Kompor Gas
Sah dan terlaksanalah
keinginan istri saya untuk memiliki kompor gas dengan dua nyala. Impian itu
sudah lama selalu mengusik hatinya.
Maka, ketika
honorarium pekerjaan terjemahan dari hasil penelitian Mevrouw Vochig Okselen
tentang konsep harmoni orang Jawa datang, istri saya segera membayar kompor gas
dan tabungnya dengan kontan. Anak-anak dan saya sangat gembira melihat ia
berbahagia.
Bahkan saya sangat
terharu. Betapa tidak! Walaupun kompor gas itu dibeli dengan uang hasil jerih
payahnya sendiri, istri saya membayangkan seakanakan barang luar biasa dahsyat
itu hadiah dari saya. Ia juga minta agar anak-anak membayangkan begitu. Mungkin
istri saya melihat apa yang disebut hidup adalah jalinan antara kenyataan dan
impian. Saya menerima realitas itu tanpa perasaan getir; seorang suami terkadang
hampir sekadar lambang.
Maka, dengan
semangat tinggi, pagi itu, saya membantu membersihkan rumah; menyapu halaman
dan lantai. Sambil bersiul keroncong petir, saya berjanji dalam hati bahwa saya
akan mencari pekerjaan tambahan di samping tugas rutin saya. Siapa tahu saya
kelak bisa menabung. Kepingin benar saya membelikan mesin tulis, meja tulis,
kursi, dan lampu duduk untuk istri saya. Kepingin benar saya melihat dia
bahagia dengan tugasnya sebagai penerjemah. Ah, betapa malasnya saya selama ini.
Sungguh mlekocot saya! Di luar kerja kantor, tak pernah terbetik dalam benak
mencari tambahan rejeki.
Melepaskan lelah
sehabis “bekerja keras” menyapu halaman dan lantai, saya duduk di kursi teras.
Hujan semalam tampak masih berbekas. Daunan basah, dan butir-butir air gemerlap
kena cahaya matahari pagi. Kupu-kupu beterbangan kian kemari dengan
warna-warni. Terlintas dalam pikiran, alangkah ajaib jenis binatang yang satu
ini. Tak bersuara, tak bersengat, tak menganggu. Begitu rapuh tubuhnya, tapi
begitu mempesona warnanya. Saya mencoba menebak pesan Tuhan di balik
kehadirannya.
Jam dinding
mengeleneng satu kali. Saya tersentak. Saya tahu. Saya harus segera mandi dan
lari ke kantor. Sudah terlalu sering saya diperingatkan Pak Sabar karena saya
hampir selalu terlambat setiap hari. Saya berdiri sambil menghirup udara segar.
“Kula nuwun”
seorang lelaki setengah baya tiba-tiba muncul di pintu halaman. Lelaki itu
menyandarkan sepedanya dengan tiga jeringen minyak tanah di bagasinya. Sebelum
saya mendekatinya, lelaki itu langsung bertanya apakah minyak tanah di dapur
masih cukup. Tiba-tiba saya gugup. Dengan spontan saya jawab bahwa minyak tanah
kami masih cukup.
“Mungkin seminggu
lagi, Mas,” jawab saya. Lelaki itu mengangguk, menuntun sepedanya dan mendorongnya.
Ada perasaan menyesal menyelinap di hati saya. Seandainya saya tidak harus
pergi ke kantor, mungkin saya bisa mengajaknya duduk-duduk barang sejenak
sambil menikmati kopi.
Tetapi gagasan yang
selalu saya rencanakan itu tak pernah terlaksana. Secara tidak saya sadari,
ternyata, saya selalu mendapatkan dia sebagai kurang penting. Dan ketika saya
menyadari bahwa kemarin istri saya membeli kompor gas, makin terasa, lelaki itu
makin tidak penting. Dia hanya bagian dari teknologi memasak yang kini mulai ketinggalan
zaman. Mas Marta Lenga, demikian nama lelaki itu, akan dilupakan ketika ibu-ibu
mulai tidak mengenal kompor minyak. Kemajuan zaman telah meninggalkannya.
Tujuh belas tahun
lalu, tatkala istri saya mulai mengenal kompor minyak, teman saya lain, Pak
Karta Areng, tersingkir. Saya bayangkan, kelak, jika kompor listrik mulai
merata digunakan orang, Den Harja Gas, calon langganan kami, mungkin akan
tersingkir pula. Sejarah telah melahirkan orang tampil dan kemudian
membantingnya. Saya mencatatnya dengan tekun. Seperti angin, mereka datang dan
lenyap.
Akan tetapi,
berbeda dengan Pak Karta Areng, Mas Marta Lenga terasa lebih menggelisahkan
saya. Mungkin karena dia selalu tersenyum dan tak pernah mengeluh. Tubuhnya
selalu basah oleh keringat dan minyak tanah. Giginya selalu
kotor, dan selalu
ada sisa-sisa makanan di antara sela-sela.
Dua puluh tahun
yang lalu, ketika saya baru datang sebagai penghuni baru di kampung itu, Mas
Marta adalah partner saya beronda. Waktu itu, Mas Marta adalah seorang penjaga
sepeda di sebuah kantor. Sementara itu, istrinya mempunyai sebuah warung kecil
yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari.
Ketika orang makin
banyak menggunakan kompor minyak, warung itu perlahan-lahan berubah menjadi
semacam agen kecil minyak tanah. Agen itu pernah menjadi besar, banyak pegawai
yang mengantar minyak tanah kepada langganan-langganan di kampung saya dan
sekitarnya. Akan tetapi pula, kebesarannya tidak bisa bertahan lama.
Seingat saya,
menurunnya langganan Mas Marta justru ketika rumah-rumah baru megah mulai
dibangun, dan rumah-rumah gaya lama dipugar. Mungkin, dengan arsitektur ala
Spanyol, dengan kamar mandi model seperti yang di hotelhotel mewah, kompor
minyak terasa kurang up-to-date. Dan bersamaan dengan itu pula, mobil yang
menjajakan gas mulai sering lewat.
Tetapi Mas Marta,
walaupun makin jarang lewat di depan rumah, tetap berkunjung ke rumah kami
setiap dua minggu. Pernah sekali dia bercerita bahwa daerah jelajahnya makin
luas, tetapi justru karena daerah langganannya bukan makin meluas. Semula saya
kurang paham dengan ceritanya. Baru sekarang saya mengerti, langganannya kini
adalah orang-orang yang tinggal di pedukuhan.
Dengan makin luasnya daerah jelajah, makin sedikit minyak yang terjual.
Sebab untuk bolak-balik membawa tiga jerigen minyak di atas bagasi sepeda, Mas
Marta ak cukup kekar. Dia tidak memiliki otot seperti yang dimiliki Mike Tyson.
Karena itu, setiap hari ia hanya mampu menjual enam jerigen minyak tanah. Ini
artinya, dia bolak-balik pulang dua kali. Itu pun kalau hari tak hujan.
Tepat pukul lima
sore, seperti sudah direncanakan, istri saya dan saya tiba di rumah Mas Marta.
Kami disambutnya dengan sangat ramah, walaupun ada kesan mereka sedikit kaget.
Dengan tergopoh, istri Mas Marta segera menyiapkan teh dan kue-kue, dan
ditaruhnya di atas meja. Saya memandang sekeliling ruang tamu. Pada dinding
bambu, tergantung gambar-gambar tokoh wayang, seperti yang saya lihat d.ual di
sepanjang Malioboro. Saya membayangkan, jika Mas Marta ternyata pengemar wayang
kulit, mungkin sekali waktu bisa saya ajak begadangan nonton bersama.
Dengan sangat
hati-hati, saya mulai menjelaskan alasan saya berkunjung. Juga mulai saya
terangkan bahwa mungkin kami tidak lagi memerlukan minyak tanah. “Wah, Ibu
sudah punya kompor gas, ya?” katanya menyambut gembira. Saya kaget. Istri saya
mengangguk. Yang lebih mengejutkan saya, Mas Marta bahkan berkata bahwa ia ikut
gembira karena kami sudah mempunyai kompor gas itu.
“Kami selalu
prihatin selama ini karena di kampung Bapak tinggal ibu ini yang belum memasak
dengan kompor gas,” sambung istri Mas Marta. Lalu Mas Marta mulai menerangkan
bahwa sudah beberapa bulan dia memikirkan untuk berhenti berkeliling menjajakan
minyak tanah. Alasannya, langanan makin berkurang. “Tapi kami tidak sampai
hati. Sebab kalau kami berhenti jualan minyak, Bapak dan Ibu masak pakai apa,
coba?” katanya. Saya tertegun.
“Apa mau buka
warung lagi?” tanya istri saya sambil mengipas-ngipaskan saputangan. Istri Mas
Marta menggeleng, dan Mas Marta sendiri tersenyum. Tersenyum lebar-lebar. Gila!
Pikir saya. Begitu hebatnya orang ini berhadapan dengan nasib berselubung
perubahan zaman yang mempermainkannya. “Mungkin mau buka kos-kosan?” sambung
saya bertanya. Mas Marta menggeleng tiga kali. Istri Mas Marta menggeleng empat
kali. Pertanyaan ini saya dasarnya atas informasi Marsengax, seorang mahasiswa
Fakultas Hukum, yang pernah ditawari sewa kamar oleh Mas Marta. Di samping itu,
istri Mas Marta pernah menawarkan sawahnya yang tak begitu luas di Desa Bulu
kepada ibu saya beberapa tahun yang lalu.
“Daripada dibeli
orang yang enggak–enggak,” katanya pada waktu itu. Kalu benar Mas Marta mau
buka kos-kosan, pastilah sawah itu sudah laku dan uangnya dipergunakan untuk
memperluas rumah dan menemboknya. Tapi ternyata tidak. “Lalu, Mas Marta mau
jualan apa?” desak saya tak tahan. Mas Marta, sekali lagi, tersenyum lebar.
Senyuman yang penuh optimisme.
“Pakne ini,
sekarang,’kan sering didatangi orang. Apalagi kalau malam Jumat Kliwon,” kata
istrinya. “Maksudnya menjadi dukun?” tanya istri saya. Istri Mas Marta
menggeleng. “Sekali waktu Mas Marta melihat laba-laba kakinya tinggal tujuh.
Ee, lha kok esoknya keluar dengan kepala tujuh!” “Kepala apa?” tanya istri saya
penuh heran. “Itu, nomor!” tukas Mas Marta. “Dan ketika saya bilang kepada Dik
Srundeng bahwa nomor yang akan keluar persis dengan nomor motor Pak Sardula,
ee, nembus betul.”
Saya tertegun.
“Lha, mulai saat itu, banyak orang datang kepada kami minta nomor. Kalau mereka
datang, biasanya membawa gula, teh, kopi, rokok, terkadang beras, roti
kalengan, dan juga uang,” sambung istri Mas Marta. “Lumayan sekali. Tak usah
kerja, rezeki datang sendiri.” Saya tertegun.
“Kalau Bapak mau,
bisa saya beri kapan-kapan,” kata Mas Marta.“Kan tinggal bapak yang belum punya
mobil. Siapa tahu, nomor yang saya pilih nembus.” Saya tertegun. Istri saya
makin sibuk mengipaskan saputangannya. Udara pasti terasa gerah baginya karena
dia harus menyadari betapa suaminya selama ini kurang agresif memburu rezeki.
Betapa berat, saya bayangkan mengakui kemalasan suaminya.
Romlah, anak bungsu
Mas Marta muncul. Segera istri saya menyerahkan bingkisan kecil. Juga untuk
istri Mas Marta. “Kok repot-repot,” tukas istri Mas Marta. Lalu kami minta
pamit, dengan alasan saya masih banyak pekerjaan. Dan sebelum saya sampai di
pintu, Mas Marta membisikkan sesuatu ke telinga saya. Saya mengangguk dan
mengatakan terima kasih. Ketika kami tiba di rumah, saya gantian membisikkan
sesuatu ke telinga istri saya.
“Apa?” tanya istri
saya. “Kepala delapan?” (Dikutip dari karangan: Bakdi Soemanto D. dalam buku
Menulis Secara Populer, Ismail Marahimin )
0 Response to "Contoh Cerita Pendek Ekspresionisme "
Post a Comment