Neda agungnya
paralun / neda panjangnya hampua / bisi nebuk sisikunya / bisi nincak
lorongananya /Aing dek nyaritakeun/ urang Badui ..... / (Mohon ampun sebesarnya
/ mohon maaf selalu / bila menyentuh intinya / bila menginjak larangannya /
Akan kuceritakan tentang orang Badui .....).
Dan, Judistira
Garna, sang antropolog dari UNPAD itu pun bercerita tentang kearifan orang
Badui, yang dalam kesederhanaan hidup mampu membendung gencarnya kedatangan
alam modern. Wawasan mereka yang dalam tentang kehidupan seakan memberikan
citra yang kebalikannya, bahwa masyarakat Badui adalah masyarakat terasing.
Penasaran karena
melihat begitu hormatnya Judistira yang merupakan pakar yang paling top dalam
Badui ini, sampai-sampai ia harus meminta maaf sebelum ia bercerita tentang
mereka, aku merasa ingin segera mengangkat ransel menuju Banten, Jawa Barat,
tempat suku yang begitu ketat menjaga tradisinya itu bermukim. Ajakan ringan
yang dilemparkan seorang sahabat pun segera kutanggapi serius. Dan segera,
berempat, kami berangkat ke sana.
Goyangan kereta api
Tanah Abang-Rangkas Bitung, gojlokan mobil colt tua yang berlari kencang,
membawa kami ke rumah Pak Sarkaya, penduduk Pasar Simpang, Desa Cibungur,
Kecamatan Lewi Damar, Rangkas Bitung. Pak Sarkaya terkenal sering main ke
daerah Badui. Sebetulnya ada tempat lain yang dapat mencapai daerah Badui lebih
cepat, seperti yang ditawarkan kenek-kenek mobil colt di Rangkas Bitung, tapi
kami tidak merasa terburu-buru.
Malam itu juga,
disertai doa dan titipan salam Pak Sarkaya untuk Jaya, anak kepala suku Cibeo,
kami bergerak perlahan menuju Cibeo, satu dari tiga perkampungan Badui Dalam.
Sebetulnya, empat jam berjalan sudah akan dapat membawa kami, para peloncong alam,
dari Ciboleger ke’pintu gaerbang’ pemukiman Suku Badui. Namun, prinsip
’menikmati alam’ yang kami anut membuat Ciboleger baru mulai kelihatan tujuh
jam kemudian.
Desa Keduketuk
adalah desa pertama yang kami jumpai, salah satu dari sekian banyak desa suku
Badui Luar yang ‘memagari’ tiga suku Badui Dalam. Hitam adalah kesan menyeluruh
penampilan orang-orang Badui Luar. Celana komprang hitam selutut, baju kampret
hitam lurik, dan ikat kepala berwarna biru tua dan hitam merupakan pakaian
sehari-hari khas mereka. Rokok yng mereka isap memperlihatkan sikap ‘menerima’
kemajuan zaman.
Setelah ngobrol
sedikit dengan warga desa ini, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kurang
lebih lima buah bukit kami jejaki lewat jalan setapak yang kadang-kadang terjal
mendaki. Kelelahan selalu terobat oleh hijaunya alam yang indah dan keramah-tamahan warga
Badui Dalam yang sedang berada di huma (ladang) masing-masing Keasyikan kami
melangkah dikejutkan seorang gadis cilik yang nyelonong ngelewati kami. Lho,
dia ‘kan yang tadi nyelonong di Ciboleger bersama ayahnya sambil menunggu kayu
bakar siap? Ya, di belakangnya, sang ayah melangkah tenang memikul kayu bakar.
Mereka tersenyum ramah, tidak ada tanda-tanda mengejek kami yang sudah
kehabisan napas.
Begitu cepat mereka
menyusuri jalan mendaki dengan kaki terlanjang! Gelap turun. Si cilik dengan
ayahnya sudah lama menghilang. Hati-hati kami menapak bukit dengan bantuan
senter-senter kecil menerang jalan. Senda gurau warga Badui Dalam yang sedang
dalam perjalanan pulang dari humanya membuat kami tidak merasa sendirian atau
takut salah jalan.
Dengan ramah,
mereka memimpin jalan menuju perkampungan, santai melenggang tanpa penerangan.
Senter memang tabu bagi mereka. Tidak ada larangan bagi kami untuk tetap
menggunakannya, namun mereka pun tetap berpatokan pada bintang-bintang di
langit. Andai tak ada bintang? Sebatang lilin yang ditempatkan di batok kepala
cukuplah buat mereka. Jaya menyambut kami di perkampungan. Dipersilakannya kami
membersihkan diri dengan air dari dalam potongan-potongan bambu sepanjang
setengah meter, yang tampaknya memang ada di tiap teras rumah penduduk Cibeo.
Rumah-rumah
panggung beratap daun nira itu tidak berpaku sebuah pun. Hanya pasak-pasak yang
membuat rumah-rumah itu tegak berdiri. Ventilasi berupa jendela hanya di rumah
kepala suku, sedangkan rumah-rumah lain sudah cukup puas dengan membuat lobang-lobang kecil di dinding
yang terbuat dari gedek. Tidak ada kursi, meja, atau tempat tidur.
Pakaian pun cuma
di-buntel, ditaruh di tempat khusus di langit-langit rumah. Perlengkapan
memasak yang sangat tradisional diletakkan saja tanpa alas di lantai rumah yang
terbuat dari bambu. Dengan perlengkapan memasak yang tradisional itulah, mereka
ramah menyediakan diri memasak supermi yang kami bawa. Bersama kami menyantap
hidangan hangat itu. Tidak ada sendok, garpu, hanya daun yang dilipat membentuk
cengkok. Gelas juga cuma dari bambu. Bambu dan kayu memang merupakan bahan baku
utama hampir seluruh perkakas yang mereka gunakan.
Cerita-cerita yang
diungkapkan Jaya merupakan pelepas lelah bagi kami. Jaya, satu-satunya warga
Cibeo yang dapat berbahasa Indonesia, menjawab semua keingintahuan kami. Sunda
Wiwitan, begitulah mereka menyebut agama mereka. Dan dengan mengikuti
penanggalan mereka sendiri, mereka berpuasa selama kurang lebih tiga bulan
setiap tahunnya, mulai saat subuh belum lagi sempat menyapa, hingga saat
matahari sudah meringkuk di sudut bumi, setiap harinya. Jika masa panen
selesai, tokoh-tokoh masyarakat Badui Dalam menyambangi tampat arca Domas suci,
di hulu Sungai Ciujung.
Di sana, mereka
melaporkan apa-apa yang telah terjadi dalam setahun itu dan memohon berkah
untuk tahun mendatang. Kerja dan kerja. Itulah yang selalu mereka lakukan.
Itulah ibadah yang selalu mereka sucikan. Itulah yang mereka sebut ‘bertapa’.
Sebab dengan terus ‘bertapa’, dengan kata lain terus bekerja, mereka tidak lagi
punya waktu untuk menyimak iri, dengki, tamak, malas, atau perasaan dan
perbuatan jahat lainnya.
Sebuah perjalanan
tidak bisa dilakukan semau hati karena tidak ada kendaraan yang boleh
digunakan. Jaya pun hanya mengandalkan kekuatan kakinya selama empat hari
menyusuri rel kereta api menuju Jakarta. Juga, tidak setiap warga boleh
meninggalkan daerah Badui Dalam ini. Bahkan kepala suku mempunyai kewajiban
untuk tinggal saja di kampungnya.
Malam telah larut.
Di tengah damainya perkampungan suku Cibeo ini, kami tertidur. Dan ketika subuh
belum lagi pantas disebut, Jaya telah pergi ke huma bersama warga kampung lain.
Berladang tanpa cangkul, bajak, apalagi traktor. Begitu sederhananya,
sesederhana pakaian mereka yang hanya celana komprang plus baju kampret, serta
ikat kepala putih, yang membedakan mereka dari orang-orang Badui Luar.
Sementara ibu-ibu bertelanjang dada keluar menyapu halaman rumah mereka sambil menyusui
anak.
Matahari meninggi.
Kami pamit menuju Cikertawana dan Cikeusik, dua daerah perkampungan Badui Dalam
lain. Kembali kami melangkah kaki di jalan setapak yang membelah bukit-bukit
dan menyusuri sungai-sungai yang menawan.
Di Cikeusik kami
hanya mendapatkan seorang penduduk yang kemudian menjamu kami dengan pisang
besar yang dibakar begitu saja di bara api. Gula aren khas Badui menjadi
campuran susu yang kami buat, ditambah sajian buah asam kranji, sangat
menghibur hati kami yang kecewa karena sepinya kampung, ditinggal warganya
pergi ke huma.
Tak lama kami di
sana karena waktu sudah mengharuskan kami beranjak pulang. Dua hari berada di
tengah orang-orang Badui, cukup membuat kami mengerti rasa hormat yang tumbuh
di dalam hati Judistira Garna, karena kami pun merasakan hal yang sama. Di
balik sikap sederhana dan sorot mata yang lugu dan polos, ada ‘sesuatu’ yang
membuat mereka sanggup begitu kuat menggenggam tradisi mereka, ‘sesuatu’ yang
membuat jiwa terasa begitu damai di tengah-tengah mereka.
Larangan-larangan yang tidak
pernah dilanggar, dan tidak adanya keinginan untuk berontak, merupakan
hal yang terasa sulit dibayangkan. Namun dengan kesederhanaan mereka,
orang-orang Badui membuktikan sebuah kekuatan yang mampu mengekang emosi, dan
ini merupakan salah satu sifat arif dan bijak.
Badui adalah suku
yang jauh di pelosok hutan, namun rasanya banyak yang dapat dipelajari
manusia-manusia modern tentang arti sebuah pribadi yang tegar dan kokoh. Hanya
sebuah pikukuh (ketentuan mutlak) sederhana, yang telah tertanam dalam di nadi
orang-orang Badui, yang membuat mereka begitu mengagumkan:
Gunung jangan dilebur.
Lembah jangan dirusak.
Larangan jangan diubah.
(Ditulis oleh Nuria Widyasari)
0 Response to "Menapak Tanah Badui "
Post a Comment