BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan
merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun
komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan
seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak
afinitas dari paidagogik, yaitu membebaskan manusia secara konfrehensif dari
ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang
mengikat kebebasan seseorang.
Hal
ini terjadi jika pendidikan dijadikan instrumen oleh sistem penguasa yang ada
hanya untuk mengungkung kebebasan individu. Secara memis pendidikan yang ada di
Indonesia adalah sebagian kecil yang terdesain dan terorganisir oleh bingkai
sistem. Gambaran sistem semacam itu merupakan bentuk pemaksaan kehendak dan
merampas kebebasan individu, kesadaran potensi, beserta kreativitas bifurkasi.
Maka pendidikan telah berubah menjadi instrumen oppressive bagi perkembangan
individu atau komunitas masyarakat (Tilaar, 2004: 58).
Maka
dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam
menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia pendidikan
merupakan barometer untuk mencapai maturasi nilai-nilai kehidupan. Ketika
melihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagai mana yang
tercantum dalam UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia
yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian
dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan menurut Widagdho, manusia sebagai
makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi. Dengan demikian,
adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang
multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual
(2001: 8).
Begitu
pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa adanya pendidikan
sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan
cita-citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan bahagia sebagaimana
pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut
peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah
termaktub dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11:
يرفع الله الدين امنوا منكم والدين اوتواالعلم درجت
Artinya :
“Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat” (Depag RI, 1974: 911).
Relevan
dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan
dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan penyelenggaraan pendidikan
yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan mengalami perubahan yang terus
menerus dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem
pendidikan nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk
masyarakat yang benar-benar sadar akan pendidikan.
Melihat
fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan yang mulai melihat
sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi untuk terwujudnya produk
pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi juga berhati mulia dan
berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti karena pesantren memiliki
karakteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan yang dimaksud.
Karena
itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus diseputar pesantren menunjukkan
perkembangkan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai focus wacana,
kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya kontribusi dan
peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur” (untuk menunjuk kepada lembaga
yang bertipologi unik dan menyimpang dari dari pola kehidupan umum di negeri
ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid (1984 : 32) Tetapi juga sebagai
“institusi kultural” (untuk menggambarkan sebuah pendidikan yang punya karakter
tersendiri sekaligus membuka diri terhadap hegemoni eksternal). sebagaimana
ditegaskan oleh Hadi Mulyo (1985 : 71).
Dikatakan
unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga
saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang melewati berbagai episode
zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan
sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta
mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat.
Menurut
Rahim (2001 : 28), pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang
melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, ia
adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga unik dan
punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga saat ini menunjukkan
kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan pluralitas
polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah
banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat besar dalam ikut serta
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat
serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf dengan sekolah
gubernemen.
Oleh
karena itu tak mengherankan bila pakar pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan
Dr. Soetomo pernah mencita citakan model system pendidikan pesantren sebagai
model pendidikan Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan
kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut untuk terus
dipertahan kembangkan.
Menurut
Nur Cholis Madjid, Seandainya Indonesia tidak mengalami penjajahan, maka
pertumbuhan sistem pendidikan Indonesia akan mengikuti jalur pesantren
sebagaimana terjadi di Barat yang hampir semua universitas terkenal cikal
bakalnya adalah perguruan perguruan yang semula berorientasi keagamaan semisal
univ. Harvard. Sehingga yang ada bukan UI, ITB, UGM, UNAIR dan lain sebagainya,
tetapi mungkin Univ. Tremas, Univ. Krapyak, Tebuireng, Bangkalan dan
seterusnya.( 1997 : 22)
Yang
menarik untuk ditelaah adalah mengapa Pesantren --baik sebagai lembaga
pendidikan maupun lembaga sosial-- masih tetap survive hingga saat ini ?
Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren tidak akan
bertahan lama ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan
kompetitif, bahkan ada yang memastikan pesantren akan tergusur oleh ekspansi
sistem pendidikan umum dan modern.
Tak
kurang dari Sutan Ali Syahbana yang mengatakan bahwa sistem pendidikan
pesantren harus ditinggalkan, menurutnya mempertahankan sistem pendidikan
pesantren sama artinya dengan mempertahankan keterbelakangan dan kejumuan kaum
muslimin (1997 : 11). Ada juga yang dengan sinis menyebutkan sistem pendidikan
pesantren hanyalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk memainkan peran di
tengah kehidupan global.
Penilaian
psimis ini bila dilacak muncul dari ketidak akuratan melihat profil Pesantren
secara utuh, artinya memang melihat pesantren “hanya sebagai lembaga tua dengan
segala kelemahannya” tanpa mengenal lebih jauh watak watak barunya yang terus
berkembang dinamik, akan selalu menghasilkan penilaian yang simplifikatif atau
bahkan reduktif.
Dari
sinilah peneliti tergelitik untuk melakukan penelitian terhadap pendidikan
pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia dalam
rangka mencari sesuatu yang belum tersentuh dan tidak terfikirkan oleh sistem
pendidikan Islam di Indonesia.
Penelitian
ini bergulat dengan refleksi pendidikan Islam di Pondok Pesantren tradisional
dalam bentuk deskriptif. Salah satu tujuannya untuk menyadarkan masyarakat akan
pentingnya pendidikan Islam di dunia ini serta meciptakan pemahaman pendidikan
Islam yang lebih progresif konstekstual sehingga mampu menjawab tantangan
zaman.
2. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Alasan
pemilihan judul ini berawal dari motivasi yang menyebabkan peneliti mengadakan
atau melakukan penelitian dan sebagai upaya melegitimasi kreteria dalam
penelitian. Peneliti akan menguraikan beberapa alasan argumentatif mengapa
peneliti memilih judul “Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam
Perspektif Pendidikan Islam Indonesia” yang kemudian diasimilasikan dengan
beberapa faktor yang harus dipenuhi oleh peneliti.
Dalam
ranah penelitian Tarbiyah (ilmu pendidikan), pemilihan judul ini sebenarnya
terdapat beberapa alasan fundamental yang menjadi latar wacana kajiannya,
sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan
intelektual progresif. Adapun alasan-alasan tersebut sebagai berikut :
1. Alasan
Objektif
1. Judul
ini menjadi salah satu yang dipilih mengingat peserta didik merupakan salah
satu subjek pendidikan Islam dan merupakan subjek dari sebuah pondok pesantren.
2. Pentingnya
pendidikan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebab
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang paling banyak muslimnya.
3. Pentingnya
pendidikan Islam di Indonesia bagi kehidupan pluralitas dalam rangka mengubah
paradigma eksklusif menuju paradigma inklusif, demokratis dan progresif sesuai
nilai-nilai agama Islam.
4. Pentingnya
pendidikan Islam yang ada di pondok pesantren tradisional bagi kehidupan
keberagaman dalam rangka mengubah paradigma apatis menuju paradigma
kemandirian, kesederhanaan, keikhlasan, kebersamaan, dan kebebasan serta sesuai
dengan nilai-nilai agama Islam.
5. Pentingnya
memperkenalkan pendidikan pondok pesantren tradisional terhadap peserta didik,
supaya nantinya menjadi manusia yang kreatif, inovatif, kompetitif, dan penuh
semangat progresifitas.
1. Alasan
Subjektif
1. Judul
di atas sangat menarik dan relevan untuk diteliti serta tidak menyimpang dari
spesialisasi keilmuan dari peneliti pada Jurusan Tarbiyah Program Studi
Pendidikan Agama Islam
2. Tersedianya
literatur-literatur sebagai refrensi untuk dijadikan rujukan penelitian.
3. Kesediaan
dan kesiapan peneliti untuk mengkaji Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional
dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia analisa secara teoritik, reflektif,
dan konsepsional serta hermeneutik.
4. Adanya
manfaat bagi peneliti ataupun pihak lain
5. Adanya
kesediaan dosen pembimbing untuk memberikan arahan, pemikiran dan motivasi
dalam penyusunan skripsi.
6. Adanya
kesanggupan peneliti dan dukungan teman-teman seperjuangan untuk berdiskusi
dalam meneliti Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam Perspektif
Pendidikan Islam Indonesia
3. PENEGASAN JUDUL
Guna
menghindari kesalah pahaman penafsiran terhadap judul penelitian yang akan
dilaksanakan, berikut ini akan ditegaskan makna setiap kata dalam judul
penelitian antara lain :
1. Pendidikan
Pondok Pesantren Tradisional
Secara
realistis pondok pesantren tradisional masih tetap eksis mempertahankan aslinya
dengan semata-mata mengajarkan kitab kuning yang ditulis oleh ulama’ abad XV
dengan menggunakan bahasa arab.
Banyak
pakar merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan pendidikan pondok pesantren.
Menurut pendapat Djamil Suherman dan Umi Kulsum, pendidikan pondok pesantren
adalah institusi-institusi yang terkenal dengan ajaran-ajaran agama Islam
melalui kitab kuning (klasik) yang metode pengajarannya memakai sistem sorogan,
wetonan, bandongan, dan hapalan. (Al-‘Adalah,2003:17)
Sebagaimana
telah diketahui, pondok pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan Islam
yang selalu mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman.
Terutama adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa
trasformasi terhadap pondok pesantren. Dalam hal ini pondok pesantren bukan
berarti telah hilang kekhasannya. (Al-‘Adalah,2003:18)
Maka
dalam hal ini, pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan suatu wadah
untuk mengembangkan pola pendidikan yang seluruh aturan mainnya tergantung
kepada sosok figur seorang kiai, baik kurikulum, metode dan pengajarannya.
Sedangkan penerapan nilai-nilainya tidak pernah mengalami pergeseran, meskipun
terjadi perubahan pengetahuan dan teknologi.
2. Perspektif
Perspektif
adalah suatu cara untuk melukiskan benda pada permukaan yang mendatar
sebagaimana terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar dan tinggi),
sudut pandang.
3. Pendidikan
Islam Indonesia
Pendidikan
Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya, sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam
telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
Pendidikan
Islam bila dilihat dari segi kehidupan kultural umat manusia tidak lain adalah
merupakan salah satu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat manusia itu
sendiri. Pendidikan Islam adalah proses membimbing dan mengarahkan pertumbuhan
serta perkembangan anak didik agar menjadi manusia dewasa. (Arifin,2000:10-16)
Sedangkan
menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Islam adalah sebagai suatu bentuk perbaikan
sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri
sendiri maupun orang lain, dan bukan sekedar bersifat teoritis akan tetapi juga
praktis, serta merupakan suatu kolaborasi antara pendidikan iman dan pendidikan
amal. (1996:28)
Pendidikan Islam
di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi
pembangunan pendidikan nasional, serta sebagai amanat sejarah untuk dipelihara
dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa kemasa.
Sejalan
dengan proses penyebaran Islam di Indonesia, pendidikan Islam sudah mulai
tumbuh meskipun masih individual. Maka dari pada itu pendidikan Islam di
Indonesia dimulai oleh para tokoh agama dengan mendekati masyarakat secara
persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama Islam yang
memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar mulailah secara
bertahap berlangsung pengajian umum mengenai tulis baca al-Qur’an serta wawasan
keagamaan.
Namun
demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam di
Indonesia baru terjadi dengan pendirian pesantren. (muncul pada abad XIII dan
mencapai perkembangannya yang optimal pada abad XVIII). (Rahim,2001:06)
Pendidikan Islam
di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap
awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif antara
mubalig (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk
disuatu daerah tersebut tentu mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini
masjid.
Sesuai
dengan gencarnya pembaruan pemikiran Islam yang dicanangkan oleh para pembaharu
muslim diberbagai negara sampai juga gaung pembaruan itu di Indonesia. Dalam
hal ini ide-ide pembaruan pendidikan di Indonesia mulai muncul diawal abad ke
XX, disebabkan banyaknya orang yang tidak puas dengan sistem pendidikan yang
berlaku saat itu. Karenanya ada beberapa sisi yang perlu diperbaharui, yakni
dari segi isi (materi), metode, sistem dan manajemen. (Daulay,2004:45-46)
4. PERUMUSAN MASALAH
Maka
untuk merumuskan permasalahan tersebut, perlu adanya sistematika analitik untuk
mencapai sasaran yang menjadi objek kajian, sehingga pembahasan akan lebih
terarah pada pokok masalah. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari pokok
masalah dengan pembahasan yang tidak fokus dan tidak ada relevansinya. Dengan
demikian penelitian apapun dilaksanakan karena terdapat permasalahan yang
membutuhkan solusi, sebab tanpa adanya permasalahan tidak ada akan mungkin
melakukan suatu penelitian.
Berdasarkan
pernyataan di atas penelitian ini dilaksanakan karena peneliti melihat
pentingnya pendidikan pondok pesantren tradisional berkembang sesuai dengan
perubahan pengetahuan dan teknologi. Agar lebih mudah dan sistematis, serta
dipahami maka peneliti akan merumuskan beberapa kerangka permasalahan antara
lain :
1.
Pokok
Masalah
Bagaimanakah
Pendidikan Pesantren Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia ?
1.
Sub
Pokok Masalah
1. Bagaiamanakah
visi dan misi pendidikan pondok pesantren tradisional?
2. Bagaiamana
kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisional?
3. Bagaimana
managemen pendidikan pondok pesantren tradisional?
5. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan
penelitian secara substansial adalah memecahkan masalah-masalah sebagaimana
yang telah dirumuskan sebelumnya (STAIN, 2002: 10). Maka dari rumusan itulah
akan terdapat sesuatu yang menunjukkan perolehan pasca penelitian. Secara umum,
karena objek penelitian adalah pendidikan yang mengarah terhadap nilai-nilai
Islam. Maka yang menjadi tujuan untuk mengetahui dan memahami yang kemudian di
deskripsikan rumusan tersebut, sehingga akan menghasilkan yang orisinil dan
dapat menghasilkan solusi yang baik dan positif (Bisri, 2004: 203).
Berdasarkan
pada perumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian pada dasarnya harus
sinkron antara tujuan dengan upaya-apaya pemecahan problematika yang telah
dirumuskan. Maksudnya adalah agar tidak ada penyimpangan dalam menciptakan
problem solver yang telah disistematikan dengan tujuan penelitian (STAIN, 2002:
10). Maka dalam tujuan penelitian ini penulis membagi menjadi beberapa bagian,
yaitu :
1.
Tujuan
Umum
Untuk
mendiskripsikan bagaimanakah Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam
Perspektif Pendidikan Islam Indonesia
2.
Tujuan
Khusus
1. Ingin
mendiskripsikan visi dan misi pendidikan pondok pesantren tardisional
2. Ingin
mendiskripsikan kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisional
3. Ingin
mendiskripsikan managemen pendidikan pondok pesantren tradisional
6. MANFAAT PENELITIAN
Dalam
penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat yang baik bagi peneliti, pihak
STAIN Jember, praktisi, pengelola pendidikan dan masyarakat pada umumnya.
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi
Peneliti
1. Untuk
menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pendidikan Islam yang mengacu kepada
realitas empiris
2. Sebagai
modal dasar penelitian pendidikan pada tataran lebih lanjut.
1. Bagi
Lembaga STAIN Jemebr
1. Sebagai
Barometer interdisipliner keilmuan dan kualitas mahasiswa dalam bidang
pendidikan
2. Untuk
menambah perbendaharaan kepustakaan Tarbiyah
3. Bagi
Praktisi Pendidikan
Menjadi bahan
pijakan dalam merumuskan konsep atau format pendidikan yang mengacu pada
realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
1. Bagi
Pengelola Pendidikan
1. Terciptanya
pola pendidikan yang sesuai dengan agama Islam
2. Menjadi
bahan masukan dalam merumuskan konsep atau format pendidikan yang memahami
realitas, sosio-kultur di tengah pendidikan.
1. Bagi
Masyarakat
1. Untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan Islam
2. Penelitian
ini diharapkan dapat berguna bagi lapisan masyarakat sebagai wawasan
pengetahuan pendidikan yang memanusiakan manusia
3. Adanya
interaksi yang sehat antara masyarakat mayoritas dan minoritas dalam kehidupan
beragama, berbangsa, dan bernegara.
7. ASUMSI DAN KETERBATASAN
1.
Asumsi
Pendidikan
pada saat ini masih diyakini sebagai satu-satunya sarana dalam menanamkan
moral, budi pekerti, dan emosional pada calon generasi penerus bangsa.
Pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan suatu wadah pendidikan yang
berciri khas unik dan merupakan pendidikan asli Indonesia.
Maka
dari itu, pendidikan pondok pesantren tradisional sangat signifikan adanya di
dalam menanamkan kesadaran, baik secara nyata, potensi dan kultural. Melalui
pendidikan pondok pesantren tradisional peserta didik diajak untuk mampu
memahami realitas pendidikan Islam pada dasarnya dengan berbagai tahapan dan
sesuai dengan perubahan pengetahuan dan teknologi. Secara tidak langsung
pendidikan pondok pesantren tradisional mengajarkan beberapa pelajaran yang
bernuansakan bahasa arab dengan memakai kitab klasik (kuning) ini tidak
terlepas dari suatu tuntutan di dalam memahami ajaran agama Islam.
Secara
substansial untuk bisa memahami al-Qur’an dan al-Hadist ini harus mampu,
mengetahui dan memahami instrumennya terlebih dahulu (ilmu sorrof dan nahwu),
juga agar lebih mudah mengkaji, serta mendiskripsikan sesuatu yang relevan
antara realitas dengan al-Qur’an dan al-Hadist.
Lebih
dari itu, dalam proses penanaman kesadaran pada peserta didik semua elemen
berperan penting, baik di dalam maupun di luar pesantren. Oleh karena itu,
peserta didik dituntut untuk mampu berinteraksi, komunikasi dan mampu memahami
kebutuhan yang muncul di dalam maupun di dalam pesantren.
Dalam
hal ini sosok seorang figur kiai atau ustadz dan orang tua dituntut untuk mampu
memberikan bimbingan, kontrol, pengawasan dan mampu bersikap objektif dalam
memberikan pemahaman terhadap peserta didik.
Dengan
demikian, peranan pendidikan pondok pesantren tradisional ini adalah merupakan
suatu wadah warisan yang harus dipelihara dan dikembangkan, karena pendidikan
pondok pesantren tradisional sebagai cerminan munculnya pendidikan Islam di
Indonesia.
2.
Keterbatasan
Dalam
melaksanakan penelitian, banyak sekali kendala yang hal tersebut berpengaruh
terhadap jalannya proses penelitian. Kendala tersebut antara lain :
1. Hasil
penelitian belum teruji mengingat masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan
dalam rangka mengimplementasikan konsep pendidikan pondok pesantren tradisional
dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, sebagai contoh : implementasi
pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam
Indonesia di sebuah lembaga pendidikan, secara otomatis merubah kurikulum yang
telah ada dan telah dijadikan acuan dalam proses belajar mengajar.
2. Kurangnya
refrensi atau literatur yang berkenaan dengan teori pendidikan pondok pesantren
tradisional, hal itu sangat penting sekali sebagai pijakan dan pedoman dalam
merumuskan suatu konsep pemikiran.
8. METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN
Di
dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Hal ini merupakan
salah satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan
realitas sosial secara objektif dan melalui paradigma fenomenologis, artinya
metode ini digunakan atas tiga pertimbangan: pertama, untuk mempermudah pemahaman realitas ganda. Kedua, menyajikan secara hakiki antara peneliti
dan realitas; ketiga, metode ini
lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang dihadapi. (Moleong,
2001:5)
1.
Jenis
Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah liberary research (kajian
pustaka), yaitu jenis penelitian yang menjadikan data-data kepustakaan sebagai
teori untuk dikaji dan di telaah dalam memperoleh hipotesa dan konsepsi untuk
mendapatkan hasil yang objektif. Dengan jenis ini informasi dapat diambil
secara lengkap untuk menentukan tindakan ilmiah dalam penelitian sebagai
instrumen penelitian memenuhi standar penunjang penelitian (Subagyo, 1999:
109).
Peneliti
dalam jenis penelitian ini mengambil asumsi-asumsi yang di dasarkan pada
data-data yang mendukung untuk memperoleh wawasan kreatif dan imajinatif. Hal
ini sebagai bentuk komparasi terhadap satu konsepsi pemikiran dengan yang lain
secara produktif dengan tidak meninggalkan dasar ilmiah.
Dalam
liberary reseach peneliti lebih terfokus dan berhadapan langsung dengan teks
literatur yang relevan tanpa mencari data kemana-mana. Sehingga peneliti hanya
melakukan penelitian melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan (Zed,
2004: 4).
2.
Pendekatan
Penelitian
Penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang tidak
melibatkan perhitungan (Moleong, 2001: 2), atau diistilahkan dengan penelitian
ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data. Sedangkan menurut
Bagdan dan Taylor dalam buku panduan STAIN “pendekatan kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati” (2002:19)
Metode
kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila terdapat realitas ganda
lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman pengaruh dan pola
nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian dapat dinilai secara
empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi logis untuk memunculkan
konsepsi yang realistis (Moleong, 2001: 5). Berbeda dengan penelitian kuantitatif
yang bekerja berdasarkan pada perhitungan prosentasi, rata-rata dan perhitungan
statistik lainnya.
3.
Jenis
dan Sumber Data
Jenis
data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat
tektual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang akan diteliti adalah
seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi, pemikiran dan argumentasi
yang terdapat di dalam literatur yang relevan dengan pembahasan. Oleh karena
itu, data yang akan diambil dan dikaji berasal dari data verbal yang abstrak
kualitatif. Sedangkan data yang digunakan antara lain :
1.
Data
Primer
Sumber data
primer, ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa
terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali
kesesuaiannya antara teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan
ilmiah.
2.
Data
Sekunder
Sumber data
sekunder, ialah sumber data yang di peroleh dari sumber-sumber bacaan yang
mendukung sumber primer yang di anggap relevan, hal tersebut sebagai
penyempurnaan bahan penelitian terhadap bahasan dan pemahaman peneliti
4.
Metode
Analisis Data
Analisa
data secara umum di lakukan dengan cara menghubungkan apa yang di peroleh dari
suatu proses kerja awal. hal ini di tujukan untuk memahami data yang terkumpul
dari sumber, yang kemudian untuk di ketahui kerangka berfikir peneliti ( Bisri,
2004: 228).
Adapun metode
analisis data yang di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Analisis
Reflektif
Metode
analisa data yang berpedoman pada cara berfikir reflektif. Pada dasarnya metode
ini adalah kombinasi yang kuat antara berfikir deduktif dan induktif atau
dengan mendialogkan data teoritik dan data empirik secara bolak balik kritis (
STAIN, 2002: 16).
Dalam
metode analisa ini peneliti akan memecahkan masalah dengan pengumpulan data-data
dan informasi untuk di bandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap
literatur atau alternatif tersebut. sehingga pada penyimpulan akan di peroleh
data yang rasional dan ilmiah.
2. Content
Analisis
Content
analisis atau di sebut dengan analisis isi adalah suatu metode untuk memahami
wacana atau problem dengan mencari inti dari wacana tersebut ( Musyarofah,
2002: 15). Maka berkenaan dengan pengolahan dan analisis data, content analisis
di artikan pula dengan analisis data deskriptif berdasarkan isinya (
Suryabrata, 1998: 85).
Jadi
peneliti dalam metode ini akan menganalisa data berdasarkan fenomena yang
terjadi dalam pendidikan pondok pesantren tradisional.
9. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Guna
mensistematiskan pembahasan berikut ini adalah sistematika pembahasan, antara
lain :
BAB I, Memuat tentang latar belakang
dilaksanakannya penelitian ini beserta seperangkat prosedur dan metode
penelitian.
BAB II, Memuat tentang kerangka
teoritik yang selanjutnya menjadi frame work dalam perumusan konsep pemikiran
BAB III, Membahas tentang konsep pendidikan pondok pesantren tradisional
dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia
BAB IV, Memuat kesimpulan tentang pendidikan pondok pesantren dalam
perspektif pendidikan Islam Indonesia.
BAB II
KERANGKA TEORITIK
1. Pendidikan Islam Indonesia
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam, yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain Pendidikan Islam merupakan
suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim. kepribadian yang
memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat
berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu
menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan
isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999: 9).
Menurut
Hasan Langgulung yang dikutip oleh Djamaluddin (1999), Pendidikan Islam ialah
pendidikan yang memiliki empat macam fungsi yaitu :
· Menyiapkan
generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada
masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup
masyarakat sendiri.
· Memindahkan
ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari
generasi tua kepada generasi muda.
· Memindahkan
nilai-nilai yang bertujuan untuk memilihara keutuhan dan kesatuan masyarakat
yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban.
· Mendidik
anak agar beramal di dunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.
An-Naquib
Al-Atas yang dikutip oleh Ali, mengatakan pendidikan Islam ialah usaha yang
dialakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan
tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang
tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan (1999: 10 ).
Adapun
Mukhtar Bukhari yang dikutip oleh Halim Soebahar, mengatakan pendidikan Ialam
adalah seganap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk
menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa, dan keseluruhan
lembaga-lembaga pendidikan yang mendasarkannya program pendidikan atau
pandangan dan nilai-nilai Islam (2002: 12).
Pendidikan
Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong
oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejewantahkan nilai-nilai Islam,
baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan (Soebahar, 2002: 13).
Kendati
dalam peta pemikiran Islam, upaya menghubungkan Islam dengan pendidikan masih
diwarnai banyak perdebatan, namun yang pasti relasi Islam dengan pendidikan
bagaikan dua sisi mata uang, mereka sejak awal mempunyai hubungan filosofis
yang sangat mendasar, baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis.
Yang
dimaksud dengan pendidikan Islam disini adalah : pertama, ia merupakan suatu upaya atau proses yang dilakukan secara
sadar dan terencana membantu peserta didik melalui pembinaan, asuhan, bimbingan
dan pengembangan potensi mereka secara optimal, agar nantinya dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai keyakinan dan pandangan
hidupnya demi keselamatan di dunia dan akherat. Kedua, merupakan usaha yang sistimatis, pragmatis dan metodologis
dalam membimbing anak didik atau setiap individu dalam memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran islam secara utuh, demi terbentuknya kepribadian yang utama
menurut ukuran islam. Dan ketiga,
merupakan segala upaya pembinaan dan pengembangan potensi anak didik untuk
diarahkan mengikuti jalan yang islami demi memperoleh keutamaan dan kebahagiaan
hidup di dunia dan di akherat.
Menurut
Fadlil Al-Jamali yang dikutip oleh Muzayyin Arifin, pendidikan Islam adalah
proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat
derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitroh) dan kemampuan
ajarnya (2003: 18).
Maka
dengan demikian, pendidikan Islam dari beberapa pengertian di atas penulis
menyimpulkan, bahwa pendidikan Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan
pribadi manusia, baik dari aspek rohaniah, jasmaniah, dan juga harus
berlangsung secara hirarkis. oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan suatu
proses kematangan, perkembangan atau pertumbuhan baru dapat tercapai bilamana
berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan transformatif dan
inovatif.
Pendidikan
islam sebagaimana rumusannya diatas, menurut Abd Halim Subahar ( 1992 : 64)
memiliki beberapa prinsip yang membedakannya dengan pendidikan lainnya, antara
lain :
· Prinsip
tauhid
· Prinsip
Integrasi
· Prinsip
Keseimbangan
· Prinsip
persamaan
· Prinsip
pendidikan seumur hidup, dan
· Prinsip
keutamaan.
Sedangkan tujuan
pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
· Untuk
membentuk akhlakul karimah.
· Membantu
peserta didik dalam mengembangkan kognisi, afeksi dan psikomotori guna
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai pedoman hidupnya
sekaligus sebagai kontrol terhadap pola fikir, pola laku dan sikap mental.
· Membantu
peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin dangan membentuk mereka
menjadi manusia beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, berkepribadian integratif, mandiri dan menyadari sepenuhnya
peranan dan tanggung jawab dirinya di muka bumi ini sebagai abdulloh dan
kholifatulloh.
Dengan
demikian, sesungguhnya pendidikan islam tidak saja fokus pada education for the brain, tetapi juga
pada education for the heart. Dalam
pandangan islam, karena salah satu misi utama pendidikan islam adalah dalam
rangka membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin, maka ia harus
seimbang, sebab bila ia hanya focus pada pengembangan kreatifiats rasional
semata tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional, maka manusia tidak akan dapat
menikmati nilai kemajuan itu sendiri, bahkan yang terjadi adalah
demartabatisasi yang menyebabkan manusia kehilangan identitasnya dan mengalami
kegersangan psikologis, dia hanya meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam
etik.
Demikian
pula pendidikan islam mesti bersifat integralitik, artinya ia harus memandang
manusia sebagai satu kesatuan utuh, kesatuan jasmani rohani, kesatuan
intelektual, emosional dan spiritual, kesatuan pribadi dan sosial dan kesatuan
dalam melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.
2.
Dasar-Dasar Pendidikan Islam
Dalam
setiap aktivitas manusia sebagai instrumen transformasi ilmu pengetahuan,
budaya, dan sebagai agen perubahan sosial, pendidikan memerlukan satu landasan
fundamental atau basik yang kuat. Adapaun dasar yang di maksud adalah dasar
pendidikan Islam suatu totalitas pendidikan yang wajib bersandar pada landasan
dasar sebagaimana yang akan dibahas dalam bagian berikut ini.
Pendidikan
Islam baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas yang bergaerak dalam rangka
pembinaan kepribadian yang utuh, paripurna atau syumun, memerlukan suatu dasar
yang kokoh. kajian tentang pendidikan Islam tidak lepas dari landasan yang
terkait dengan sumber ajaran Islam yaitu :
· Al-Qur’an
Al-Qur’an
ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk
keperluan aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam
Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan
masalah keimanan yang disebut aqidah dan yang berhubungan dengan amal disebut
syari’ah. Oleh karena itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai
sumber dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam sesuai dengan
perubahan dan pembaharuan (Darajat, 2000: 19).
· As-Sunnah
As-Sunnah
ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan rasul. Yang di maksud dengan
pengakuan itu ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui oleh
Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan.
Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an yang juga sama berisi
pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina
umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Untuk itulah rasul
Allah menjadi guru dan pendidik utama.
Maka
dari pada itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi
manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah
sebabnya mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk yang
berkaitan dengan pendidikan. As-Sunnah juga berfungsi sebagai penjelasan
terhadap beberapa pembenaran dan mendesak untuk segara ditampilkan yaitu :
1. Menerangkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
2. Sunnah
mengkhitmati Al-Qur’an.
· Ijtihad
Ijtihad
adalah istilah para fuqoha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang
dimiliki oleh ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu
hukum syara’ dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an
dan Sunnah. Namun dengan demikian ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi
seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada
Al-Qur’an dan Sunnah.
Oleh
karena itu, ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat
dibutuhkan sepanjang masa setelah rasul Allah wafat. Sasaran ijtihad ialah
segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa berkembang.
Ijtihad dalam bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin
maju bukan saja dibidang materi atau isi, melainkan juga dibidang sistem.
Secara
substansial ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam.
· Al-Kaun
Maksud
Allah menurunkan ayat kauniyah tersebut yaitu untuk mempermudah pemahaman
manusia terhadap lingkungan sekitar sehingga dapat mengakui kebesarannya
seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Ar- Ra’du ayat 3 yang berbunyi :
وهوالدي مد الارض وجعل فيها روسي وانهرا ومن كل الثمرت جعل فيها زوجين
اثنين يغش اليل النهارا ن في دلك لايت لقوم يتفكرون
Artinya : “Dialah
Tuhan yang mmembentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung, sungai-sungai
padanya. Dia menjadikan padanya buah-buahan berpasang-pasangan. Allah jualah
yang menutup malam kepada siang sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir” (Depag RI, 1992: 368).
Berdasarkan
firman Allah di atas, bahwa setiap orang berfikir harus mengakui kebesaran
Allah dan hal ini relevan untuk dijadikan dasar dalam pendidikan Islam.
3.
Unsur-Unsur Pendidikan Islam
Dalam
implementasinya, fungsinya, pendidikan Islam sangat memperhatikan aspek yang
mendukung atau unsur yang turut mendukung terhadap tercapainya tujuan dari
pendidikan Islam. Adapun aspek atau unsur-unsur tersebut adalah :
1. Tujuan
Pendidikan Islam
Menurut
Fadlil Aljamali yang dikutip oleh Abdul Halim Soebahar sebagai berikut: Pertama, mengenalkan manusia akan
perannya diantara sesama (makhluk) dan tanggung jawab pribadinya. Kedua, mengenalkan manusia akan
interaksi sosial dan tanggung jawab dalam tata hidup bermasyarakat. Ketiga, mengenalkan manusia akan alam
ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberi
kemungkinan untuk mengambil manfaat dari alam tersebut. Keempat, mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan
memerintahkan beribadah kepada-Nya (2002: 19-20).
Tujuan
pendidikan Islam adalah tercapainya pengajaran, pengalaman, pembiasaan,
penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya. Sedangkan menurut Zakiyah Dzarajat
tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk insan kamil dengan pola taqwa dapat
mengalami perubahan, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang.
Oleh karena itulah tujuan pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk
menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan (2000: 31).
Hal
yang sama pula tujuan pendidikan Islam dapat dipahami dalam firman Allah :
يايهاالدين امنوا اتقوا الله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون
Arinya: “Wahai
orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya
taqwa; dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (QS. 3 Ali-Imron:
102).
Sedangkan
menurut Ahmad D Marimba yang dikutip oleh Halim Soebahar, menyatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya muslim. Dan menurutnya bahwa tujuan
demikian identik dengan tujuan hidup setiap muslim. Adapun tujuan hidup seorang
muslim adalah menghamba kepada Allah yang berkaitan dengan firman Allah Surat
Dzariat 56 yang berbunyi :
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون
Artinya: “Dan aku
(Allah) tidak menjadikan jin dan manusia melainkan untuk meyembah-Ku”.
Dan
masih banyak beberapa deskripsi yang membahas tentang tujuan pendidikan Islam
seperti konfrensi pendidikan di Islamabat tahun 1980, bahwa pendidikan harus
merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan
kepribadian muslim secara meyeluruh yang harmonis yang berdasarkan fisiologis
dan psikologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu
pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah muslim yang paripurna,
berjiwa tawakkal secara total kepada Allah sebagaimana firman Allah Surat
Al-An’am Ayat 162:
قل ان صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العلمين
Artinya:
“Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya bagi Allah,
tuhan semesta alam”. Imam Al-Ghazali mengatakan tujuan penddikan Islam adalah
untuk mencapai kesempurnaan manusia yang mendekatkan diri kepada Allah dan
bertujuan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (Langgulung, 1990: 9).
Maka
dari pada itu, tujuan pendidikan Islam dirumuskan dalam nilai-nilai filosofis
yang termuat dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dasar
pendidikannya, maka tujuan pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam
itu sendiri. Sedanagkan Muhammad Umar Altomi Al-Zaibani yang dikutip oleh
Djalaluddin, mengatakan tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi
nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlak ul karimah. Tujuan ini sama dan
sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulann yaitu “membimbing
manusia agar berakhlak mulia”. (2001: 90).
Maka
dengan demikian tujuan pendidikan Islam yang berdasarkan deskripsi di atas
ialah menanamkan makrifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap dirinya
sendiri selaku hamba Allah, kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus
meiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya, serta
menanamkan kemampuan manusia untuk menolak, memanfaatkan alam sekitar sebagai
ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia, dan kegiatan ibadahnya
kepada pencipta alam itu sendiri.
Telah
kita ketahui, bahwa dasar tujuan pendidikan ditiap-tiap negara itu tidak selalu
tetap sepanjang masa, melainkan sering mengalami perubahan atau pergantian,
sesuai dengan perkembangan zaman. Perumbakan itu biasanya akibat dari
pertentangan pendirian atau ideologi yang ada di dalam masyarakat itu. Hal ini
kerap kali terjadi lebih-lebih di negara yang belum stabil kehidupan
politiknya, karena mereka yang bertentangan itu sadar bahwa pendidikan memegang
peranan penting sebagai generasi bangsa.
Sama
halnya dengan tujuan pendidikan di Indonesia juga selalu berubah-rubah,
dikarenakan kondisi dan situasi politiknya tidak stabil. Hal ini dibuktikan
mulai tahun 1946 sampai pada saat sekarang. Dengan demikian tujuan pendidikan
itu tidak berdiri sendiri, melainkan dirumuskan atas dasar hidup bangsa dan
cita-cita negara dimana pendidikan itu dilaksanakan. Sikap hidup itu dilandasi
oleh norma-norma yang berlaku bagi semua warga negara.
Oleh
karena itu, sebelum seseorang melaksanakan tugas kependidikannya, terlebih
dahulu harus memahami falsafah negara, supaya norma yang melandasi hidup
bernegara itu tercermin dari tindakannya, agar pendidikan yang diarahkan kepada
pembentukan sikap posisi pada peserta didik hendaknya diperhitungkan pula bahwa
manusia muda (peserta didik) itu tidak hidup tersendiri di dunia ini.
(Uhbiyati, dkk,2001:135-139)
2. Subjek
Pendidikan.
Subjek
pendidikan adalah orang yang berkenaan langsung dengan proses pendidikan dalam
hal ini pendidik dan peserta didik. Peserta didik yaitu pihak yang merupakan
sabjek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan atau tindakan pendidik
itu diadakan atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik kepada tujuan
pendidikan Islam yang dicita-citakan. Dalam PPRI No. 19 tahun 2005, tentang
Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan peserta didik
ialah anggota masyarakat yang berusaha menyumbangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
tertentu (PPRI, 2005: 12)
Pendidik
atau guru secara implisit ia telah merelakan dirinya dan memikul dan menerima
sebagai tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak pada oranag tua.
(Dzarajat, 2000: 39)
Maka
dengan demikian subjek pendidikan Islam yaitu semua manusia yang berproses
dalam dunia pendidikan baik formal, informal maupunn nonformal yang sama-sama
mempunyai tujuan demi pengembangan kepribadiannya. Sehingga menjadi insan yang
mempunyai kesadaran penuh kepada sang pencipta.
3. Kurikulum
dan Materi.
Hal
penting yang perlu diketahui dalam proses belajar mengajar atau proses
kependidikan dalam suatu lembaga adalah kurikulum (Arifin, 2003: 77).
Menurut
Soedijarto yang dikutip Khoiron Rosyadi mengartikan kurikulum dengan lima
tingkatan, yaitu : Pertama, sebagai
serangkaian tujuan yang menggambarkan berbagai kemapuan (pengetahuan dan
keterampilan), nilai dan sikap yang harus dikuasi dan dimiliki oleh peserta
didik dari suatu satuan pendidikan; Kedua,
sebagai kerangka materi yang memberikan gambaran tentang bidang-bidang
study yang harus dipelajari oleh peserta didik untuk menguasai serangkaian
kemampuan, nilai dan sikap yang secara institusional harus dikuasi oleh peserta
didik setelah selesai dengan pendidikannya; Ketiga,
diartikan sebagai garis besar materi dari suatu bidang study yang telah
dipilih untuk dijadikan objek belajar. Keempat,
adalah sebagai panduan dan buku pelajaran yang disusun untuk menunjang
terjadinya proses belajar mengajar; Kelima,
adalah sebagai bentuk dan jenis kegiatan belajar mengajar yang dialami oleh
para pelajar, termasuk di dalamnya berbagai jenis bentuk dan frekuensi evaluasi
yang digunakan sebagai bagian terpadu dari strategi belajar mengajar yang
direncanakan untuk dialami para pelajar. (2004:243-244)
Oleh
karena, itu kurikulum menggambarkan kegiatan belajar mengajar dalam suatu
lembaga kependidikan tidak hanya dijabarkan serangkai ilmu pengetahuan yang
harus diajarkan pendidik kepada anak didik, dan anak didik mempelajarinya.
Tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandanag perlu,
karena mempunyai pengaruh terhadap anak didik dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan Islam. Adapun pengertian kurikulum secara etimologi berasal dari
bahasa latin, (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga),
kemudian yang dialihkan kedalam pengertian pendidikan menjadi suatu lingkaran
pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya. Dan secara termenologi
adalah menunjukkan tentang segala mata pelajaran yang dipelajarai dan juga
semua pengalamam yang harus diperoleh serta semua kegiatan yang harus dilakukan
anak.
Adapun
yang dimaksud dengan materi yaitu bahan-bahan atau pengalaman belajar ilmu
agama Islam yang disusun sedemikian rupa atau disampaikan kepada anak
didik.(Uhbiyati, 2003:14)
Materi
dan kurikulum memiliki keterkaitan atau depadensi yang sangat erat mengingat
meteri merupakan integral dari kurikulum, dan pencapaian materi secara
sistematis diatur dari kurikulum yang ada.
4. Metode,
Media, dan Evaluasi.
Metode
merupakan instrumen dan dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau alat
yang mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat polipragmatis dan
monopragmatis. Oleh karena itu, metode dalam pengertian litter lijk, kata
“metode” berasal dari bahasa grek yang terdiri dari meta yang berarti
“melalui”, dan hodos yang berarti “jalan”. Jadi metode berarti “jalan yang
dilalui”. Maka secara umum metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu,
cara itu mungkin baik mungkin tidak baik. atau metode juag dapat diartikan
sebagai cara untuk mempermudah pemberian, pemahaman kepada anak didik mengenai
bahan atau materi yang diajarkan. (Arifin, 2003: 89)
Media,
menurut gerlach dan Eli sebagaimana dikutip Azhar Arsyad, mengatakan bahwa
media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian
yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,
keterampilan atau sikap (1996: 1)
Jadi
media merupakan sarana untuk mempermudah pemberian pemahaman kepada peserta
didik.
Evaluasi
adalah suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi
untuk menilai keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang suatu sistem
pengajaran atau yang dimaksud evaluasi dalam pendidikan Islam adalah merupakan
cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan
standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek
kehidupan mental psikologis dan spritual religius, karena manusia hasil
pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius
melainkan juga berilmu dan berketarampilan yang sanggup beramal dan berbakti
kepada Tuhan dan masyarakatnya. (Arifin, 2000: 238)
Dalam
rangka menilai keberhasilan pendidikan, evaluasi penting untuk dilaksanakan
karena sebagai pijakan dalam merumuskan program-program pendidikan yang akan
datang.
5. Lingkungan.
Lingkungan
ialah sesuatu yang berada diluar diri anak dan mempengaruhi perkembangannya.
Lingkungan sendiri dibagi tiga macam yang keseluruhannya mendukung terhadap
proses implementasi pendidikan Islam, misalnya masyarakat, sekolah, dan
keluarga. Dalam arti yang luas lingkungan mencakup iklim dan geografis, tempat
tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Oleh karena itu,
dengan kata lain lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam
alam kehidupan yang senantiasa berkembang. (Daradjat, 2000: 63)
Jadi
lingkungan mempunyai andil yang sangat signifikan dalam pembentukan sikap dan
prilaku yang pada akhirnya akan membentuk sebuah kepribadian yang sempurna.
2.
Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam
1.
Pengertian Pondok Pesantren
Pengertian
pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe-dan akhiran an, berarti
tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yang dikutip oleh Haidar Putra
Daulay, mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang
belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti, tempat
orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren
adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional”
untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman
hidup keseharian (2004: 26-27).
Dalam
kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri,
atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren
adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok
(asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum,
bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya
sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam
kehidupan bermasyarakat (Fenomena, 2005: 72).
Pondok
pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan
terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan
pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang
lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan
pondok pesantren secara komprehensif (Artikel, 1).
Maka
dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman, definisi serta persepsi
terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren
diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat
sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selamanya
benar.
2.
Tipologi Pondok Pesantren
Seiring
dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat,
bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi
sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat
mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut
Yacub yang dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasanya ada beberapa pembagian
pondok pesantren dan tipologinya yaitu :
1. Pesantren
Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan
kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun
sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode
sorogan dan weton.
2. Pesantren
Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi),
memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan
keterampilan.
3. Pesantren
Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini
menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya
terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan
dipesantren kilat.
4. Pesantren
terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional
atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja,
dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santrinya mayoritas berasal dari
kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)
Sedangkan
menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1. Pesantren
yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami
ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang
diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari
kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad
pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang,
seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah
Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.
2. Pesantren
yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum
yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang
ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak
mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3. Pesantren
yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah
(sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah
(sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang
sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan
meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa
Timur adalah contohnya.
4. Pesantren
yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar
disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama
dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti
oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak
jumlahnya. (2002:149-150)
3.
Dinamika Pondok Pesantren
Dalam
perspektif sejarah, lembaga penidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini
telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke 18.
seiring denga perjalanan waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju, tumbuh dan
berkembang sejalan dengan proses pembangunan serta dinamika masyarakatnya. Ini
menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir,
dirinya sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakatnya.
Dinamika
lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia ini tampak dalam
beberapa hal, seperti :
1. Peningkatan
secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa
pada tahun 1977 ada 4195 pesantren dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah
tersebut menjadi 5661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981, kemudian
meningkat menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri 5,9 juta orang pada
tahun 1985.
2. Kemampuan
pesantren untuk selalu hidup ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami
berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun
dana, serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang
berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Dan pesantren juga
mampu mendinamisir dirinya ditengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara
sosiologis, ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang
dibutuhkan masyarakat. (Khozin,2006:149)
Sedangkan
perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan bertahan ditengah perubahan,
tidak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren untuk bersaing dalam
memperebutkan peserta didik. Seperti Dhofir mengatakan (1992), bahwa dominasi
pesantren di dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun
1950-an. Salah satu faktornya, adalah lapangan pekerjaaan “modern” mulai
terbuka bagi warga Indonesia yang mendapat latihan di sekolah-sekolah umum.
Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah lebih memberikan
perhatian terhadap sistem pendidikan nasional, dengan membangun sekolah-sekolah
umum dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Perkembangan
akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan
meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa
perubahan dan inprovisasi yang berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga
pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil
yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam ini adalah
pesantren yang menyusun kurikulumnya, berdasarkan pemikiran akan kebutuhan
santri dan masyarakat sekitarnya.
Maka
dari pada itu, apapun motifnya perbincangan seputar dinamika pesantren memang
harus diakui mempunyai dampak yang besar contohnya semakin dituntut dengan
adanya teknologi yang canggih pesantrenpun tidak ketinggalan zaman untuk selalu
mengimbangi dari setiap persoalan-persoalan yang terkait dengan pendidikan
maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri, mulai dari sisi mengaji ke
mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di dalam pesantren itu sendiri,
bahwa mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Karenanya pesantren tidak akan
pernah mengalami statis, selama dari setiap unsur-unsur pesantren tersebut bisa
menyikapi dan merespon secara baik, apa yang paling aktual. (Mas’ud dkk,
2002:72-73)
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
TRADISIONAL DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
INDONESIA
Pesantren
Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas
aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para
santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan
yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh
para ulama’ abad pertengahan.
Dalam
perspektif pendidikan Islam Indonesia, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan
pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yang bergerak pada
wilayah dan domaian pendidikan hati yang lebih menekankan pada aspek “afektif
pendidikan “ atau “atticude pendidikan” . Namun sebagian yang lain menyebutkan,
pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional
yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif
(knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill)
Dengan
demikian, pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah menjadi
bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang surut
dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, namun tak dapat disangkal
hingga saat ini pesantren tetap survive, bahkan beberapa diantaranya bahkan
muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah masalah sosial
masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren Pabelan di Mangelang yang
mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.
Efektifitas
persantren untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal
keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat
(Commonity learing centre), seperti di contohkan Gur Dur pada Pesantren
Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut memberikan pengajian
dan problem solving gratis pada Ibu ibu rumah tangga di desa desa lingkungan
pesantren dan sekitarnya.
Hasil
dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi pembentukan
pandangan, nilai nilai dan sikap hidup bersama dimasyarakat, padahal
pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak manjangkau sisi ini. Disini terlihat
jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara pendidikan, tetapi juga
penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola hidup dimasyarakat.
Meskipun
dalam melakukan pemecahan masalah masalah sosial masyarakat sekitarnya,
pesantren tidak menggunakan teori pembanguan seperti yang digunakan pemerintah,
dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari
penghayatran dan pemahaman keberagamaan sang kyai, tetapi efektifitasnya dalam
merubah pola hidup masyarakat tidak dapat disangsikan. Keunggulan keunggulan
itu sesunggunhnya merupakan kekayaan Bangsa ini yang jika kian mendapat
dukungan yang lebih signifikan dari semua pihak dalam skenario besar kehidupan
berbangsa, maka bukan tidak mungkin ia akan menjadi mutiara yang sangat
berharga bagi perbaikan bangsa Indonesia. Oleh karena itu sekali lagi,
melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren dengan memakai pendekatan
formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat, tentu tidak akan akurat.
Namun
demikian tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan terbebas dari
berbagai kelemahan, Para pakar pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar,
antara lain :
1. Di
Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi dan tujuan
pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas.
Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat alamiyah.
2. System
kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali
mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang
tidak mungkin tertangani oleh satu orang.
3. Dalam
merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim
as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana
benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga,
ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang
layang diudara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut
menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4. Sistem
pengajarannya kurang efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat
memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Dsb.
Pondok
pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki beberapa fungsi,
diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi al din (pendalaman pengetahuan tentang
agama), fungsi tarbiyah al akhlaq (pembentukan kepribadian / budi pekerti), dan
fungsi pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi sosial. Hanya saja dalam
konteks pendidikan , tepatnya, proses belajar mengajar, konsep tafaqquh fi al
din kurang mendapat porsi yang semestinya, yang terjadi di pesantren,
penekanannya bukan pada tafaqquh fi al din, tetapi sekeder transfer ilmu
pengetahuan.
Meskipun
dipesantren, santri lebih mengutamakan capaian substansial keilmuannya
ketimbang capaian capaian formal, akan tetapi tetap ada tuntutan yang mendesak
agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning, yaitu bukan sekedar
memahami sebagaimana adanya, hitam diatas putih terhadap teks yang terdapat
dalam kitab kuning, namun juga konteks historisnya. Atau bahkan tidak sekedar
kitab kuning, tapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah dan biru. tuntutan
untuk memahami komprehensitas konteks dari leteratur klasik merupakan tuntutan
yang amat mendasar sebagai syarat kwalifikasi keilmuan dalam rangka menjawab
berbagai tantangan global.
Kultur
belajar mengajar di pesantren yang banyak dirasakan sebagai kurang memberi
kelonggaran untuk bertanya, apalagi berdebat, terutama dalam rumusan “mengapa“,
hal yang demikian menurut Masdar F Mas’udi (1993 : 11) karena berhubungan erat
dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan masyarakat islam zaman
kemandegan Pertengahan abad ke 13 M.
Di
sebagian masyarakat Pesantren terdapat persepsi atau frem yang tidak sepenuhnya
benar, yakni sebuah frem yang menganggap bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang lahir
dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan suatu nur yang
memancar atau yang dipancarkan dari atas dari sebuah sumber yang tidak
diketahui bagaimana datangnya. Akhirnya muncul persepsi bahwa ilmu bukan
sesuatu yang harus dicari, digali dan diupayakan dari bawah, melainkan sesuatu
yang ditunggu dari “atas”. Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang
diyakini memancar dari atas, tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain
manusia atau bahkan segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini .
akibatnya adalah apa yang mesti dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu
adalah menyediakan kondisi spiritual yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu
melalui latihan latihan kerohanian (riyadhah) secara intensif dan benar.
Nah
dalam proses riyadhah, pada perspektif sufi, difahami bahwa seorang murid tak
ubahnya bagaikan si buta yang tak mungkin menemukan jalan tanpa uluran tangan
seorang guru (mursyid) yang dipercaya mengantarkannya kepada Tuhan yang maha
kuasa. Disinilah kita dapat memahami posisi guru menjadi demikian signifikan
dan vital bagi seorang murid yang hendak mengarungi jalan bathin. Syair sufi
mengatakan “ hendaklah dihadapan gurumu, engakau bagaikan sebujur mayat ditangan
yang memandikannya”. Hal yang seperti ini jelas akan melemahkan daya kritis dan
kreatifitas pada masyarakat pesantren, lebih lebih di jaman serba canggih ini.
Dipesantren,
lebih banyak menghafal ketimbang kemampuan memahami dan menalar ilmu ilmu itu,
diakui bahwa kemampuan mengingat dan menghafal bukan sesuatu yang tidak
penting, akan tetapi mesti seimbang dengan kemampuan menalar, sebab kalau
dimensi menalar dilemahkan , maka dengan sendirinya santri menjadi tidak
mempunyai daya kritisitas yang memadai. Akhirnya proses pendidikan hanya
bersifat transfer (memindahkan), tidak ada proses pendalaman, pemahaman dan
kajian. Nah bila ini yang terjadi maka bukan tafaqquh tapi hanya tahafudz.
Leteratur
yang dikaji jangan hanya terbatas pada kitab yang sudah menjadi barang jadi,
seperti, fahtul muin, fathul wahab, tetapi diprioritaskan pada ilmu
metodologinya, seperti : ushul fiqh, tarikh tasyri’ dan semacamnya.
Walhasil
bahwa pendidikan di pesantren ada kelemahan dan kelebihannya, tapi jika
pesantren mampu mengeleminir kelemahan tersebut dan mengoptimalkan
kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu alternatif yang
cukup menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya
system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada education for
the brain dan relatif mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya
hampir bisa dipastikan akan menghasilkan over educated society, kian
membludaknya pengangguran elit intelektual, meraksasa dalam tehnik tapi merayap
dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung dalam menikmati kehidupan,
cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya,. Dalam suasana yang seperti ini, lembaga
pendidikan pesantren akan dilirik untuk memainkan peran sebagai :
1. Lembaga
pendidikan yang memadu pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik,
idealistik dan realistik.
2. Pusat
rehabilitasi sosial (banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi
spiritual akan mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren)
3. Sebagai
pencetak manusia yang punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan
Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ).
Dalam
melaksanakan sistem dan proses pengajaran, pendidikan pondok pesantren dalam
perspektif pendidikan Islam Indonesia mempunyai peran serta memiliki unsur-unsur
atau kontribusi pemikiran terhadap berkembang dan tumbuhnya pendidikan Islam.
Dalam hal ini, lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada
masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak masa
awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awal kemunculannya, lembaga
pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an dan tata
cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau, atau dirumah-rumah
ustadz.
Keberadaan
lembaga-lembaga yang tersebut di atas, kemudian muncul dan berkembang dengan
nama pesantren, ini terus tumbuh didasari tanggung jawab untuk menyampaikan
Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok sebagai asrama tempat
tinggal para santri, masjid sebagai pusat peribadatan dan pendidikan, santri
sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab kuning serta kiai yang mengasuh
merupakan lima elemen dasar keberadaannya.
Secara
mayoritas pondok pesantren merupakan komunitas belajar keagamaan yang erat
hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, pada umumnya masyarakat pedesaan.
Komunitas tersebut kehidupan keagamaan merupakan bagian integral dalam
kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap sebagai sektor yang terpisah.
Oleh karena itu, sosok kiai dalam dunia pondok pesantren tidak dapat dipisahkan,
karena keberadaannya merupakan unsur yang paling signifikan dan sebagai
pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di lingkungan serta diperhatikan
nasehat-nasehatnya.
Oleh
sebab itu, pondok pesantren bukan diperuntukkan sebagai tempat pendidikan bagi
santri semata, melainkan juga bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda
dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan
pendidikannya dengan jelas.
Sebagaimana
telah dijelaskan atau dideskripsikan pada pembahasan sebelumnya, inti atau
penekanan pendidikan pondok pesantren sebagai wadah dan tempat tercapainya
suatu pendidikan Islam Indonesia, yakni tercapainya tujuan pembangunan nasional
bidang pendidikan. Secara realistis banyak kalangan menilai bahwa sistem
pendidikan yang berlangsung di tanah air ini masih belum mampu mengantarkan
tercapainya pendidikan Islam, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Terbukti
semakin maraknya tawuran antar pelajar, konsumsi pengedaran narkoba yang
merajalela, kurangnya rasa hormat peserta didik kepada pendidik dan orang tua,
munculnya egoisme kesukuan yang mengarah kepada separatisme, rendahnya moral
para penyelenggara negara serta lain sebagainya adalah indikasi-indikasi yang
mendukung penilaian di atas. Berpijak dari konsep dasar itulah pendidikan
pondok pesantren mencoba memberikan respon dalam menanggapi sistem pendidikan
yang ada di tanah air ini dan dituntut adanya penyikapan yang arif dan
bijaksana.
B. Visi dan Misi Pendidikan
Pondok Pesantren Tradisional Dalam perspektif
Pendidikan Islam Indonesia
Dunia
pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinoitas tradisi islam
yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, dan hal tersebut tidak terbatas pada
periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia
pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai perubahan yang
terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap
perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena
kemampuannya dalam melakukan adjustment dan readjustment.
Terdapat
pelbagai visi, misi, karakter dan kecenderungan baru yang terus berkembang
dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan
berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif,
lebih lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan nasional yang kurang
mencerdaskan dan cenderung memunculkan ketergantungan yang terus menerus. Visi
dan kecenderungan tersebut antara lain :
Pertama,
karakterinya yang khas dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya,
yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air (bukan
menara api). Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan makna
keislaman juga mengandung makna keaslian indonesia . Nah sebagai indigenous,
Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara
pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata uang, atau harimau dan
rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan
organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan
seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan
rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap musim dengan idzin
Allah Swt.
Kedua,
Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan,
kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan (Subahar, 2002 : 5)
Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya terletak pada
pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di
Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup
santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang
lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap
survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat dalam perubahan yang
bagaimanapun.
Ketiga,
Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kyai. Artinya
Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib
dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi keislaman, tetapi
juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya
pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyiai dengan santri tidak sekedar
bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga bersifat batiniyah.
Keempat,
Model pengasramahan. Di pesantren , terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan dalam satu
tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan
antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kyiai dapat memantau
langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah
diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para
santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri melatih kemampuan
bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka
terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Kelima,
Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Menurut Hadi Mulyo, Salah
satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif
prospektif dimasa yang akan datang, karena ia mempunyai karakter membuka diri
terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan riil, dikalangan
pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil
jadidil aslah” . (1995 : 99)
Dengan
berbagai visi serta kecenderungan baru itulah, kekhawatiran banyak pihak yang
memprediksi pesantren akan kehilangan nilai relevasinya dengan kehidupan sosial
yang terus berubah, saat ini secara perlahan mulai terjawab, Misalnya dalam
segi “Elemen pokok”, pada perkembangan selanjutnya elemen pokok pesantren tidak
hanya terdiri dari : Kyai, Masjid, Pondok, Pengajian kitab klasik dan santri,
sebagaimana dilihat Clifford Greertz, Martin Van Bruinessen, Zamakzary Dhofir
dan Zeimek, Tapi telah jauh berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung
perguruan tinggi, pusat olah raga, kantor administrasi, perpustakaan,
Laboratorium, Pusat pengembangan bahasa, koprasi, balai pengobatan, pemancar
radio, penerbitan dan lain lain (Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo,
1982 : 83)
Demikian
juga kita melihat terdapat beberapa refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya
dari sekedar fungsi pendidikan dan sosial, saat ini berkembang pada fungsi
ekonomi, pengkaderan, public service, dll. Dengan refungsionalisasi tersebut,
pesantren pada gilirannya tidak sekedar memainkan fungsi - fungsi
tradisionalnya, seperti : transmisi ilmu ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi
Islam dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan
yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (People centered development), Pusat
pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (Value oriented
development), Pembangunan lembaga (Institution development) dan kemandirian
(Self reliance and sustainability).
Dengan
berbagai perkembangan baru yang terus bergerak (walau terkesan hati hati dan
cenderung gradual evolusioner), Pesantren --menurut Azyumardi Azra.-- jelas
bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian,
akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada gilirannya pesantren mampu
mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan dirinya pada posisi sentral
sebagai pusat pencerahan, pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan
tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan
hidup, pusat emansipasi wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997
: xxi)
Kendati
bersifat evolusioner, dengan langkah yang mantap pesantren -- khususnya di
Jawa-- terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang konstan, dari tahun ke
tahun mereka mampu menarik minat masyarakat stake holder untuk berbondong
bondong memasukkan putra putrinya ke lembaga tersebut, tidak hanya dari sekitar
wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa, bahkan dari luar Negeri, seperti
malaysia dan Brunai Darus Salam. Hal tersebut selain disebabkan faktor
internal, dimana pesantren terus melakukan pembenahan dan konsolidasi diri,
juga disebabkan faktor eksternal dimana lembaga pendidikan modern tidak mampu
secara nyata melahirkan manusia yang integratif , mandiri dan berakhlakul
karimah. Padahal yang paling dibutuhkan dalam dunia yang semakin menua ini
tidak saja manusia yang siap pakai, yang lebih penting justru yang siap hidup,
Untuk hal yang terakhir, peran alumni pesantren tidak dapat diragukan.
Dalam
penelitiannya tahun 1955, Departemen Agama mencatat terdapat 30.368 pesantren
dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai perbandingan saja pada tahun
1972 diperkirakan jumlah pesantren bertambah menjadi 37 000 buah dengan sekitar
4 juta santri. Angka angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami
ekspansi yang menakjubkan, meski berada dibawah sistem dan kelembagaan
pendidikan lainnya.
Fenomina
Mutahir yang dapat diamati adalah bahwa pesantren terus mengembangkan
ekspansinya hingga batas yang boleh disebut strategis, misalnya :
1. Secara
fisik, pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenominal, sehingga tidak tepat
lagi sepenuhnya diasosiasikan dengan lembaga yang berfasilitas seadanya, kumuh,
sesak dan tidak heginis, tetapi seiring dengan perkembangan ekonomi umat islam,
saat ini tidak sulit mencari pesantren yang memiliki gedung megah dan
mentereng.
2. Begitu
juga dengan domaiannya, ia tidak saja sebagai rural based institution, tetapi
juga menjadi lembaga pendidikan urban. Ini bisa dilihat dari kemunculan
sejumlah pesantren kota, pesantren pembangunan, pesantren mahasiswa, pesantren
tehnologi, pesantren gender, pesantren industri, pesantren lingkungan,
pesantren nara pidana yang notabene berdomisili dikota kota metpropolitan.
Seperti : PP Darun Najah, PP Assiddiqiyah di Jakarta, PP Alkautsar dan PP Darul
Arafah di Medan, PP Darul Hikmah di Pekan baru, Al Hikam di Malang, Al Jauhar
dan Nurul Islam di Jember dan banyak lagi ditempat lain seperti : Bandung,
Surabaya, Jogjakarta, Semarang, dll.
3. Selain
itu saat ini pesantren tidak melulu identik dengan kelembagaan islam khas Jawa,
tetapi mulai di adopsi oleh wilayah wilayah lain, seperti di Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dsb.
4. Sistem
pengasramahan yang di pesantren dikenal dengan istilah santri mukim, saat ini
ditiru oleh lembaga lembaga pendidikan umum, modern dan unggulan dengan istilah
boarding school atau boarding system.
Di lingkungan
Perguruan tinggi sudah dirintis beberapa model yang -- meski malu malu--
sesungguhnya meniru model pesantren, seperti : Pondok pesabtren Hj Nuriyah
sobron di Univ. Muhammadiyah Surakarta, Pesantren Kampus di UIS Malang,
Pesantren Mahasiswa di UNTAN Pontianak, dan banyak contoh contoh lain.
Tidak
sedikit Pesantren yang secara cemerlang berhasil memberdayakan masyarakat
disekitarnya, tidak saja dalam bidang pendidikan, tetapi juga bidang ekonomi,
tehnologi dan ekologi. Pesantren Annuqoyah Guluk guluk Madura, misalnya, telah
berhasil mengangkat desanya dari desa swadaya pada tahun 1978 menjadi desa
swakarya pada tahun 1979 dan menjadi desa swasembada pada tahun 1981. Perubahan
besar ini terjadi setelah pesantren tersebut mendirikan “Biro Pengabdian
Masyarakat” yang mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun
1981.
Pesantren
lain yang juga mendapatkan penghargaan serupa adalah Pesantren Sabilil Muttaqin
Magetan yang berhasil membuka cabang cabang pendidikan di 55 kecamatan dan
ratusan desa, Pesantren ini juga berhasil memberangkatkan 354 KK untuk
mengikuti kegiatan transimigrasi dengan bekal skill yang memadai, sehingga
mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1986.
Demikian
juga dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Pesantren Maslakhul Huda
margoyoso Pati, Pesantren Suralaya Tasikmalaya dan juga beberapa pesantren
lainnya, yang masing masing mendapat penghargaan Kalpataru karena kontribusinya
yang sangat signifikan dalam pembangunan masyarakat .
Dengan
menyandarkan diri kepada Allah SWT, para Kiai pesantren memulai pendidikan
pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimatnya,
didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pesantren,
tidak tergantung pada sponsor dalam melaksanakan visi dan misinya. Memang
sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional dengan sarana dan
prasarana yang mudah, namun para Kiai dan santrinya tetap mencerminkan
prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebagian besar pesantren tradisional
tampil dengan sarana dan prasarana sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana
ini, ternyata tidak menyudutkan para Kiai dan santri untuk melaksanakan
program-program pesantren yang telah dicanangkan. Mereka seakan sepakat bahwa
pesantren tempat untuk melatih diri (riyadhoh) dengan penuh keprihatinan,
asalkan tidak menghalamgi mereka untuk menuntut ilmu.
Dengan
demikian jiwa kesederhanaan di atas, maka tujuan pendidikan pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi
masyarakat, sebagai pelayan masyarakat, mandiri, bebas dan teguh dalam
kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat
Islam di tengah-tengah masyarakat Islam. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160).
Untuk
mengembangkan dan meningkatkan mutu kualitas out put pondok pesantren itu
tergantung bagaimana suatu program yang sudah di tentukan oleh sosok pengasuh.
Dalam artian terealisasinya visi, misi dan tujuan pondok pesantren terletak
pada kebijakn seorang kiai. Oleh karena itu, ada beberapa faktor yang dimaksud
dengan visi, misi dan tujuan pondok pesantren sebagaimana di bawah ini :
1. Adanya
kemampuan SDM pengelola atau pengasuh
2. Adanya
strategi yang baik demi tercapainya suatu tujuan
3. Adanya
kebijaksanaan pemerintah, baik melalui perundang-undangan, surat keputusan
mentri atau pejabat pemerintah dan sebagainya untuk mendukung program-program
yang sudah ada di pondok pesantren.
4. Adanya
intervensi masyarakat (sosio-cultur)
5. Dapat
menyesuaikan dengan adanya perkembangan pengetahuan dan teknologi
Hal
ini juga dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, sesungguhnya tujuan
pendidikan pesantren tergantung atau ditentukan oleh kebijakan kiai, sesuai
dengan perkembangan pesantren tersebut. Maka dari pada itu perkembangan dan
perubahan pesantren yang cukup berperan aktif serta sebagai pedoman di dalam
proses pendidikan untuk tercapainya tujuan instruksional selalu menggunakan
kurikulum. (2002:85)
C. Kurikulum Pendidikan Pondok
Pesantren Tradisional Dalam perspektif
Pendidikan Islam Indonesia
Kurikulum
pendidikan di pesantren saat ini tidak sekedar fokus pada kita kitab klasik
(baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan
keterampilan umum, di Pesantren saat ini dikhotomi ilmu mulai tidak populer ,
beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum yang berada
dibawah DIKNAS, Misalnya Undar Jombang, Pondok pesantren Iftitahul Muallimin
Ciwaringin Jawa barat, dll.
Perkembangan
yang begitu pesat dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi, menyebabkan pengertian
kurikulum selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun demikian satu
hal yang permanen disepakati bahwa Istilah kurikulum berasal dari bahasa
Yunani, semula populer dalam bidang olah raga, yaitu Curere yang berarti jarak terjauh yang harus ditempuh dalam
olahraga lari mulai start hingga finish. Kemudian dalam konteks pendidikan,
kurikulum diartikan sebagai “circle of
instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid
terlibat didalamnya.
Dalam
bahasa Arab Menurut Omar Muhammad (1979 : 478), term kurikulum dikenal dengan
term manhaj, yakni jalan terang yang
dilalui manusia dalam hidupanya. Dalam konteks pendidikan kurikulum diartikan
sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik untuk
menggabungkan pengetahuan, ketampilan, sikap dan seperangkat nilai.
Secara
etimologi, artikulasi kurikulum dapat dibedakan menjadi dua, pertama, dalam pengertiannya yang
sempit, disebut juga (pengertian tradisional) yakni sebagaimana dirumuskan
Regan ( 1960 : 57) “ The curriculum has
mean the subjects taught in school, or the course of study “. Kurikulum
adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah atau bidang studi.
Kedua, dalam pengertiannya yang luas,
disebut juga (pengertian modern), yakni seperti dirumuskan Spear ( 1975 : 67) “The curriculum is looked as being composed
of all the actual experience pupils have under school direction, writing a
courrse of study become but small prt of curriculum program”. Kurikulum
adalah semua pengalaman aktual yang dimiliki siswa di bawah pengaruh sekolah,
sementara bidang studi adalah bagian kecil dari program kurikulum secara
keseluruhan.
Rumusan
ini dijustifikasi oleh sejumlah pakar lain seperti Saylor dan Alexander yang menyebutkan “The curriculum is the sum total
of the school’s effort to influence learning whether in the calssroom, on the
playground, or out of shoo” kurikulum adalah keseluruhan usaha sekolah
dalam mempengaruhi belajar anak yang berlangsung di dalam kelas, di sekolah,
maupun di luar sekolah.
Melampaui
pembagian diatas, saat ini ada juga beberapa pakar seperti Lee and Lee ( 1940 :
211) yang menyebutkan bahwa “Curricuum is
the strategy which we use in adapting this cultural geritage to the purpose of
the shoo “ Kurikulum adalah strategi yang digunakan untuk mengadaptasikan
pewarisan kultural dalam mencapai tujuan sekolah.
Berdasarkan
literatur yang ada yang dimaksud dengan kurikulum adalah salah satu komponen
utama yang diguanakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran,
mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak ukur keberhasilan dan kualitas
hasil pendidikan disamping fakyor-faktor yang lain. Oleh sebab itu, keberadan
kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan sangat penting. Kita selalu sering
mendengar sorotan tajam bahwa kurikulum selalu tertinggal dengan perkembangan
zaman.
Dengan
demikian pembenahan kurikulum harus senantiasa dilakukan secara
berkesinambungan. Dalam konteks pendidikan di pesantren, Nurcholis Madjid
mengatakan yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, bahwa istilah kurikulum
tidak terkenal di dunia pesantren (masa pra kemerdekaan), walaupun sebenarnya
materi pendidikan sudah ada di dalam pesantren, terutama pada praktek
pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan di pesantren.
Secara eksplisit pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren atau
mengaplikasikannya dalam bentuk kurikulum. (2002:85)
Dewasa
ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan, termasuk di dalamnya
modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal sistem dan kelembagaan pesantren
telah dimodernisasi, serta disesuaikan dengan tuntutan pembangunan, terutama
dalam aspek-aspek kelembagaan sehingga secara otomatis akan mempengaruhi
ketetapan kurikulum.
Berdasarkan
pendapat di atas, bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat
perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan
lembaga pendidikan yang diidamkan. Pesantren dalam aspek kelembagaannya, mulai
mengembangkan diri dengan jenis dan corak pendidikannya yang bermacam-macam.
Seperti Pesantren Tebuireng Jombang yang di dalamnya telah berkembang madrasah,
sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang dalam proses pencapaian tujuan
institusional selalu menggunakan kurikulum. Tetapi pesantren yang mengikuti
pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum belum dimasukkan secara baik.
Maka
dari pada itu kurikulum pondok pesantren tradisional statusnya cuma sebagai
lembaga pendidikan non formal yang hanya mempelajari kitab-kitab klasik.
Meliputi : nahwu, sorrof, belaghoh, tauhid, tafsir, hadist, mantik, tasawwuf,
bahasa arab, fiqih, ushul fiqh dan akhlak. Dengan demikian pelaksanaan
kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu
atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi ada tingkat awal, menengah, dan
lanjutan.
Jenjang
pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga
pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang
santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat
dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.
Apabila
seorang santri telah mengusai satu kitab atau beberpa kitab dan telah lulus
ujian yang diuji oleh Kiainya, maka ia berpindah kepada kitab lain yang lebih
tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak
berdasarkan usia tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah
ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.
Sebagai
konsekuensi dari cara penjenjangan di atas, pendidikan pesantren biasanya
menyediakan beberapa cabang ilmu atau bidang-bidang khusus yang merupakan fokus
masing-masing pesantren untuk dapat menarik minat para santri menuntut ilmu di
dalamnya. Biasanya keunikan pendidikan sebuah pesantren telah diketahui oleh
calon santri yang ingin mondok. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160)
Kendati
beberapa pakar berbeda dalam merumuskan pengertian kurikulum, tetapi mereka
tidak berbeda mengenai fungsi kurikulum, yakni : sebagai sarana atau alat untuk
mencapai tujuan pendidikan, sebagai pelestari nilai nilai budaya dan sebagai
pedoman tentang jenis, lingkup dan hirarki urutan isi dan proses pendidikan..
Kurikulum,
bagi pendidik berfungsi sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir
pengalaman belajar peserta didik, bagi tenaga kependidikan berfungsi sebagai
pedoman dalam mengadakan supervisi, bagi wali murid berfungsi untuk memberikan
informasi sekaligus dorongan agar membantu menggiatkan belajar yang relevan di
rumah, dan bagi perserta didik sendiri berfungsi sebagai informasi tentang
jenis pengetahuan, nilai nilai dan keterampilan yang telah diperolehnya sebagai
entri behaviornya.
Kurikulum
Pendidikan pesantren, menurut Hasan (2001 : 6 ) paling tidak memiliki beberapa
komponen, antara lain : tujuan, isi pengetahuan dan pengalaman belajar,
strategi dan evaluasi. Biasanya komponen tujuan tersebut terbagi dalam beberapa
tingkatan, yakni tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan
kurekuler dan tujuan instruksional. Namun demikian berbagai tingkat tujuan
tersebut satu sama lainnya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Komponen
isi meliputi pencapaian target yang jelas, materi standart, standart hasil
belajar siswa, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran. kepribadian. Komponen
strategi tergambar dari cara yang ditempuh di dalam melaksanakan pengajaran,
cara di dalam mengadakan penilaian, cara dalam melaksanakan bimbingan dan
penyuluhan dan cara mengatur kegiatan sekolah secara keseluruhan. Cara dalam
melaksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku dalam menyajikan tiap bidang
studi, termasuk cara mengajar dan alat pelajaran yang digunakan.
Komponen
evaluasi berisi penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan bersifat
menyeluruh terhadap bahan atau program pengajaran yang dimaksudkan sebagai
feedback terhadap tujuan, materi, metode, sarana, dalam rangka membina dan
mengembangkan kurikulum lebih lanjut
Menurut
Imam Bawani (1987 : 92) adalah berbeda antara pendidikan Islam dengan
pendidikan agama Islam. Bila disebut pendidikan Islam, maka orientasinya adalah
sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami yang teori-teorinya disusun
berdasarkan alqur’an hadits. Sedangkan pendidikan agama Islam adalah nama
kegiatan atau aktivitas dalam mendidikkan agama Islam.
Dengan
kata lain pendidikan agama Islam adalah sejajar dengan mata pelajaran lain di
sekolah seperti pendidikan matematika, ataupun pendidikan biologi. Dalam
kurikulum Pendidikan Agama Islam dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah
upaya sadar dan terencana dalam mempersiapkan peserta didik untuk mengenal,
memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan
tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan
kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.
Jadi
kurikulum Pendidikan pesasntren adalah bahan-bahan pendidikan agama Islam di
pesantren berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan
sisteatis diberikan kepada santri dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan Agama
Islam. Kurikulum Pendidikan pesasntren merupakan alat untuk mencapai tujuan
Pendidikan Agama Islam. Adapun lingkup materi pendidikan pesasntren adalah :
Al-Qur’an dan Hadits, Keimanan, akhlak, Fiqh/ibadah dan sejarah, dengan kata
lain, cakupan Pendidikan pesasntren adanya keserasian, keselarasan dan
keseimbangan hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia,
makhluk lainnya maupun lingkungannya.
Untuk
mencapai tujuan Pendidikan pesasntren tersebut, perlu rekonstruksi kurikulum
agar lebih riil. Rumusan tujuan Pendidikan pesasntren yang ada selama ini masih
bersifat general dan kurang mach dengan realitas masyarakat yang terus
mengalami transformasi. Rekonstruksi disini dimaksudkan untuk meningkatkan daya
relevansi rumusan tujuan Pendidikan pesasntren dengan persoalan riil yang
dihadapi masyarakat dalam hidup kesehariannya.
Prinsip
pengembangan kurikulum Pendidikan pesasntren secara umum dapat dikelompkkan menjadi
dua, yakni prinsip umum , yang meliputi prinsip relevansi, prinsip
fleksebelitas, prinsip kontinoitas, prinsip praktis, prinsip efektifitas dan
prinsip efisiensi. Sedangkan prinsip khusus mencakup prinsip yang berkenaan
dengan tujuan Pendidikan pesasntren, prinsip yang berkenaan dengan pemilihan
isi Pendidikan pesasntren , prinsip yang berkenaan dengan metode dan strategi
proses pembelajaran Pendidikan pesantren, prinsip yang berkenaan dengan alat
evalusi dan penilaian Pendidikan pesasntren.
Mastuhu
secara praktis memberikan konsep tentang model dan paradigma Pendidikan
pesasntren yang diharapkan menjadi orientasi dan landasan dalam kurikulum
lembaga Pendidikan pesasntren, yaitu :
· Dasar
Pendidikan : Pendidikan pesasntren harus mendasarkan pada “teosentris’ dengan menjadikan “antroposentris”
sebagai bagian esensial dari konsep teosentris. Hal ini berbeda dengan
pendidikan sekuler yang hanya bersifat antroposentris semata.
· Tujuan
Pendidikan : kerja membangun kehidupan duniawiyah melalui pendidikan sebagai
perwujudan mengabdi kepada-Nya. Pembangunan kehidupan duniawiyah bukan menjadi
tujuan final, tetapi merupakan kewajiban yang diimani dan terkait kuat dengan
kehidupan ukhrawiyah, tujuan finalnya adalah kehidupan ukhrawi dengan ridla
Allah SWT.
· Konsep
manusia : Pendidikan Islam memandang manusia mempunyai fitrah yang harus dikembangkan, tidak seperti pendidikan sekuler
yang memandang manusia dengan tabularasa-nya.
· Nilai
: Pendidikan pesasntren berorientasi pada Iptek sebagai kebenaran relatif dan
Imtaq sebagai kebenaran mutlak. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya
berorientasi pada Iptek.
Pengembangan
kurikulum Pendidikan pesasntren yang terus menerus menyangkut seluruh
komponennya merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan, agar ia tidak kehilangan
relevansi dengan kebutuhan riil yang dihadapi komonitas pendidikan islam yang
kecenderungannya terus mengalami proses dinamika transformatif.
Pendidikan
pesantren yang dibangun atas dasar pemikiran yang Islami bertolak dari
pandangan hidup dan pandangan tentang manusia, serta diarahkan kepada tujuan
pendidikan yang dilandasi kaidah – kaidah Islam. Kurikulum yang demikian
biasanya mengacu pada sembilan prinsip utamanya sebagai berikut :
· Sistem
dan pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan fitrah manusia, agar tetap
berada dalam kesucianya dan tidak menyimpang.
· Kurikulum
hendaknya mengacu kepada pencapain tujuan akhir pendidikan Islam sambil
memperhatikan tujuan – tujuan di bawahnya.
· Kurikulum
perlu disusun secara bertahap mengikuti periodisasi perkembangan peserta didik.
· Kurikulum
hendaknya memperhatikan kepentingan nyata masyarakat seperti kesehatan,
keamanan, administrasi dan pendidikan. Kurikulum hendaknya pula disesuaikan
dengan kondisi dan lingkungan seperti iklim dan kondisi alam yang memungkinkan
adanya perbedaan pola kehidupan, agraris , industri dan komersial.
· Kuirikulum
hendaknya terstruktur dan terorganisasi secara integral.
· Kurikulum
hendaknya realistis. Artinya, kurikulum dapat dilaksanakan sesuai dengan
berbagai kemudahan yang dimiliki setiap negara yang melaksanakanya.
· Metode
pendidikan yang merupakan salah satu komponen kurikulum ini hendaknya bersifat
fleksibel.
· Kurikulum
hendaknya efektif untuk mencapai tingkah laku dan emosi yang positif.
· Kurikulum
hendaknya memperhatiakan tingkat perkembangan peserta didik, baik fisik,
emosional, ataupun intelektualnya; serta berbagai masalah yang dihadapi dalam
setiap tingkat perkembangan seperti pertumbuhan bahasa, kamatangan sosial, dan
kesiapan religiusitas.
D. Manajemen Pendidikan Pondok
Pesantren Tradisional Dalam perspektif
Pendidikan Islam Indonesia
Dalam
prinsip ajaran Islam, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan
melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur dan
proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib.
Dalam
sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda : yang artinya : “Sesungguhnya Allah sangat mencintati orang yang jika melakukan sesuatu
pekerjaan, dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”. (HR
Thabrani)
Sebenarnya,
manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat
dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam, sebab dalam
islam arah gayah (tujuan) yang jelas,
landasan yang kokoh, dan kaifiyah
yang benar merupakan amal perbuatan yang dicintai Allah swt.
Setiap
organisasi, termasuk pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas
pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu
aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan pengetahuan manajemen, pengelola
pondok pesantren bisa mengangkat dan menerapkan prinsip-prinsip dasar serta
ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis ke dalam kembaganya tersebut.
Manajemen
sebagai ilmu yang baru dikenal pada pertengahan abad ke-19, dewasa ini sangat
populer, bahkan dianggap sebagai kunci keberhasilan pengelola perusahaan atau
lembaga pendidikan, tak terkecuali lembaga pendidikan Islam seperti pondok
pesantren, maka hanya dengan manajemen lembaga pendidikan pesantren diharapkan
dapat berkembang sesuai harapan, karena itu manajemen merupakan sebuah niscaya
bagi lembaga pendidikan Islam atau pesantren untuk mengembangkan lembaganya ke
arah yang lebih baik.
Abudin
Nata (2003 : 43) menyebutkan dewasa ini pendidikan islam terus dihadapkan pada
berbagai problema yang kian kompleks, karena itu upaya berbenah diri melalui
penataan SDM, peningkatan kompetensi dan penguatan institusi mutlak harus
dilakukan, dan semua itu mustahil tanpa manajemen yang profesional.
Seperti
diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai
komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya, komponen tersebut meliputi
landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan
guru dan murid, metodologi pembelajaran, sarana prasarana, evaluasi pembiayaan
dan lain sebagainya. Berbagai komponen ini -- karena dilakukan tanpa
perencanaan konsep yang matang -- seringkali berjalan apa adanya, alami dan
tradisional, akibatnya mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yang
kurang membanggakan.
Al-Qur’an
dan Hadits yang notabene merupakan landasan dan dasar pendidikan Islam saat ini
belum benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini diakibatkan oleh
minimnya pakar --di Indonesia-- yang secara khusus mendalami pemahaman kedua
sumber tersebut dalam perspektif pendidikan Islam. Ummat Islam belum banyak
mengetahui tentang isi kandungan Al-Quran dan Al-Sunnah yang berhubungan dengan
pendidikan secara baik. Akibatnya proses pendidikan Islam belum berjalan diatas
landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai
konsekwensinya, visi dan misi pendidikan Islam juga masih belum berhasil
dirumuskan secara baik dan universal. Tujuan pendidikan Islam juga seringkali
diorientasikan untuk menghasilkan manusia – manusia siap pakai bukan siap
hidup, menguasai ilmu Islam saja bukan berkarekter islami, dan visinya
diarahkan untuk mewujudkan manusia yang shalih dalam arti ritual ukhrowi belum
sosial dunia, Akibatnya lulusan pendidikan Islam hanya memiliki kesempatan dan
peluang yang terbatas, mereka kurang mampu bersaing dan tidak mampu berebut
peluang dan kesempatan dalam ruang yang lebih kompleks.
Konsekwensi
lebih lanjut lulusan pendidikan Islam semakin terpinggirkan dan tak berdaya,
ini merupakan masalah besar yang perlu segera diatasi, lebih lebih dalam dunia
persaingan yang kian kompetieif dan mengglobal. Problema ini kian diperparah
oleh tidak tersedianya tenaga pendidik Islam yang profesional, yaitu tenaga
pendidik yang selain menguasai materi ilmu yang diajarkannya secara baik dan
benar, juga harus mampu mengajarkannya secara efektif dan efisien kepada para
siswa, serta harus pula memiliki idealisme.
Manajemen
yang dimaksud disini adalah kegiatan seseorang dalam mengatur organisasi,
lembaga atau perusahaan yang bersifat manusia maupun non manusia, sehingga
tujuan organisasi, lembaga atau perusahaan dapat tercapai secara efektif dan
efisien. Bertolak dari rumusan ini , terdapat beberapa unsur yang inheren dalam
manajemen, antara lain :
1. Unsur
proses, artinya seorang manejer dalam menjalankan tugas manajerial harus
mengikuti prinsip graduasi yang berkelanjutan.
2. Unsur
penataan, artinya dalam proses manajemen prinsip utamanya adalah semangat
mengelola, mengatur dan menata.
3. Unsur
implementasi, artinya, setelah diatur dan ditata dengan baik perlu dilaksanakan
secara profesional.
4. Unsur
kompetensi. Artinya sumber-sumber potensial yang dilibatkan baik yang bersifat
manusia maupun non manusia mesti berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan
kualitasnya.
5. Unsur
tujuan yang harus dicapai, tujuan yang ada harus disepakati oleh keseluruhan
anggota organisasi. Hal ini agar semua sumber daya manusia mempunyai tujuan
yang sama dan selalu berusaha untuk mensukseskannya. Dengan demikian tujuan
yang ada dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas dalam
organisasi.
6. Unsur
efektifitas dan efisiensi. Artinya, tujuan yang ditetapkan diusahakan tercapai
secara efektif dan efisien.
Relevan
dengan hal diatas, Hamzah (1994 : 32) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Manajemen Pendidikan Pesantren adalah aktivitas memadukan sumber-sumber
Pendidikan Pesantren agar terpusat dalam usaha untuk mencapai tujuan Pendidikan
Pesantren yang telah ditentukan sebelumnya, dengan kata lain manajemen
Pendidikan merupakan mobilisasi segala sumberdaya Pendidikan Pesantren untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Maka
manajemen Pendidikan Pesantren hakekatnya adalah suatu proses penataan dan
pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia
dan non manusia dalam menggerakkannya mencapai tujuan Pendidikan Pesantren
secara efektif dan efisien.”.
Yang
disebut “efektif dan efisien” adalah pengelolaan yang berhasil mencapai
sasarannya dengan sempurna, cepat, tepat dan selamat. Sedangkan yang “tidak
efektif” adalah pengelolaan yang tidak berhasil memenuhi tujuan karena adanya mis-manajemen, maka manajemen yang tidak
efisien adalah manajemen yang berhasil mencapai tujuannya tetapi melalui
penghamburan atau pemborosan baik tenaga, waktu maupun biaya.
Reddin
(1970 : 135) memberikan beberapa gambaran tentang perilaku manajer yang
efektif, antara lain : pertama, mengembangkan potensi para bawahan, kedua,
memahami dan tahu tentang apa yang diinginkan dan giat mengejarnya, memiliki
motivasi yang tinggi, ketiga, memperlakukan bawahan secara berbeda-beda sesuai
dengan individunya, dan keempat, bertindak secara team manajer.
Seorang
manajer tidak hanya memanfaatkan tenaga bawahannya yang sudah ahli atau trampil
demi kelancaran organisasi yang dia pimpin saja, tetapi juga memberikan
kesempatan pada bawahannya agar mereka dapat meningkatkan keahlian atau
ketrampilannya.
Manajer
Pendidikan Pesantren pada umumnya hanya tahu apa tugas mereka agar proses
pendidikan dapat berlangsung konstan, tetapi acapkali mereka kurang mampu
mengantisipasi secara akurat perubahan yang bakal terjadi di masyarakat pada
umumnya dan dalam dunia pendidikan Islam khususnya. Akibatnya mereka hanya
tenggelam dalam tugas-tugas rutin organisasi keseharian tetapi sangat sulit
melakukan inovasi progresif nan memungkinkan dicapainya tujuan organisasi
secara lebih improve dan membanggakan.
Dalam
setiap perjalanan sebuah lembaga itu tidak terlepas yang namanya aktivitas
managemen, karena setiap lembaga, organisasi dan termasuk pondok pesantren
selalu berkaitan dengan usaha-usaha mengembangkan dan memimpin suatu tim kerja
sama atau kelompok orang dalam satu kesatuan, dengan memanfaatkan sumber daya
yang ada. Semuanya ini untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam organisasi
yang ditetapkan sebelumnya. Maka dari pada itu, keterkaitan managemen dan
memimpin tidaklah salah jika kemudian orang menyatakan bahwa managemen sangat
berkait erat dengan persoalan kepemimpinan. Karena managemen dari segi
etimologinya yang berasal dari sebuah kata manage
atau manus (latin) yang berarti
memimpin, menangani, mengatur, dan membimbing. Dengan demikian pengertian
managemen dapat diartikan sebagai sebuah proses khas, yang terdiri dari
tindakan-tindakan; perencanaan, pengorganisasian, penggiatan, dan juga
pengawasan. Ini semua juga dilakukan untuk menentukan atau juga untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia, serta
sumber-sumber lainnya.
Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa managemen adalah ilmu aplikatif,
dimana jika dijabarkan menjadi sebuah proses tindakan meliputi beberapa hal :
Pleaning, organizing, aktuating, controling. Berdasarkan empat hirarki tersebut
managemen dapat bergerak, tentunya hal itu juga bergantung tingkat kepemimpinan
seorang manager. Artinya adalah proses managerial sebuah organisasi akan
bergerak apabila para managernya mengerti dan paham secara benar akan apa yang
dilakukannya. (Suhartini, dkk,2005:70-72)
Maka
berdasarkan dari definisi di atas, baik secara etimologi dan termenologi,
berbicara managemen pendidikan pondok pesantren atau bisa disebut mengolah
konsep apapun tentang pesantren sebenarnya bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih
dahulu adanya kenyataan bahwa tidak ada konsep yang mutlak rasional, dan paling
afdhol diterapkan di pesantren. Baik sejarah pertumbuhannya yang unik maupun
karena tertinggalnya pesantren dari lembaga-lembaga kemasyarakatan lain dalam
melakukan kegiatan-kegiatan teknis, pesantren belum mampu mengolah, apalagi
dalam soal melaksanakan konsep yang disusun berdasarkan pertimbangan rasional.
Kendati
bersifat gradual, dalam beberapa tahun terakhir di lembaga pendidikan pesantren
telah dilakukan berbagai pembaharuan di bidang manajemen sebagai jawaban atas
tuntutan demokratisasi global, salah satu bentuknya adalah model manajemen
demokratis yang berbasis kultural, dari, oleh dan untuk peserta didik (DOUP),
dalam konteks ini terjadi rekonstruksi dari yang top down menjadi button up,
dari yang doktrimal menjadi demokratik, dari yang menyeramkan menjadi
menyenangkan.
Konsederasi
yang dapat digunakan bagi model manajemen demokratis adalah bahwa setiap manusia
dan masyarakat diciptakan dalam keadaan merdeka, karena itu kemerdekaan adalah
hak setiap manusia, dan kemerdekaan sejati itu adalah terbebasnya rakyat dari
berbagai bentuk ketidak berdayaan disegala bidang, termasuk pendidikan.
Karena
itu agenda utama manajemen demokratis dalam pendidikan islam adalah semangat
pembebasan kaum muslimin dari belenggu ideologi dan relasi kekuasaan yang
menghambatnya mencapai perkembangan harkat dan martabat kemanusiaannya, maka
manajemen demokratis dalam pendidikan islam sejatinya diarahkan pada proses
aksi dimana kelompok sosial kelas bawah mengontrol ilmu pengetahuan dan
membangun daya melalui pendidikan, penelitian dan tindakan sosial kritis.
Dari
sisi managemen kelembagaan, di pesantren saat ini telah terjadi perubahan
mendasar, yakni dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis dan cenderung
singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti model yayasan.
Sejatinya
manajemen berhubungan erat dengan usaha untuk tujuan tertentu dengan jalan
menggunakan berbagai sumber daya yang tersedia dalam organisasi atau lembaga
pendidikan Islam dengan cara yang sebaik mungkin. Manajemen bukan hanya
mengatur tempat melainkan juga mengatur orang per orang, dalam mengatur orang,
tentu diperlukan seni atau kiat agar setiap orang yang bekerja dapat menikmati
pekerjaan mereka.
Dalam
proses manajemen, fungsi-fungsi manajemen digambarkan secara umum dalam
tampilan prangkat organisasi yang dikenal dengan sebutan teori manajemen
klasik. Para pakar manajemen mempunyai perbedaan pendapat dalam merumuskan
proses manajemen, Bagi Poul Mali (1981 : 54), fungsi manajemen meliputi : planning, organizing, staffing, directing
and controlling. Sedangkan dalam pandangan Wayne (1988 : 32) fungsi
manajemen meliputi : planning,
organizing, leading and controlling. Sementara menurut Peter Drukcer (1954
: 87) proses manajemen dimulai dari planning,
organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting.
Dan menurut Made Pidarta (1988 : 85) manajemen meliputi : planning, organizing, comanding, coordinating, controlling
Berdasarkan
uraian diatas, yang wajib ada dalam proses manajemen minimal empat hal, yakni :
planning, organizing, actuating,
controlling, (POAC). Empat hal ini prosesnya digambarkan dalam bentuk
siklus karena adanya saling keterikatan antara proses yang pertama dengan
proses berikunya, begitu juga setelah pelaksanaan controlling lazimnya dilanjutkan dengan membuat planning baru.
Dalam
hal ini para pakar manajemen pendidikan Islam merumuskan siklus proses manajemen
pendidikan Islam diawali oleh adanya sasaran yang telah ditetapkan terlebih
dahulu, lalu disusunlah rencana untuk mencapai sasaran tersebut dengan
mengorganisir berbagai sumber daya yang ada baik materiil maupun non materiil
lalu berbagai sumberdaya tersebut digerakkan sesuai jobnya masing masing, dan
dalam aktuating tersebut dilakukan pengawasan agar proses tersebut tetap sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Perencanaan
pendidikan islam adalah proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan
kegiatan yang akan dikerjakan pada waktu yang akan datang untuk mencapai
sasaran atau tujuan pendidikan islam yang telah dirumuskan dan ditetapkan
sebelumnya.
Dalam
islam keharusan membuat perencanaan yang teliti sebelum melakukan tindakan
banyak disinyalir dalam teks suci, baik secara langsung maupun secara sindiran
(kinayah), misalnya dalam islam
diajarkan bahwa upaya penegakan yang ma’ruf dan pencegahan yang munkar
membutuhkan sebuah perencanaan dan strategi yang baik, sebab bisa jadi
kebenaran yang tidak terorganisir dan terencana akan dikalahkan oleh kebatilan
yang terorganisir dan terencana.
Meskipun
Alqur’an menyatakan yang benar pasti mengalahkan yang bathil (al Isra’ : 81),
namun Allah lebih mencintai dan meridhoi kebenaran yang diperjuangkan dalam
sebuah barisan yang rapi, terencana dan teratur ( as shaff : 4)
Setelah
perencanaan, dilanjutkan dengan pengorganisasian, yakni proses penataan,
pengelompokan dan pendistribusian tugas, tanggung jawab dan wewenang kepada
semua perangkat yang dimiliki menjadi kolektifitas yang dapat digerakkan
sebagai satu kesatuan team work dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan
secara efektif dan efesien. Dalam Qs. 6 : 132 ditegaskan bahwa “Setiap orang
mempunyai tingkatan menurut pekerjaannya masing-masing.
Sewaktu
Rasulullah membentuk atribut-aribut negara dalam kedudukan beliau sebagai
pemegang kekuasaan tetinggi, beliau membentuk organisasi yang didalamnya
terlibat para sahabat beliau yang beliau tempatkan pada kedudukan menurut
kecakapan dan ilmu masing-masing. Tidak dapat dipungkiri bahwa Rasulullah
adalah seorang organisatoris ulung, administrator yang jenius, dan pendidik
yang baik yang menjadi panutan, karena itu beliau disebut sebagai panutan yang
baik (uswatun hasanah).
Setelah
planning dan organizing, dalam siklus manajemen pendidikan islam dilanjutkan
dengan actuating, yakni proses menggerakkan atau merangsang anggota anggota
kelompok untuk melaksanakan tugas mereka masing masing dengan kemauan baik dan
antusias.
Fungsi
Actuating berhubungan erat dengan sumber daya manusia, oleh karena itu seorang
pemimpin pendidikan Islam dalam membina kerjasama, mengarahkan dan mendorong
kegairahan kerja para bawahannya perlu memahami seperangkat faktor-faktor
manusia tersebut, karena itu actuating bukan hanya kata-kata manis dan
basa-basi, tetapi merupakan pemahaman radik akan berbagai kemampuan,
kesanggupan, keadaan, motivasi, dan kebutuhan orang lain, yang dengan itu
dijadikan sebagai sarana penggerak mereka dalam bekerja secara bersama-sama
sebagai taem work.
Siklus
terakhir adalah controlling, yakni proses pengawasan dan pemantauan terhadap
tugas yang dilaksanakan, sekaligus memberikan penilaian, evaluasi dan perbaikan
sehingga pelaksanaan tugas kembali sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Menurut
Siagian (1983 : 21) fungsi pengawasan merupakan upaya penyesuaian antara
rencana yang telah disusun dengan pelaksanaan dilapangan, untuk mengetahui
hasil yang dicapai benar-benar sesuai dengan rencana yang telah disusun
diperlukan informasi tentang tingkat pencapaian hasil. Informasi ini dapat
diperoleh melalui komunikasi dengan bawahan, khususnya laporan dari bawahan
atau observasi langsung. Apabila hasil tidak sesuai dengan standar yang
ditentukan, pimpinan dapat meminta informasi tentang masalah yang dihadapi.
Dengan demikian tindakan perbaikan dapat disesuaikan dengan sumber masalah. Di samping itu, untuk menghindari kesalahpahaman tentang arti, maksud dan tujuan pengawasan antara pengawas dengan yang diawasi perlu dipelihara jalur komunikasi yang efektif dan bermakna dalam arti bebas dari prasangka nigatif dan dilakukan secara berdayaguna dan berhasilguna, al hasil, tujuan pengawasan pendidikan Islam haruslah konstruktif, yakni benar benar untuk memperbaiki, meningkatkan efektifitas dan efisiensi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Bahwa
pendidikan pondok pesantren tradisonal adalah jenis pesantren yang
mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fiddin) melalui kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang ditulis
oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam perspektif
pendidikan Islam Indonesia, pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan
bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi
peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude)
maupun psikomotorik (skill)
2. Bahwa
visi dan misi pendidikan pondok pesantren tradisional dalam persepktif
pendidikan islam indonesia adalah : Pertama,
menekankan pada prinsip asasul khomsah atau panca jiwa, yakni keikhlasan,
kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan. Kedua, pola relasi kiai dengan santri
tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi juga bersifat batiniyah.Ketiga,
pendidikan pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi ilmu ilmu
keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, juga dimaksudkan
menjadi alternatif bagi People centered development, Value oriented
development, Institution development dan Self reliance and sustainability.
3. Bahwa
kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisonal saat ini tidak sekedar fokus
pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin
banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, saat ini di pendidikan pondok
pesantren dikhotomi ilmu mulai tidak populer.
4. Bahwa
dari sisi managemen kelembagaan, di lembaga pendidikan pondok pesantren
tradisional saat ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan
yang sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model
managemen kolektif seperti model yayasan.
B. Rekomendasi
1. Karena
peran lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional sangat penting dalam
menjawab krisis kerohanian manusia modern, atau paling tidak sebagai balance
terhadap kecenderungan pola hidup hedonistik dan ketidak jujuran, maka
keberadaannya perlu mendapat dukungan yang lebih serius dari semua pihak.
2. Karena
kesuksesan manusia lebih banyak ditentukan oleh faktor EQ dan SQ, sedangkan SQ
merupakan aspek utama yang menjadi focus dari pendidikan pondok pesantren
tradisional, maka direkomendasikan kepada semua pihak untuk terus mengembangkan
pendidikan hati demi memperoleh kesuksesan hidup yang hakiki.
3. Karena
aktifitas pendidikan pondok pesantren tradisional sejak awal kelahirannya mampu
berkembang positif di masyarakat bahkan mempunyai kontribusi vital tidak saja
dalam dimensi theologis tetapi juga sosial sebagai lokomotif utama dalam
pencerahan masyarakat, maka tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan
nasional yang patut dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-lampiran
0 Response to "Contoh Skripsi Tentang Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia "
Post a Comment