Siti
Tadi pagi aku
ngamuk. Rasanya ini amukanku yang terdahsyat sepanjang sejarah. Keseeel .....
banget. Sumbernya, yah, siapa lagi kalau bukan si Siti.
Itu pembantu baru
yang kelakuannya suka bikin takjub orang serumah. Bayangkan saja, masak dra..
paper kewiraan yang sudah setengah mati kubuat, seenaknya saja dia lempar ke tempat
sampah. Dia tidak tahu berapa besarnya pengorbananku untuk membuat paper itu.
Tiga malam nyaris
tidak tidur. Bahkan Hunter, pujaan hatiku yang setiap Minggu malam selalu
kunantikan kehadirannya, kali ini terpaksa aku cuekin. Eh ..... tahutahu hasil kerja
kerasku itu dilempar ke tempat sampah. Gimana aku tidak kesal setengah mati.
Dasar bego si Siti itu. Aku ‘kan sudah wanti-wanti ribuan kali agar dia jangan
sekali-kali menyentuh kertas-kertasku.
Biar kamarku
berantakan kayak kapal pecah juga, nggak apa, asal kertas-kertas berhargaku
aman. Siti, Siti, kamu kira gampang bikin paper, segampang bikin sambal
terasi?
Si Siti ini memang
lain. Umurnya baru sekitar delapan belas tahun, sedang centil-centil-nya.
Kerjanya sih cukup lumayan. Dia juga cukup rajin. Cuma yang namanya centil
..... aujubilah, deh. Setiap pagi kalau ayahibuku sudah berangkat kerja, dia
selalu menyetel dangdut di ruang tamu, keraaaaas ..... banget. Mau tuli rasanya
kuping mendengarkan lagu-lagu supernorak itu. Kepala pun jadi pusing. Paling
malu kalau ada teman yang telepon. Pasti yang nelpon langsung komentar, “Eh,
ketahuan, ya, kamu suka lagu gituan. Ngaku aja deh.”
Belum lagi kalau
teman-teman datang. Dia mulai bertingkah kayak cacing kepanasan, sibuk cari
perhatian. Apalagi kalau yang datang itu cowok, wah, langsung resek, deh, dia,
ketawa-ketawa centil dengan suara cempreng-nya. Ingin rasanya aku bentak dia.
Sayang Ibu selalu melarang, “Sabar, Rit,” kata Ibu berulang-ulang.
Penyakit si Siti
bukan cuma centil saja. Dia juga superbego. Disuruh ini, dia kerjakan yang
lain. Pernah ketika Ibu mau pergi ke pesta, si Siti disuruh menyetrika gaun
yang akan dipakai. Tahu apa yang dilakukannya? Itu baju malahan dicuci! Sinting
nggak tuh? Pernah dia kusuruh membeli Sunsilk, eh, pulang-pulang dia membawa
semangkuk mie pangsit!
Selama hampir empat
bulan dia bekerja, entah sudah berapa kali dia memperlihatkan kebegoannya.
Bukan sekali dua kali aku dibuatnya senewen. Tapi yang dilakukannya tadi pagi
betul-betul sudah keterlaluan dan aku tidak tahan lagi untuk tidak memakinya.
Semua kejengkelanku harus kutumpahkan, kalau tidak, bisa aku yang gila. Ya,
tadi pagi Siti kubentak-bentak sepuas hati. Semua koleksi kata-kata kasarku
kukeluarkan.
Seisi kebun
binatang Afrika kusebut satu per satu. Si Siti menunduk. Entah dia menyesali
perbuatannya, entah mengumpat di dalam hati, aku tidak peduli. Tidak sedikit
pun tersirat rasa kasihan di hatiku. Yang ada saat itu hanya kemarahan yang
meluap-luap. Dar.. Kewiraan yang sudah lecak kupungut dari tong sampah dan
kuseterika. Dengan susah payah aku berusaha mengenali kembali huruf-huruf yang ada di
situ, dan aku salin lagi ke kertas baru.
Ting-tong. Wah
siapa yang siang-siang begini bertamu, pikirku. Ketika pintu kubuka, Evi, Uci,
Tini, dan Ani cengar-cengir di hadapanku. Tanpa dipersilahkan, mereka langsung
nyelonong masuk ke ruang tamu. Keempat kuya ini memang sobat-sobatku, dan tidak
malu-malu lagi.
“Aduh ....., panas
betul, Rit. Minta minum, dong, yang pake es, ya? Siropnya cherry kalau ada,”
kata si Ani. Buset, kebiasaan jelek si Ani belum hilang juga. Selalu minta
suguhan begitu masuk rumah. Biasanya aku tinggal suruh si Siti saja, tapi kali
ini aku sendiri yang terpaksa membuat minuman.
“Koq sepi, sih,
Rit?” Evi bertanya. “Pada lagi liburan, di Bandung. Gue nggak ikut karena
ngebela-belain bikin paper Kewariaan, ndak tahunya pas dar..-nya jadi, eh,
dibuang si Siti ke tempat sampah. Sial banget, deh.” “Ya, ampun! Sinting
banget, sih, pembokat elo! Gile, kalo gue jadi elo, sih, nggak tau, deh, gue bakalan
mencak-mencak kayak apa,” kata Uci.
“Uh ....., tadi
pagi juga gue udah ngamuk berat. Terus, tahu nggak gimana reaksi si Siti? Ha,
pasti elo nggak nyangka, deh. Sekarang dia lagi ‘pesiar’ dalam rangka
melancarkan aksi ngambek-nya,” kataku kesal. “Lho, jadi dia sekarang nggak ada
di rumah?”
Aku mengiyakan. “Ck
..... ck ..... ck ..... Hebat banget pembantu elo! Bener-bener sinting tulen.
Udah, pecat aja, deh, pake susah-susah segala,” kata Ani bersemangat. “Memang
gue udah mikir begitu. Pokoknya, begitu nyokap bokap gue pulang, langsung gue
laporin, deh, si Siti. Biar tahu rasa kalau dipecat,” kataku.
“Eh, jangan
langsung dipecat dulu,” kata Tini memberi saran. “Emang kenapa ?” tanyaku
heran. “Elo kira gampang cari pembantu sekarang? Maksud gue yang orang baik,
gitu. Jangan-jangan elo bakalan dapat yang lebih brengsek. Bisa runyam, ‘kan?”
Tini ber-celoteh panjang-lebar.
“Iya juga, sih.
Hati-hati, lho, pembantu sekarang banyak yang nggak jujur. Tetangga gue aja
barusan kemalingan. Malingnya nggak jauh-jauh, pembantu sendiri, yang habis
nyopet langsung kabur,” tambah Evi. “Soal pembantu suka nyolong, sih, nggak
jauh-jauh. Itu si Sum pembantu di rumahku yang tampangnya ndeso banget dan tak
pernah bertingkah macam-macam, taunya dia itu tangannya panjang. Di rumah gue
nggak boleh narok apa-apa sembarangan. Bisa langsung lenyap tanpa bekas!”
cerita Uci.
“Kenapa nggak
dipecat saja ?” tanyaku. “Susah, Rit, nyari pembantu sekarang. Nyokap gue lagi
nyari, tapi belum ketemu. Kita nggak mau ngambil pembantu dari penyalur,
soalnya banyak yang mengeluh tentang pembantu yang diambil dari sana. Jadi,
sementara ini si Sum tetap saja dipakai. Paling-paling sekarang kita yang harus
ekstrahati-hati. Lagipula dia ‘kan nggak bakalan berani ngambil yang
gede-gede,” kata Uci lagi.
“Ngomong-ngomong,
kita pulang yuk,” kata Ani. “Tadi kita kesini ‘kan cuma mau minta minum gratis,
habis jalan-jalan dari Blok M.” Teman-temanku pulang. Aku sendiri lagi.
Gelas-gelas kotor kubawa ke dapur. Buset, makin banyak saja yang kotor. Kucuci
semua, kususun di rak piring. Lalu aku ingat air minum sudah habis, dan aku
juga harus masak nasi untuk makan malam. Selesai melakukan kedua hal itu, aku
teringat lagi bahwa tanaman di taman belum disiram, dan ikan-ikan di kolam
belum diberi makan. Wah capek juga rasanya.
Aku jadi ingat, si
Siti pasti tiap hari capek sekali melayani seluruh kebutuhan keluarga kami.
Mulai dari subuh sampai malam. Salah sedikit nggak apa-apalah. Toch dia juga
baru sekitar empat bulan bekerja, jadi belum terlalu berpengalaman. Aduh,
tiba-tiba aku jadi kasihan sama si Siti. Pasti dia sakit hati kubentak-bentak
dengan kata-kata kasar tadi pagi. Memang, sih, dia salah. Tapi mestinya aku
‘kan bisa menggunakan kata-kata yang lebih ‘beradab’ untuk memperingatkannya.
Hari semakin malam.
Siti ....., ke mana, sih, kamu? Pulang, dong! (Dikutip dari tulisan Maria
Margareta Manuwembun dalam buku Menulis Secara Populer, Ismail Marahimin)
0 Response to "Contoh Cerita Pendek Populer "
Post a Comment