dinamis, serta berlaku sebagai subjek. Namun bukan berarti guru harus pasif, tetapi guru juga harus aktif dalam memfasilitasi belajar siswa dengan suara, gambar, tulisan dinding, dan sebagainya. Guru berperan sebagai pemandu yang penuh dengan motivasi, pandai berperan sebagai mediator, dan kreatif. Konteks siswa menjadi tumpuan utama.
            Metode partisipatori memiliki ciri-ciri pokok : 1) belajar dari realitas atau pengalaman, 2) tidak menggurui, dan 3) dialogis. Guru sebagai fasilitator atau pemandu diharapkan memiliki watak sebagai berikut :
(a)     Kepribadian yang menyenangkan dengan kemampuannya menunjukkan persetujuan apa yang dipahami partisipan.
(b)     Kemampuan sosial dengan kecakapan menciptakan dinamika kelompok secara bersama-sama dan mengontrolnya tanpa merugikan partisipan.
(c)     Mampu mendesain cara memfasilitasi yang dapat membangkitkan partisipan selama proses belajar berlangsung.
(d)     Kemampuan mengorganisasi proses dari awal hingga akhir.
(e)     Cermat dalam melihat persoalan pribadi partisipan dan berusaha memberikan jalan agar partisipan menemukan jalannya.
(f)      Memiliki ketertarikan kepada subjek belajar.
(g)     Fleksibel dalam merespon perubahan kebutuhan belajar partisipan.
(h)     Pemahaman yang cukup atas materi pokok kursus.  
  1. Metode Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning )
                  Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
                  Metode pembelajaran kontekstual muncul sebagai reaksi terhadap teori behavioristik yang telah mendominir pendidikan selama puluhan tahun. Pendekatan kontekstual mengakui bahwa pembelajaran merupakan proses kompleks dan banyak fase yang berlangsung, jauh melampaui drill oriented dan metode stimulus dan respon. Pengajaran kontekstual memungkinkan siswa menguatkan, dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan.
                  Pembelajaran kontekstual menawarkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa dalam belajar lebih bermakna dan menyenangkan. Strategi yang ditawarkan ini diharapkan dapat membantu siswa aktif dan kreatif. Dalam strategi ini ada tujuh elemen penting, yaitu inkuiri ( inquiry ), pertanyaan ( questioning ), konstruktivistik ( constructivism ), pemodelan ( modeling ), masyarakat belajar (learning community), penilaian autentik ( authentic assessment ), dan refleksi (reflection). Ketujuh elemen ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam keseluruhan proses pembelajaran.



6. Penutup
                        Mengajar adalah membantu seseorang untuk belajar mengerjakan sesuatu, memberikan pengajaran, membimbing pembelajaran, memberikan pengetahuan, agar mengetahui atau memahami. Menurut konstruktivisme, belajar itu pada hakikatnya adalah mengkonstruksi pengetahuan baru dengan menggunakan skemata atau pengetahuan awal.     
                        Penggunaan berbagai teknik dan inovatif dapat menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif. Peserta didik dalam kaitan ini ikut terlibat langsung dalam menyerap linformasi dan menyatakan kembali hasil rekaman informasi yang diperolehnya sesuai dengan kemampuan individu siswa. Melalui proses pembelajaran yang dinamis diharapkan akan menciptakan suatu bentuk komunikasi lisan antara siswa dengan siswa yang terpola melalui keterampilan menyimak, berbicara,membaca dan menulis.
                        Pembelajaran bahasa yang baik ialah pembelajaran yang komunikatif dan integratif. Siswa dikondisikan untuk mempelajari hal-hal yang bersifat komunikatif. Artinya, siswa mempelajari hal ikhwal berbahasa dan bukan mempelajari tentang bahasa. Kebermaknaan sangat penting dibandingkan dengan struktur dan bentuk bahasa. Hal ini sesuai dengan paradigma baru pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yang pembelajarannya berpusat pada siswa (mengikuti filsafat progresivisme), lingkungan merupakan pusat bagi siswa, kekuatan dan tanggung jawab yang utama berpusat pada diri siswa. Di samping itu juga siswa dibimbing dalam mengembangkan kemampuan menjawab pertanyaan “how” dan “why” bukan hanya “what” dan “when”.


DAFTAR  PUSTAKA

Aminudin. 1994. Pembelajaran Terpadu Bentuk Penerapan Kurikulum 1994 Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Malang: IKIP malang

Depdikbud.  1990.  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia.  Jakarta : Balai Pustaka

Depdiknas. 2003. Kurikulum Pendidikan Dasar: GBPP Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

Frazee, B.M dan Rosse, A.R. 1995. Integrated Teaching Methods: Theory, Classroom aplication, and Field based Connections. New York: Delmar Publisher.

John M. Echols dan Hassan Shadily. 1990.  An English-Indonesian Dictionary.  Jakarta : PT Gramedia

Goodman, Ken. 1986. What’s Whole in Whole Language? Porstmouth: Heinermann
.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan yang Patut dan menyenagkan (DAP) Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.

Nur, M. 1998. Psikologi Pendidikan: Fondasi untuk Pengajaran. Surabaya: IKIP Surabaya.

Paulina Pannen, Dina Mustafa, Mestika Sekarwinahyu.  2005.  Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Applied Approach Mengajar di Perguruan Tinggi.  Jakarta : Dirjen Dikti

Slavin, E. Robert.  1995.  Cooperative  Learning. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore : Allyn and Bacon Inc.

Sudjana, Nana, dan Rivai, Ahmad. 2003. Teknologi Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.

Sumardi, Mulyanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Soewandi, A.M. Slamet. 1993. “Pengajaran Pragmatik” makalah disampaikan dalam studi banding mahasiswa STKIP PGRI Bandar Lampung ke IKIP Sanata Dharma, 10 Feruari 1993.

Toeti Soekamto, Wardani, Udin Saripudin Winataputra. 1992.  Prinsip Belajar dan Pembelajaran. PEKERTI.  Jakarta : Dirjen Dikti

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Konsep, Landasan Teoritis-Praktis, dan Implementasinya. Jakarta : Prestasi Pustaka

Udin, Tamsik dan Sopandi. 1987. Ilmu Pendidikan. Bandung: Epsilon Grup.

Zuhdi, Darmiyati. 1997. Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Dikti.

0 Response to "Contoh Artikel Hasil Pemikiran Jurnal"

Post a Comment