Contoh Skripsi Tentang Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia

 BAB I

PENDAHULUAN

 

1.    LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak afinitas dari paidagogik, yaitu membebaskan manusia secara konfrehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.

Hal ini terjadi jika pendidikan dijadikan instrumen oleh sistem penguasa yang ada hanya untuk mengungkung kebebasan individu. Secara memis pendidikan yang ada di Indonesia adalah sebagian kecil yang terdesain dan terorganisir oleh bingkai sistem. Gambaran sistem semacam itu merupakan bentuk pemaksaan kehendak dan merampas kebebasan individu, kesadaran potensi, beserta kreativitas bifurkasi. Maka pendidikan telah berubah menjadi instrumen oppressive bagi perkembangan individu atau komunitas masyarakat (Tilaar, 2004: 58).

Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturasi nilai-nilai kehidupan. Ketika melihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagai mana yang tercantum dalam UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan menurut Widagdho, manusia sebagai makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi. Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual (2001: 8).

Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa adanya pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan cita-citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11:

يرفع الله الدين امنوا منكم والدين اوتواالعلم درجت

Artinya :

Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Depag RI, 1974: 911).

Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar akan pendidikan.

Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan yang mulai melihat sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti karena pesantren memiliki karakteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan yang dimaksud.

Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus diseputar pesantren menunjukkan perkembangkan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai focus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur” (untuk menunjuk kepada lembaga yang bertipologi unik dan menyimpang dari dari pola kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid (1984 : 32) Tetapi juga sebagai “institusi kultural” (untuk menggambarkan sebuah pendidikan yang punya karakter tersendiri sekaligus membuka diri terhadap hegemoni eksternal). sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo (1985 : 71).

Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat.

Menurut Rahim (2001 : 28), pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, ia adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga unik dan punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga saat ini menunjukkan kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan pluralitas polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf dengan sekolah gubernemen.

Oleh karena itu tak mengherankan bila pakar pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut untuk terus dipertahan kembangkan.

Menurut Nur Cholis Madjid, Seandainya Indonesia tidak mengalami penjajahan, maka pertumbuhan sistem pendidikan Indonesia akan mengikuti jalur pesantren sebagaimana terjadi di Barat yang hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan perguruan yang semula berorientasi keagamaan semisal univ. Harvard. Sehingga yang ada bukan UI, ITB, UGM, UNAIR dan lain sebagainya, tetapi mungkin Univ. Tremas, Univ. Krapyak, Tebuireng, Bangkalan dan seterusnya.( 1997 : 22)

Yang menarik untuk ditelaah adalah mengapa Pesantren --baik sebagai lembaga pendidikan maupun lembaga sosial-- masih tetap survive hingga saat ini ? Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren tidak akan bertahan lama ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan kompetitif, bahkan ada yang memastikan pesantren akan tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum dan modern.

Tak kurang dari Sutan Ali Syahbana yang mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan, menurutnya mempertahankan sistem pendidikan pesantren sama artinya dengan mempertahankan keterbelakangan dan kejumuan kaum muslimin (1997 : 11). Ada juga yang dengan sinis menyebutkan sistem pendidikan pesantren hanyalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk memainkan peran di tengah kehidupan global.

Penilaian psimis ini bila dilacak muncul dari ketidak akuratan melihat profil Pesantren secara utuh, artinya memang melihat pesantren “hanya sebagai lembaga tua dengan segala kelemahannya” tanpa mengenal lebih jauh watak watak barunya yang terus berkembang dinamik, akan selalu menghasilkan penilaian yang simplifikatif atau bahkan reduktif.

Dari sinilah peneliti tergelitik untuk melakukan penelitian terhadap pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia dalam rangka mencari sesuatu yang belum tersentuh dan tidak terfikirkan oleh sistem pendidikan Islam di Indonesia.

Penelitian ini bergulat dengan refleksi pendidikan Islam di Pondok Pesantren tradisional dalam bentuk deskriptif. Salah satu tujuannya untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan Islam di dunia ini serta meciptakan pemahaman pendidikan Islam yang lebih progresif konstekstual sehingga mampu menjawab tantangan zaman.

2.    ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Alasan pemilihan judul ini berawal dari motivasi yang menyebabkan peneliti mengadakan atau melakukan penelitian dan sebagai upaya melegitimasi kreteria dalam penelitian. Peneliti akan menguraikan beberapa alasan argumentatif mengapa peneliti memilih judul “Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia” yang kemudian diasimilasikan dengan beberapa faktor yang harus dipenuhi oleh peneliti.

Dalam ranah penelitian Tarbiyah (ilmu pendidikan), pemilihan judul ini sebenarnya terdapat beberapa alasan fundamental yang menjadi latar wacana kajiannya, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan intelektual progresif. Adapun alasan-alasan tersebut sebagai berikut :

1.    Alasan Objektif

1.    Judul ini menjadi salah satu yang dipilih mengingat peserta didik merupakan salah satu subjek pendidikan Islam dan merupakan subjek dari sebuah pondok pesantren.

2.    Pentingnya pendidikan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang paling banyak muslimnya.

3.    Pentingnya pendidikan Islam di Indonesia bagi kehidupan pluralitas dalam rangka mengubah paradigma eksklusif menuju paradigma inklusif, demokratis dan progresif sesuai nilai-nilai agama Islam.

4.    Pentingnya pendidikan Islam yang ada di pondok pesantren tradisional bagi kehidupan keberagaman dalam rangka mengubah paradigma apatis menuju paradigma kemandirian, kesederhanaan, keikhlasan, kebersamaan, dan kebebasan serta sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.

5.    Pentingnya memperkenalkan pendidikan pondok pesantren tradisional terhadap peserta didik, supaya nantinya menjadi manusia yang kreatif, inovatif, kompetitif, dan penuh semangat progresifitas.

1.    Alasan Subjektif

1.    Judul di atas sangat menarik dan relevan untuk diteliti serta tidak menyimpang dari spesialisasi keilmuan dari peneliti pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam

2.    Tersedianya literatur-literatur sebagai refrensi untuk dijadikan rujukan penelitian.

3.    Kesediaan dan kesiapan peneliti untuk mengkaji Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia analisa secara teoritik, reflektif, dan konsepsional serta hermeneutik.

4.    Adanya manfaat bagi peneliti ataupun pihak lain

5.    Adanya kesediaan dosen pembimbing untuk memberikan arahan, pemikiran dan motivasi dalam penyusunan skripsi.

6.    Adanya kesanggupan peneliti dan dukungan teman-teman seperjuangan untuk berdiskusi dalam meneliti Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia

3.    PENEGASAN JUDUL

Guna menghindari kesalah pahaman penafsiran terhadap judul penelitian yang akan dilaksanakan, berikut ini akan ditegaskan makna setiap kata dalam judul penelitian antara lain :

1.    Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional

Secara realistis pondok pesantren tradisional masih tetap eksis mempertahankan aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab kuning yang ditulis oleh ulama’ abad XV dengan menggunakan bahasa arab.

Banyak pakar merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan pendidikan pondok pesantren. Menurut pendapat Djamil Suherman dan Umi Kulsum, pendidikan pondok pesantren adalah institusi-institusi yang terkenal dengan ajaran-ajaran agama Islam melalui kitab kuning (klasik) yang metode pengajarannya memakai sistem sorogan, wetonan, bandongan, dan hapalan. (Al-‘Adalah,2003:17)

Sebagaimana telah diketahui, pondok pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman. Terutama adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa trasformasi terhadap pondok pesantren. Dalam hal ini pondok pesantren bukan berarti telah hilang kekhasannya. (Al-‘Adalah,2003:18)

Maka dalam hal ini, pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan suatu wadah untuk mengembangkan pola pendidikan yang seluruh aturan mainnya tergantung kepada sosok figur seorang kiai, baik kurikulum, metode dan pengajarannya. Sedangkan penerapan nilai-nilainya tidak pernah mengalami pergeseran, meskipun terjadi perubahan pengetahuan dan teknologi.

2.    Perspektif

Perspektif adalah suatu cara untuk melukiskan benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar dan tinggi), sudut pandang.

3.    Pendidikan Islam Indonesia

Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya, sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.

Pendidikan Islam bila dilihat dari segi kehidupan kultural umat manusia tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Pendidikan Islam adalah proses membimbing dan mengarahkan pertumbuhan serta perkembangan anak didik agar menjadi manusia dewasa. (Arifin,2000:10-16)

Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Islam adalah sebagai suatu bentuk perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain, dan bukan sekedar bersifat teoritis akan tetapi juga praktis, serta merupakan suatu kolaborasi antara pendidikan iman dan pendidikan amal. (1996:28)

Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional, serta sebagai amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa kemasa.

Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia, pendidikan Islam sudah mulai tumbuh meskipun masih individual. Maka dari pada itu pendidikan Islam di Indonesia dimulai oleh para tokoh agama dengan mendekati masyarakat secara persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama Islam yang memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar mulailah secara bertahap berlangsung pengajian umum mengenai tulis baca al-Qur’an serta wawasan keagamaan.

Namun demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam di Indonesia baru terjadi dengan pendirian pesantren. (muncul pada abad XIII dan mencapai perkembangannya yang optimal pada abad XVIII). (Rahim,2001:06)

Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif antara mubalig (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk disuatu daerah tersebut tentu mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini masjid.

Sesuai dengan gencarnya pembaruan pemikiran Islam yang dicanangkan oleh para pembaharu muslim diberbagai negara sampai juga gaung pembaruan itu di Indonesia. Dalam hal ini ide-ide pembaruan pendidikan di Indonesia mulai muncul diawal abad ke XX, disebabkan banyaknya orang yang tidak puas dengan sistem pendidikan yang berlaku saat itu. Karenanya ada beberapa sisi yang perlu diperbaharui, yakni dari segi isi (materi), metode, sistem dan manajemen. (Daulay,2004:45-46)

4.    PERUMUSAN MASALAH

Maka untuk merumuskan permasalahan tersebut, perlu adanya sistematika analitik untuk mencapai sasaran yang menjadi objek kajian, sehingga pembahasan akan lebih terarah pada pokok masalah. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari pokok masalah dengan pembahasan yang tidak fokus dan tidak ada relevansinya. Dengan demikian penelitian apapun dilaksanakan karena terdapat permasalahan yang membutuhkan solusi, sebab tanpa adanya permasalahan tidak ada akan mungkin melakukan suatu penelitian.

Berdasarkan pernyataan di atas penelitian ini dilaksanakan karena peneliti melihat pentingnya pendidikan pondok pesantren tradisional berkembang sesuai dengan perubahan pengetahuan dan teknologi. Agar lebih mudah dan sistematis, serta dipahami maka peneliti akan merumuskan beberapa kerangka permasalahan antara lain :

1.    Pokok Masalah

Bagaimanakah Pendidikan Pesantren Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia ?

1.    Sub Pokok Masalah

1.    Bagaiamanakah visi dan misi pendidikan pondok pesantren tradisional?

2.    Bagaiamana kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisional?

3.    Bagaimana managemen pendidikan pondok pesantren tradisional?

5.    TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian secara substansial adalah memecahkan masalah-masalah sebagaimana yang telah dirumuskan sebelumnya (STAIN, 2002: 10). Maka dari rumusan itulah akan terdapat sesuatu yang menunjukkan perolehan pasca penelitian. Secara umum, karena objek penelitian adalah pendidikan yang mengarah terhadap nilai-nilai Islam. Maka yang menjadi tujuan untuk mengetahui dan memahami yang kemudian di deskripsikan rumusan tersebut, sehingga akan menghasilkan yang orisinil dan dapat menghasilkan solusi yang baik dan positif (Bisri, 2004: 203).

Berdasarkan pada perumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian pada dasarnya harus sinkron antara tujuan dengan upaya-apaya pemecahan problematika yang telah dirumuskan. Maksudnya adalah agar tidak ada penyimpangan dalam menciptakan problem solver yang telah disistematikan dengan tujuan penelitian (STAIN, 2002: 10). Maka dalam tujuan penelitian ini penulis membagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

1.    Tujuan Umum

Untuk mendiskripsikan bagaimanakah Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia

2.    Tujuan Khusus

1.   Ingin mendiskripsikan visi dan misi pendidikan pondok pesantren tardisional

2.   Ingin mendiskripsikan kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisional

3.   Ingin mendiskripsikan managemen pendidikan pondok pesantren tradisional

6.    MANFAAT PENELITIAN

Dalam penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat yang baik bagi peneliti, pihak STAIN Jember, praktisi, pengelola pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.   Bagi Peneliti

1.    Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pendidikan Islam yang mengacu kepada realitas empiris

2.    Sebagai modal dasar penelitian pendidikan pada tataran lebih lanjut.

1.   Bagi Lembaga STAIN Jemebr

1.    Sebagai Barometer interdisipliner keilmuan dan kualitas mahasiswa dalam bidang pendidikan

2.    Untuk menambah perbendaharaan kepustakaan Tarbiyah

3.   Bagi Praktisi Pendidikan

Menjadi bahan pijakan dalam merumuskan konsep atau format pendidikan yang mengacu pada realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat

1.   Bagi Pengelola Pendidikan

1.    Terciptanya pola pendidikan yang sesuai dengan agama Islam

2.    Menjadi bahan masukan dalam merumuskan konsep atau format pendidikan yang memahami realitas, sosio-kultur di tengah pendidikan.

1.   Bagi Masyarakat

1.    Untuk menciptakan tatanan masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan Islam

2.    Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi lapisan masyarakat sebagai wawasan pengetahuan pendidikan yang memanusiakan manusia

3.    Adanya interaksi yang sehat antara masyarakat mayoritas dan minoritas dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.

 

7.    ASUMSI DAN KETERBATASAN

1.    Asumsi

Pendidikan pada saat ini masih diyakini sebagai satu-satunya sarana dalam menanamkan moral, budi pekerti, dan emosional pada calon generasi penerus bangsa. Pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan suatu wadah pendidikan yang berciri khas unik dan merupakan pendidikan asli Indonesia.

Maka dari itu, pendidikan pondok pesantren tradisional sangat signifikan adanya di dalam menanamkan kesadaran, baik secara nyata, potensi dan kultural. Melalui pendidikan pondok pesantren tradisional peserta didik diajak untuk mampu memahami realitas pendidikan Islam pada dasarnya dengan berbagai tahapan dan sesuai dengan perubahan pengetahuan dan teknologi. Secara tidak langsung pendidikan pondok pesantren tradisional mengajarkan beberapa pelajaran yang bernuansakan bahasa arab dengan memakai kitab klasik (kuning) ini tidak terlepas dari suatu tuntutan di dalam memahami ajaran agama Islam.

Secara substansial untuk bisa memahami al-Qur’an dan al-Hadist ini harus mampu, mengetahui dan memahami instrumennya terlebih dahulu (ilmu sorrof dan nahwu), juga agar lebih mudah mengkaji, serta mendiskripsikan sesuatu yang relevan antara realitas dengan al-Qur’an dan al-Hadist.

Lebih dari itu, dalam proses penanaman kesadaran pada peserta didik semua elemen berperan penting, baik di dalam maupun di luar pesantren. Oleh karena itu, peserta didik dituntut untuk mampu berinteraksi, komunikasi dan mampu memahami kebutuhan yang muncul di dalam maupun di dalam pesantren.

Dalam hal ini sosok seorang figur kiai atau ustadz dan orang tua dituntut untuk mampu memberikan bimbingan, kontrol, pengawasan dan mampu bersikap objektif dalam memberikan pemahaman terhadap peserta didik.

Dengan demikian, peranan pendidikan pondok pesantren tradisional ini adalah merupakan suatu wadah warisan yang harus dipelihara dan dikembangkan, karena pendidikan pondok pesantren tradisional sebagai cerminan munculnya pendidikan Islam di Indonesia.

2.    Keterbatasan

Dalam melaksanakan penelitian, banyak sekali kendala yang hal tersebut berpengaruh terhadap jalannya proses penelitian. Kendala tersebut antara lain :

1.    Hasil penelitian belum teruji mengingat masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mengimplementasikan konsep pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, sebagai contoh : implementasi pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia di sebuah lembaga pendidikan, secara otomatis merubah kurikulum yang telah ada dan telah dijadikan acuan dalam proses belajar mengajar.

2.    Kurangnya refrensi atau literatur yang berkenaan dengan teori pendidikan pondok pesantren tradisional, hal itu sangat penting sekali sebagai pijakan dan pedoman dalam merumuskan suatu konsep pemikiran.

8.    METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Hal ini merupakan salah satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan realitas sosial secara objektif dan melalui paradigma fenomenologis, artinya metode ini digunakan atas tiga pertimbangan: pertama, untuk mempermudah pemahaman realitas ganda. Kedua, menyajikan secara hakiki antara peneliti dan realitas; ketiga, metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang dihadapi. (Moleong, 2001:5)

1.    Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah liberary research (kajian pustaka), yaitu jenis penelitian yang menjadikan data-data kepustakaan sebagai teori untuk dikaji dan di telaah dalam memperoleh hipotesa dan konsepsi untuk mendapatkan hasil yang objektif. Dengan jenis ini informasi dapat diambil secara lengkap untuk menentukan tindakan ilmiah dalam penelitian sebagai instrumen penelitian memenuhi standar penunjang penelitian (Subagyo, 1999: 109).

Peneliti dalam jenis penelitian ini mengambil asumsi-asumsi yang di dasarkan pada data-data yang mendukung untuk memperoleh wawasan kreatif dan imajinatif. Hal ini sebagai bentuk komparasi terhadap satu konsepsi pemikiran dengan yang lain secara produktif dengan tidak meninggalkan dasar ilmiah.

Dalam liberary reseach peneliti lebih terfokus dan berhadapan langsung dengan teks literatur yang relevan tanpa mencari data kemana-mana. Sehingga peneliti hanya melakukan penelitian melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan (Zed, 2004: 4).

2.    Pendekatan Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang tidak melibatkan perhitungan (Moleong, 2001: 2), atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data. Sedangkan menurut Bagdan dan Taylor dalam buku panduan STAIN “pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati” (2002:19)

Metode kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila terdapat realitas ganda lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman pengaruh dan pola nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian dapat dinilai secara empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi logis untuk memunculkan konsepsi yang realistis (Moleong, 2001: 5). Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bekerja berdasarkan pada perhitungan prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya.

 

3.    Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tektual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang akan diteliti adalah seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi, pemikiran dan argumentasi yang terdapat di dalam literatur yang relevan dengan pembahasan. Oleh karena itu, data yang akan diambil dan dikaji berasal dari data verbal yang abstrak kualitatif. Sedangkan data yang digunakan antara lain :

1.    Data Primer

Sumber data primer, ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali kesesuaiannya antara teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan ilmiah.

2.    Data Sekunder

Sumber data sekunder, ialah sumber data yang di peroleh dari sumber-sumber bacaan yang mendukung sumber primer yang di anggap relevan, hal tersebut sebagai penyempurnaan bahan penelitian terhadap bahasan dan pemahaman peneliti

4.    Metode Analisis Data

Analisa data secara umum di lakukan dengan cara menghubungkan apa yang di peroleh dari suatu proses kerja awal. hal ini di tujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, yang kemudian untuk di ketahui kerangka berfikir peneliti ( Bisri, 2004: 228).

Adapun metode analisis data yang di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1.    Analisis Reflektif

Metode analisa data yang berpedoman pada cara berfikir reflektif. Pada dasarnya metode ini adalah kombinasi yang kuat antara berfikir deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empirik secara bolak balik kritis ( STAIN, 2002: 16).

Dalam metode analisa ini peneliti akan memecahkan masalah dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk di bandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literatur atau alternatif tersebut. sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah.

2.    Content Analisis

Content analisis atau di sebut dengan analisis isi adalah suatu metode untuk memahami wacana atau problem dengan mencari inti dari wacana tersebut ( Musyarofah, 2002: 15). Maka berkenaan dengan pengolahan dan analisis data, content analisis di artikan pula dengan analisis data deskriptif berdasarkan isinya ( Suryabrata, 1998: 85).

Jadi peneliti dalam metode ini akan menganalisa data berdasarkan fenomena yang terjadi dalam pendidikan pondok pesantren tradisional.

 

 

9.    SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Guna mensistematiskan pembahasan berikut ini adalah sistematika pembahasan, antara lain :

BAB I, Memuat tentang latar belakang dilaksanakannya penelitian ini beserta seperangkat prosedur dan metode penelitian.

BAB II, Memuat tentang kerangka teoritik yang selanjutnya menjadi frame work dalam perumusan konsep pemikiran

BAB III, Membahas tentang konsep pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia

BAB IV, Memuat kesimpulan tentang pendidikan pondok pesantren dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia.
BAB II

KERANGKA TEORITIK

 

1.    Pendidikan Islam Indonesia

1.    Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan Islam, yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain Pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim. kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999: 9).

Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Djamaluddin (1999), Pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki empat macam fungsi yaitu :

·       Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup masyarakat sendiri.

·       Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.

·       Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memilihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban.

·       Mendidik anak agar beramal di dunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.

An-Naquib Al-Atas yang dikutip oleh Ali, mengatakan pendidikan Islam ialah usaha yang dialakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan (1999: 10 ).

Adapun Mukhtar Bukhari yang dikutip oleh Halim Soebahar, mengatakan pendidikan Ialam adalah seganap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa, dan keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan yang mendasarkannya program pendidikan atau pandangan dan nilai-nilai Islam (2002: 12).

Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejewantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan (Soebahar, 2002: 13).

Kendati dalam peta pemikiran Islam, upaya menghubungkan Islam dengan pendidikan masih diwarnai banyak perdebatan, namun yang pasti relasi Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang, mereka sejak awal mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar, baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis.

Yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini adalah : pertama, ia merupakan suatu upaya atau proses yang dilakukan secara sadar dan terencana membantu peserta didik melalui pembinaan, asuhan, bimbingan dan pengembangan potensi mereka secara optimal, agar nantinya dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai keyakinan dan pandangan hidupnya demi keselamatan di dunia dan akherat. Kedua, merupakan usaha yang sistimatis, pragmatis dan metodologis dalam membimbing anak didik atau setiap individu dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam secara utuh, demi terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran islam. Dan ketiga, merupakan segala upaya pembinaan dan pengembangan potensi anak didik untuk diarahkan mengikuti jalan yang islami demi memperoleh keutamaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.

Menurut Fadlil Al-Jamali yang dikutip oleh Muzayyin Arifin, pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitroh) dan kemampuan ajarnya (2003: 18).

Maka dengan demikian, pendidikan Islam dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan, bahwa pendidikan Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia, baik dari aspek rohaniah, jasmaniah, dan juga harus berlangsung secara hirarkis. oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan suatu proses kematangan, perkembangan atau pertumbuhan baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan transformatif dan inovatif.

Pendidikan islam sebagaimana rumusannya diatas, menurut Abd Halim Subahar ( 1992 : 64) memiliki beberapa prinsip yang membedakannya dengan pendidikan lainnya, antara lain :

·       Prinsip tauhid

·       Prinsip Integrasi

·       Prinsip Keseimbangan

·       Prinsip persamaan

·       Prinsip pendidikan seumur hidup, dan

·       Prinsip keutamaan.

 

Sedangkan tujuan pendidikan islam dapat dirumuskan sebagai berikut :

·       Untuk membentuk akhlakul karimah.

·       Membantu peserta didik dalam mengembangkan kognisi, afeksi dan psikomotori guna memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai pedoman hidupnya sekaligus sebagai kontrol terhadap pola fikir, pola laku dan sikap mental.

·       Membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin dangan membentuk mereka menjadi manusia beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, memiliki pengetahuan dan keterampilan, berkepribadian integratif, mandiri dan menyadari sepenuhnya peranan dan tanggung jawab dirinya di muka bumi ini sebagai abdulloh dan kholifatulloh.

 

Dengan demikian, sesungguhnya pendidikan islam tidak saja fokus pada education for the brain, tetapi juga pada education for the heart. Dalam pandangan islam, karena salah satu misi utama pendidikan islam adalah dalam rangka membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin, maka ia harus seimbang, sebab bila ia hanya focus pada pengembangan kreatifiats rasional semata tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional, maka manusia tidak akan dapat menikmati nilai kemajuan itu sendiri, bahkan yang terjadi adalah demartabatisasi yang menyebabkan manusia kehilangan identitasnya dan mengalami kegersangan psikologis, dia hanya meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam etik.

Demikian pula pendidikan islam mesti bersifat integralitik, artinya ia harus memandang manusia sebagai satu kesatuan utuh, kesatuan jasmani rohani, kesatuan intelektual, emosional dan spiritual, kesatuan pribadi dan sosial dan kesatuan dalam melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.

 

2.    Dasar-Dasar Pendidikan Islam

Dalam setiap aktivitas manusia sebagai instrumen transformasi ilmu pengetahuan, budaya, dan sebagai agen perubahan sosial, pendidikan memerlukan satu landasan fundamental atau basik yang kuat. Adapaun dasar yang di maksud adalah dasar pendidikan Islam suatu totalitas pendidikan yang wajib bersandar pada landasan dasar sebagaimana yang akan dibahas dalam bagian berikut ini.

Pendidikan Islam baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas yang bergaerak dalam rangka pembinaan kepribadian yang utuh, paripurna atau syumun, memerlukan suatu dasar yang kokoh. kajian tentang pendidikan Islam tidak lepas dari landasan yang terkait dengan sumber ajaran Islam yaitu :

·       Al-Qur’an

Al-Qur’an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah dan yang berhubungan dengan amal disebut syari’ah. Oleh karena itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam sesuai dengan perubahan dan pembaharuan (Darajat, 2000: 19).

·       As-Sunnah

As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan rasul. Yang di maksud dengan pengakuan itu ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui oleh Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an yang juga sama berisi pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Untuk itulah rasul Allah menjadi guru dan pendidik utama.

Maka dari pada itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk yang berkaitan dengan pendidikan. As-Sunnah juga berfungsi sebagai penjelasan terhadap beberapa pembenaran dan mendesak untuk segara ditampilkan yaitu :

1.    Menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum

2.    Sunnah mengkhitmati Al-Qur’an.

·       Ijtihad

Ijtihad adalah istilah para fuqoha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syara’ dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Namun dengan demikian ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Oleh karena itu, ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah rasul Allah wafat. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa berkembang. Ijtihad dalam bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju bukan saja dibidang materi atau isi, melainkan juga dibidang sistem.

Secara substansial ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam.

 

·       Al-Kaun

Maksud Allah menurunkan ayat kauniyah tersebut yaitu untuk mempermudah pemahaman manusia terhadap lingkungan sekitar sehingga dapat mengakui kebesarannya seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Ar- Ra’du ayat 3 yang berbunyi :

وهوالدي مد الارض وجعل فيها روسي وانهرا ومن كل الثمرت جعل فيها زوجين اثنين يغش اليل النهارا ن في دلك لايت لقوم يتفكرون

Artinya : “Dialah Tuhan yang mmembentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung, sungai-sungai padanya. Dia menjadikan padanya buah-buahan berpasang-pasangan. Allah jualah yang menutup malam kepada siang sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir” (Depag RI, 1992: 368).

Berdasarkan firman Allah di atas, bahwa setiap orang berfikir harus mengakui kebesaran Allah dan hal ini relevan untuk dijadikan dasar dalam pendidikan Islam.

3.    Unsur-Unsur Pendidikan Islam

Dalam implementasinya, fungsinya, pendidikan Islam sangat memperhatikan aspek yang mendukung atau unsur yang turut mendukung terhadap tercapainya tujuan dari pendidikan Islam. Adapun aspek atau unsur-unsur tersebut adalah :

1.    Tujuan Pendidikan Islam

Menurut Fadlil Aljamali yang dikutip oleh Abdul Halim Soebahar sebagai berikut: Pertama, mengenalkan manusia akan perannya diantara sesama (makhluk) dan tanggung jawab pribadinya. Kedua, mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawab dalam tata hidup bermasyarakat. Ketiga, mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberi kemungkinan untuk mengambil manfaat dari alam tersebut. Keempat, mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya (2002: 19-20).

Tujuan pendidikan Islam adalah tercapainya pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya. Sedangkan menurut Zakiyah Dzarajat tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk insan kamil dengan pola taqwa dapat mengalami perubahan, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itulah tujuan pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan (2000: 31).

Hal yang sama pula tujuan pendidikan Islam dapat dipahami dalam firman Allah :

يايهاالدين امنوا اتقوا الله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون

Arinya: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa; dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (QS. 3 Ali-Imron: 102).

Sedangkan menurut Ahmad D Marimba yang dikutip oleh Halim Soebahar, menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya muslim. Dan menurutnya bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup setiap muslim. Adapun tujuan hidup seorang muslim adalah menghamba kepada Allah yang berkaitan dengan firman Allah Surat Dzariat 56 yang berbunyi :

وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون

Artinya: “Dan aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia melainkan untuk meyembah-Ku”.

Dan masih banyak beberapa deskripsi yang membahas tentang tujuan pendidikan Islam seperti konfrensi pendidikan di Islamabat tahun 1980, bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim secara meyeluruh yang harmonis yang berdasarkan fisiologis dan psikologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah muslim yang paripurna, berjiwa tawakkal secara total kepada Allah sebagaimana firman Allah Surat Al-An’am Ayat 162:

قل ان صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العلمين

Artinya: “Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya bagi Allah, tuhan semesta alam”. Imam Al-Ghazali mengatakan tujuan penddikan Islam adalah untuk mencapai kesempurnaan manusia yang mendekatkan diri kepada Allah dan bertujuan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (Langgulung, 1990: 9).

Maka dari pada itu, tujuan pendidikan Islam dirumuskan dalam nilai-nilai filosofis yang termuat dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dasar pendidikannya, maka tujuan pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri. Sedanagkan Muhammad Umar Altomi Al-Zaibani yang dikutip oleh Djalaluddin, mengatakan tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlak ul karimah. Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulann yaitu “membimbing manusia agar berakhlak mulia”. (2001: 90).

Maka dengan demikian tujuan pendidikan Islam yang berdasarkan deskripsi di atas ialah menanamkan makrifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus meiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya, serta menanamkan kemampuan manusia untuk menolak, memanfaatkan alam sekitar sebagai ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia, dan kegiatan ibadahnya kepada pencipta alam itu sendiri.

Telah kita ketahui, bahwa dasar tujuan pendidikan ditiap-tiap negara itu tidak selalu tetap sepanjang masa, melainkan sering mengalami perubahan atau pergantian, sesuai dengan perkembangan zaman. Perumbakan itu biasanya akibat dari pertentangan pendirian atau ideologi yang ada di dalam masyarakat itu. Hal ini kerap kali terjadi lebih-lebih di negara yang belum stabil kehidupan politiknya, karena mereka yang bertentangan itu sadar bahwa pendidikan memegang peranan penting sebagai generasi bangsa.

Sama halnya dengan tujuan pendidikan di Indonesia juga selalu berubah-rubah, dikarenakan kondisi dan situasi politiknya tidak stabil. Hal ini dibuktikan mulai tahun 1946 sampai pada saat sekarang. Dengan demikian tujuan pendidikan itu tidak berdiri sendiri, melainkan dirumuskan atas dasar hidup bangsa dan cita-cita negara dimana pendidikan itu dilaksanakan. Sikap hidup itu dilandasi oleh norma-norma yang berlaku bagi semua warga negara.

Oleh karena itu, sebelum seseorang melaksanakan tugas kependidikannya, terlebih dahulu harus memahami falsafah negara, supaya norma yang melandasi hidup bernegara itu tercermin dari tindakannya, agar pendidikan yang diarahkan kepada pembentukan sikap posisi pada peserta didik hendaknya diperhitungkan pula bahwa manusia muda (peserta didik) itu tidak hidup tersendiri di dunia ini. (Uhbiyati, dkk,2001:135-139)

 

2.    Subjek Pendidikan.

Subjek pendidikan adalah orang yang berkenaan langsung dengan proses pendidikan dalam hal ini pendidik dan peserta didik. Peserta didik yaitu pihak yang merupakan sabjek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan atau tindakan pendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik kepada tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan. Dalam PPRI No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan peserta didik ialah anggota masyarakat yang berusaha menyumbangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (PPRI, 2005: 12)

Pendidik atau guru secara implisit ia telah merelakan dirinya dan memikul dan menerima sebagai tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak pada oranag tua. (Dzarajat, 2000: 39)

Maka dengan demikian subjek pendidikan Islam yaitu semua manusia yang berproses dalam dunia pendidikan baik formal, informal maupunn nonformal yang sama-sama mempunyai tujuan demi pengembangan kepribadiannya. Sehingga menjadi insan yang mempunyai kesadaran penuh kepada sang pencipta.

3.    Kurikulum dan Materi.

Hal penting yang perlu diketahui dalam proses belajar mengajar atau proses kependidikan dalam suatu lembaga adalah kurikulum (Arifin, 2003: 77).

Menurut Soedijarto yang dikutip Khoiron Rosyadi mengartikan kurikulum dengan lima tingkatan, yaitu : Pertama, sebagai serangkaian tujuan yang menggambarkan berbagai kemapuan (pengetahuan dan keterampilan), nilai dan sikap yang harus dikuasi dan dimiliki oleh peserta didik dari suatu satuan pendidikan; Kedua, sebagai kerangka materi yang memberikan gambaran tentang bidang-bidang study yang harus dipelajari oleh peserta didik untuk menguasai serangkaian kemampuan, nilai dan sikap yang secara institusional harus dikuasi oleh peserta didik setelah selesai dengan pendidikannya; Ketiga, diartikan sebagai garis besar materi dari suatu bidang study yang telah dipilih untuk dijadikan objek belajar. Keempat, adalah sebagai panduan dan buku pelajaran yang disusun untuk menunjang terjadinya proses belajar mengajar; Kelima, adalah sebagai bentuk dan jenis kegiatan belajar mengajar yang dialami oleh para pelajar, termasuk di dalamnya berbagai jenis bentuk dan frekuensi evaluasi yang digunakan sebagai bagian terpadu dari strategi belajar mengajar yang direncanakan untuk dialami para pelajar. (2004:243-244)

Oleh karena, itu kurikulum menggambarkan kegiatan belajar mengajar dalam suatu lembaga kependidikan tidak hanya dijabarkan serangkai ilmu pengetahuan yang harus diajarkan pendidik kepada anak didik, dan anak didik mempelajarinya. Tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandanag perlu, karena mempunyai pengaruh terhadap anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Adapun pengertian kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa latin, (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga), kemudian yang dialihkan kedalam pengertian pendidikan menjadi suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya. Dan secara termenologi adalah menunjukkan tentang segala mata pelajaran yang dipelajarai dan juga semua pengalamam yang harus diperoleh serta semua kegiatan yang harus dilakukan anak.

Adapun yang dimaksud dengan materi yaitu bahan-bahan atau pengalaman belajar ilmu agama Islam yang disusun sedemikian rupa atau disampaikan kepada anak didik.(Uhbiyati, 2003:14)

Materi dan kurikulum memiliki keterkaitan atau depadensi yang sangat erat mengingat meteri merupakan integral dari kurikulum, dan pencapaian materi secara sistematis diatur dari kurikulum yang ada.

4.    Metode, Media, dan Evaluasi.

Metode merupakan instrumen dan dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau alat yang mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat polipragmatis dan monopragmatis. Oleh karena itu, metode dalam pengertian litter lijk, kata “metode” berasal dari bahasa grek yang terdiri dari meta yang berarti “melalui”, dan hodos yang berarti “jalan”. Jadi metode berarti “jalan yang dilalui”. Maka secara umum metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu, cara itu mungkin baik mungkin tidak baik. atau metode juag dapat diartikan sebagai cara untuk mempermudah pemberian, pemahaman kepada anak didik mengenai bahan atau materi yang diajarkan. (Arifin, 2003: 89)

Media, menurut gerlach dan Eli sebagaimana dikutip Azhar Arsyad, mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap (1996: 1)

Jadi media merupakan sarana untuk mempermudah pemberian pemahaman kepada peserta didik.

Evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang suatu sistem pengajaran atau yang dimaksud evaluasi dalam pendidikan Islam adalah merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental psikologis dan spritual religius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius melainkan juga berilmu dan berketarampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya. (Arifin, 2000: 238)

Dalam rangka menilai keberhasilan pendidikan, evaluasi penting untuk dilaksanakan karena sebagai pijakan dalam merumuskan program-program pendidikan yang akan datang.

5.    Lingkungan.

Lingkungan ialah sesuatu yang berada diluar diri anak dan mempengaruhi perkembangannya. Lingkungan sendiri dibagi tiga macam yang keseluruhannya mendukung terhadap proses implementasi pendidikan Islam, misalnya masyarakat, sekolah, dan keluarga. Dalam arti yang luas lingkungan mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Oleh karena itu, dengan kata lain lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. (Daradjat, 2000: 63)

Jadi lingkungan mempunyai andil yang sangat signifikan dalam pembentukan sikap dan prilaku yang pada akhirnya akan membentuk sebuah kepribadian yang sempurna.

2.    Pondok Pesantren Sebagai lembaga Pendidikan Islam

1.    Pengertian Pondok Pesantren

Pengertian pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe-dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti, tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27).

Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat (Fenomena, 2005: 72).

Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif (Artikel, 1).

Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman, definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selamanya benar.

2.    Tipologi Pondok Pesantren

Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.

Menurut Yacub yang dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasanya ada beberapa pembagian pondok pesantren dan tipologinya yaitu :

1.    Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode sorogan dan weton.

2.    Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan keterampilan.

3.    Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.

4.    Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja, dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santrinya mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)

Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :

1.    Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.

2.    Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.

3.    Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya.

4.    Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya. (2002:149-150)

3.    Dinamika Pondok Pesantren

Dalam perspektif sejarah, lembaga penidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke 18. seiring denga perjalanan waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju, tumbuh dan berkembang sejalan dengan proses pembangunan serta dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir, dirinya sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakatnya.

Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal, seperti :

1.    Peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977 ada 4195 pesantren dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981, kemudian meningkat menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri 5,9 juta orang pada tahun 1985.

2.    Kemampuan pesantren untuk selalu hidup ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun dana, serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Dan pesantren juga mampu mendinamisir dirinya ditengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis, ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat. (Khozin,2006:149)

Sedangkan perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan bertahan ditengah perubahan, tidak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren untuk bersaing dalam memperebutkan peserta didik. Seperti Dhofir mengatakan (1992), bahwa dominasi pesantren di dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950-an. Salah satu faktornya, adalah lapangan pekerjaaan “modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yang mendapat latihan di sekolah-sekolah umum. Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah lebih memberikan perhatian terhadap sistem pendidikan nasional, dengan membangun sekolah-sekolah umum dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa perubahan dan inprovisasi yang berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang menyusun kurikulumnya, berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.

Maka dari pada itu, apapun motifnya perbincangan seputar dinamika pesantren memang harus diakui mempunyai dampak yang besar contohnya semakin dituntut dengan adanya teknologi yang canggih pesantrenpun tidak ketinggalan zaman untuk selalu mengimbangi dari setiap persoalan-persoalan yang terkait dengan pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri, mulai dari sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di dalam pesantren itu sendiri, bahwa mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Karenanya pesantren tidak akan pernah mengalami statis, selama dari setiap unsur-unsur pesantren tersebut bisa menyikapi dan merespon secara baik, apa yang paling aktual. (Mas’ud dkk, 2002:72-73)
BAB III

PEMBAHASAN

 

A. PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DALAM

PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA

Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.

Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yang bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yang lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” . Namun sebagian yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill)

Dengan demikian, pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang surut dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, namun tak dapat disangkal hingga saat ini pesantren tetap survive, bahkan beberapa diantaranya bahkan muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah masalah sosial masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren Pabelan di Mangelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.

Efektifitas persantren untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat (Commonity learing centre), seperti di contohkan Gur Dur pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut memberikan pengajian dan problem solving gratis pada Ibu ibu rumah tangga di desa desa lingkungan pesantren dan sekitarnya.

Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi pembentukan pandangan, nilai nilai dan sikap hidup bersama dimasyarakat, padahal pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak manjangkau sisi ini. Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara pendidikan, tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola hidup dimasyarakat.

Meskipun dalam melakukan pemecahan masalah masalah sosial masyarakat sekitarnya, pesantren tidak menggunakan teori pembanguan seperti yang digunakan pemerintah, dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatran dan pemahaman keberagamaan sang kyai, tetapi efektifitasnya dalam merubah pola hidup masyarakat tidak dapat disangsikan. Keunggulan keunggulan itu sesunggunhnya merupakan kekayaan Bangsa ini yang jika kian mendapat dukungan yang lebih signifikan dari semua pihak dalam skenario besar kehidupan berbangsa, maka bukan tidak mungkin ia akan menjadi mutiara yang sangat berharga bagi perbaikan bangsa Indonesia. Oleh karena itu sekali lagi, melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren dengan memakai pendekatan formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat, tentu tidak akan akurat.

Namun demikian tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan, Para pakar pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar, antara lain :

1.    Di Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat alamiyah.

2.    System kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin tertangani oleh satu orang.

3.    Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga, ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang layang diudara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.

4.    Sistem pengajarannya kurang efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Dsb.

 

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi al din (pendalaman pengetahuan tentang agama), fungsi tarbiyah al akhlaq (pembentukan kepribadian / budi pekerti), dan fungsi pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi sosial. Hanya saja dalam konteks pendidikan , tepatnya, proses belajar mengajar, konsep tafaqquh fi al din kurang mendapat porsi yang semestinya, yang terjadi di pesantren, penekanannya bukan pada tafaqquh fi al din, tetapi sekeder transfer ilmu pengetahuan.

Meskipun dipesantren, santri lebih mengutamakan capaian substansial keilmuannya ketimbang capaian capaian formal, akan tetapi tetap ada tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning, yaitu bukan sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam diatas putih terhadap teks yang terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks historisnya. Atau bahkan tidak sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah dan biru. tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks dari leteratur klasik merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat kwalifikasi keilmuan dalam rangka menjawab berbagai tantangan global.

Kultur belajar mengajar di pesantren yang banyak dirasakan sebagai kurang memberi kelonggaran untuk bertanya, apalagi berdebat, terutama dalam rumusan “mengapa“, hal yang demikian menurut Masdar F Mas’udi (1993 : 11) karena berhubungan erat dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan masyarakat islam zaman kemandegan Pertengahan abad ke 13 M.

Di sebagian masyarakat Pesantren terdapat persepsi atau frem yang tidak sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang menganggap bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang lahir dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan suatu nur yang memancar atau yang dipancarkan dari atas dari sebuah sumber yang tidak diketahui bagaimana datangnya. Akhirnya muncul persepsi bahwa ilmu bukan sesuatu yang harus dicari, digali dan diupayakan dari bawah, melainkan sesuatu yang ditunggu dari “atas”. Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini memancar dari atas, tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau bahkan segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa yang mesti dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi spiritual yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan kerohanian (riyadhah) secara intensif dan benar.

Nah dalam proses riyadhah, pada perspektif sufi, difahami bahwa seorang murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak mungkin menemukan jalan tanpa uluran tangan seorang guru (mursyid) yang dipercaya mengantarkannya kepada Tuhan yang maha kuasa. Disinilah kita dapat memahami posisi guru menjadi demikian signifikan dan vital bagi seorang murid yang hendak mengarungi jalan bathin. Syair sufi mengatakan “ hendaklah dihadapan gurumu, engakau bagaikan sebujur mayat ditangan yang memandikannya”. Hal yang seperti ini jelas akan melemahkan daya kritis dan kreatifitas pada masyarakat pesantren, lebih lebih di jaman serba canggih ini.

Dipesantren, lebih banyak menghafal ketimbang kemampuan memahami dan menalar ilmu ilmu itu, diakui bahwa kemampuan mengingat dan menghafal bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti seimbang dengan kemampuan menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan , maka dengan sendirinya santri menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai. Akhirnya proses pendidikan hanya bersifat transfer (memindahkan), tidak ada proses pendalaman, pemahaman dan kajian. Nah bila ini yang terjadi maka bukan tafaqquh tapi hanya tahafudz.

Leteratur yang dikaji jangan hanya terbatas pada kitab yang sudah menjadi barang jadi, seperti, fahtul muin, fathul wahab, tetapi diprioritaskan pada ilmu metodologinya, seperti : ushul fiqh, tarikh tasyri’ dan semacamnya.

Walhasil bahwa pendidikan di pesantren ada kelemahan dan kelebihannya, tapi jika pesantren mampu mengeleminir kelemahan tersebut dan mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu alternatif yang cukup menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada education for the brain dan relatif mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya hampir bisa dipastikan akan menghasilkan over educated society, kian membludaknya pengangguran elit intelektual, meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung dalam menikmati kehidupan, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya,. Dalam suasana yang seperti ini, lembaga pendidikan pesantren akan dilirik untuk memainkan peran sebagai :

1.    Lembaga pendidikan yang memadu pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, idealistik dan realistik.

2.    Pusat rehabilitasi sosial (banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi spiritual akan mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren)

3.    Sebagai pencetak manusia yang punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ).

 

Dalam melaksanakan sistem dan proses pengajaran, pendidikan pondok pesantren dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia mempunyai peran serta memiliki unsur-unsur atau kontribusi pemikiran terhadap berkembang dan tumbuhnya pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau, atau dirumah-rumah ustadz.

Keberadaan lembaga-lembaga yang tersebut di atas, kemudian muncul dan berkembang dengan nama pesantren, ini terus tumbuh didasari tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab kuning serta kiai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar keberadaannya.

Secara mayoritas pondok pesantren merupakan komunitas belajar keagamaan yang erat hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, pada umumnya masyarakat pedesaan. Komunitas tersebut kehidupan keagamaan merupakan bagian integral dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap sebagai sektor yang terpisah. Oleh karena itu, sosok kiai dalam dunia pondok pesantren tidak dapat dipisahkan, karena keberadaannya merupakan unsur yang paling signifikan dan sebagai pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di lingkungan serta diperhatikan nasehat-nasehatnya.

Oleh sebab itu, pondok pesantren bukan diperuntukkan sebagai tempat pendidikan bagi santri semata, melainkan juga bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas.

Sebagaimana telah dijelaskan atau dideskripsikan pada pembahasan sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan pondok pesantren sebagai wadah dan tempat tercapainya suatu pendidikan Islam Indonesia, yakni tercapainya tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan. Secara realistis banyak kalangan menilai bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di tanah air ini masih belum mampu mengantarkan tercapainya pendidikan Islam, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Terbukti semakin maraknya tawuran antar pelajar, konsumsi pengedaran narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat peserta didik kepada pendidik dan orang tua, munculnya egoisme kesukuan yang mengarah kepada separatisme, rendahnya moral para penyelenggara negara serta lain sebagainya adalah indikasi-indikasi yang mendukung penilaian di atas. Berpijak dari konsep dasar itulah pendidikan pondok pesantren mencoba memberikan respon dalam menanggapi sistem pendidikan yang ada di tanah air ini dan dituntut adanya penyikapan yang arif dan bijaksana.

B. Visi dan Misi Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam perspektif

Pendidikan Islam Indonesia

 

Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinoitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan adjustment dan readjustment.

Terdapat pelbagai visi, misi, karakter dan kecenderungan baru yang terus berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif, lebih lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan nasional yang kurang mencerdaskan dan cenderung memunculkan ketergantungan yang terus menerus. Visi dan kecenderungan tersebut antara lain :

Pertama, karakterinya yang khas dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air (bukan menara api). Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian indonesia . Nah sebagai indigenous, Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata uang, atau harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap musim dengan idzin Allah Swt.

Kedua, Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan (Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat dalam perubahan yang bagaimanapun.

Ketiga, Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyiai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga bersifat batiniyah.

Keempat, Model pengasramahan. Di pesantren , terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kyiai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.

Kelima, Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan datang, karena ia mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” . (1995 : 99)

Dengan berbagai visi serta kecenderungan baru itulah, kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi pesantren akan kehilangan nilai relevasinya dengan kehidupan sosial yang terus berubah, saat ini secara perlahan mulai terjawab, Misalnya dalam segi “Elemen pokok”, pada perkembangan selanjutnya elemen pokok pesantren tidak hanya terdiri dari : Kyai, Masjid, Pondok, Pengajian kitab klasik dan santri, sebagaimana dilihat Clifford Greertz, Martin Van Bruinessen, Zamakzary Dhofir dan Zeimek, Tapi telah jauh berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung perguruan tinggi, pusat olah raga, kantor administrasi, perpustakaan, Laboratorium, Pusat pengembangan bahasa, koprasi, balai pengobatan, pemancar radio, penerbitan dan lain lain (Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo, 1982 : 83)

Demikian juga kita melihat terdapat beberapa refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan sosial, saat ini berkembang pada fungsi ekonomi, pengkaderan, public service, dll. Dengan refungsionalisasi tersebut, pesantren pada gilirannya tidak sekedar memainkan fungsi - fungsi tradisionalnya, seperti : transmisi ilmu ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (People centered development), Pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (Value oriented development), Pembangunan lembaga (Institution development) dan kemandirian (Self reliance and sustainability).

Dengan berbagai perkembangan baru yang terus bergerak (walau terkesan hati hati dan cenderung gradual evolusioner), Pesantren --menurut Azyumardi Azra.-- jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada gilirannya pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan dirinya pada posisi sentral sebagai pusat pencerahan, pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, pusat emansipasi wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997 : xxi)

Kendati bersifat evolusioner, dengan langkah yang mantap pesantren -- khususnya di Jawa-- terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang konstan, dari tahun ke tahun mereka mampu menarik minat masyarakat stake holder untuk berbondong bondong memasukkan putra putrinya ke lembaga tersebut, tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa, bahkan dari luar Negeri, seperti malaysia dan Brunai Darus Salam. Hal tersebut selain disebabkan faktor internal, dimana pesantren terus melakukan pembenahan dan konsolidasi diri, juga disebabkan faktor eksternal dimana lembaga pendidikan modern tidak mampu secara nyata melahirkan manusia yang integratif , mandiri dan berakhlakul karimah. Padahal yang paling dibutuhkan dalam dunia yang semakin menua ini tidak saja manusia yang siap pakai, yang lebih penting justru yang siap hidup, Untuk hal yang terakhir, peran alumni pesantren tidak dapat diragukan.

Dalam penelitiannya tahun 1955, Departemen Agama mencatat terdapat 30.368 pesantren dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai perbandingan saja pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren bertambah menjadi 37 000 buah dengan sekitar 4 juta santri. Angka angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi yang menakjubkan, meski berada dibawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya.

Fenomina Mutahir yang dapat diamati adalah bahwa pesantren terus mengembangkan ekspansinya hingga batas yang boleh disebut strategis, misalnya :

1.    Secara fisik, pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenominal, sehingga tidak tepat lagi sepenuhnya diasosiasikan dengan lembaga yang berfasilitas seadanya, kumuh, sesak dan tidak heginis, tetapi seiring dengan perkembangan ekonomi umat islam, saat ini tidak sulit mencari pesantren yang memiliki gedung megah dan mentereng.

2.    Begitu juga dengan domaiannya, ia tidak saja sebagai rural based institution, tetapi juga menjadi lembaga pendidikan urban. Ini bisa dilihat dari kemunculan sejumlah pesantren kota, pesantren pembangunan, pesantren mahasiswa, pesantren tehnologi, pesantren gender, pesantren industri, pesantren lingkungan, pesantren nara pidana yang notabene berdomisili dikota kota metpropolitan. Seperti : PP Darun Najah, PP Assiddiqiyah di Jakarta, PP Alkautsar dan PP Darul Arafah di Medan, PP Darul Hikmah di Pekan baru, Al Hikam di Malang, Al Jauhar dan Nurul Islam di Jember dan banyak lagi ditempat lain seperti : Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, dll.

3.    Selain itu saat ini pesantren tidak melulu identik dengan kelembagaan islam khas Jawa, tetapi mulai di adopsi oleh wilayah wilayah lain, seperti di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dsb.

4.    Sistem pengasramahan yang di pesantren dikenal dengan istilah santri mukim, saat ini ditiru oleh lembaga lembaga pendidikan umum, modern dan unggulan dengan istilah boarding school atau boarding system.

Di lingkungan Perguruan tinggi sudah dirintis beberapa model yang -- meski malu malu-- sesungguhnya meniru model pesantren, seperti : Pondok pesabtren Hj Nuriyah sobron di Univ. Muhammadiyah Surakarta, Pesantren Kampus di UIS Malang, Pesantren Mahasiswa di UNTAN Pontianak, dan banyak contoh contoh lain.

Tidak sedikit Pesantren yang secara cemerlang berhasil memberdayakan masyarakat disekitarnya, tidak saja dalam bidang pendidikan, tetapi juga bidang ekonomi, tehnologi dan ekologi. Pesantren Annuqoyah Guluk guluk Madura, misalnya, telah berhasil mengangkat desanya dari desa swadaya pada tahun 1978 menjadi desa swakarya pada tahun 1979 dan menjadi desa swasembada pada tahun 1981. Perubahan besar ini terjadi setelah pesantren tersebut mendirikan “Biro Pengabdian Masyarakat” yang mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1981.

Pesantren lain yang juga mendapatkan penghargaan serupa adalah Pesantren Sabilil Muttaqin Magetan yang berhasil membuka cabang cabang pendidikan di 55 kecamatan dan ratusan desa, Pesantren ini juga berhasil memberangkatkan 354 KK untuk mengikuti kegiatan transimigrasi dengan bekal skill yang memadai, sehingga mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1986.

Demikian juga dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Pesantren Maslakhul Huda margoyoso Pati, Pesantren Suralaya Tasikmalaya dan juga beberapa pesantren lainnya, yang masing masing mendapat penghargaan Kalpataru karena kontribusinya yang sangat signifikan dalam pembangunan masyarakat .

Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT, para Kiai pesantren memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimatnya, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pesantren, tidak tergantung pada sponsor dalam melaksanakan visi dan misinya. Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional dengan sarana dan prasarana yang mudah, namun para Kiai dan santrinya tetap mencerminkan prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebagian besar pesantren tradisional tampil dengan sarana dan prasarana sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini, ternyata tidak menyudutkan para Kiai dan santri untuk melaksanakan program-program pesantren yang telah dicanangkan. Mereka seakan sepakat bahwa pesantren tempat untuk melatih diri (riyadhoh) dengan penuh keprihatinan, asalkan tidak menghalamgi mereka untuk menuntut ilmu.

Dengan demikian jiwa kesederhanaan di atas, maka tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, sebagai pelayan masyarakat, mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat Islam. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160).

Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu kualitas out put pondok pesantren itu tergantung bagaimana suatu program yang sudah di tentukan oleh sosok pengasuh. Dalam artian terealisasinya visi, misi dan tujuan pondok pesantren terletak pada kebijakn seorang kiai. Oleh karena itu, ada beberapa faktor yang dimaksud dengan visi, misi dan tujuan pondok pesantren sebagaimana di bawah ini :

1. Adanya kemampuan SDM pengelola atau pengasuh

2.   Adanya strategi yang baik demi tercapainya suatu tujuan

3.   Adanya kebijaksanaan pemerintah, baik melalui perundang-undangan, surat keputusan mentri atau pejabat pemerintah dan sebagainya untuk mendukung program-program yang sudah ada di pondok pesantren.

4.   Adanya intervensi masyarakat (sosio-cultur)

5.   Dapat menyesuaikan dengan adanya perkembangan pengetahuan dan teknologi

Hal ini juga dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, sesungguhnya tujuan pendidikan pesantren tergantung atau ditentukan oleh kebijakan kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Maka dari pada itu perkembangan dan perubahan pesantren yang cukup berperan aktif serta sebagai pedoman di dalam proses pendidikan untuk tercapainya tujuan instruksional selalu menggunakan kurikulum. (2002:85)

 

C. Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam perspektif

Pendidikan Islam Indonesia

Kurikulum pendidikan di pesantren saat ini tidak sekedar fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, di Pesantren saat ini dikhotomi ilmu mulai tidak populer , beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum yang berada dibawah DIKNAS, Misalnya Undar Jombang, Pondok pesantren Iftitahul Muallimin Ciwaringin Jawa barat, dll.

Perkembangan yang begitu pesat dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi, menyebabkan pengertian kurikulum selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun demikian satu hal yang permanen disepakati bahwa Istilah kurikulum berasal dari bahasa Yunani, semula populer dalam bidang olah raga, yaitu Curere yang berarti jarak terjauh yang harus ditempuh dalam olahraga lari mulai start hingga finish. Kemudian dalam konteks pendidikan, kurikulum diartikan sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.

Dalam bahasa Arab Menurut Omar Muhammad (1979 : 478), term kurikulum dikenal dengan term manhaj, yakni jalan terang yang dilalui manusia dalam hidupanya. Dalam konteks pendidikan kurikulum diartikan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik untuk menggabungkan pengetahuan, ketampilan, sikap dan seperangkat nilai.

Secara etimologi, artikulasi kurikulum dapat dibedakan menjadi dua, pertama, dalam pengertiannya yang sempit, disebut juga (pengertian tradisional) yakni sebagaimana dirumuskan Regan ( 1960 : 57) “ The curriculum has mean the subjects taught in school, or the course of study “. Kurikulum adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah atau bidang studi.

Kedua, dalam pengertiannya yang luas, disebut juga (pengertian modern), yakni seperti dirumuskan Spear ( 1975 : 67) “The curriculum is looked as being composed of all the actual experience pupils have under school direction, writing a courrse of study become but small prt of curriculum program”. Kurikulum adalah semua pengalaman aktual yang dimiliki siswa di bawah pengaruh sekolah, sementara bidang studi adalah bagian kecil dari program kurikulum secara keseluruhan.

Rumusan ini dijustifikasi oleh sejumlah pakar lain seperti Saylor dan Alexander yang menyebutkan “The curriculum is the sum total of the school’s effort to influence learning whether in the calssroom, on the playground, or out of shoo” kurikulum adalah keseluruhan usaha sekolah dalam mempengaruhi belajar anak yang berlangsung di dalam kelas, di sekolah, maupun di luar sekolah.

Melampaui pembagian diatas, saat ini ada juga beberapa pakar seperti Lee and Lee ( 1940 : 211) yang menyebutkan bahwa “Curricuum is the strategy which we use in adapting this cultural geritage to the purpose of the shoo “ Kurikulum adalah strategi yang digunakan untuk mengadaptasikan pewarisan kultural dalam mencapai tujuan sekolah.

Berdasarkan literatur yang ada yang dimaksud dengan kurikulum adalah salah satu komponen utama yang diguanakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan disamping fakyor-faktor yang lain. Oleh sebab itu, keberadan kurikulum dalam sebuah lembaga pendidikan sangat penting. Kita selalu sering mendengar sorotan tajam bahwa kurikulum selalu tertinggal dengan perkembangan zaman.

Dengan demikian pembenahan kurikulum harus senantiasa dilakukan secara berkesinambungan. Dalam konteks pendidikan di pesantren, Nurcholis Madjid mengatakan yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, bahwa istilah kurikulum tidak terkenal di dunia pesantren (masa pra kemerdekaan), walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada di dalam pesantren, terutama pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan di pesantren. Secara eksplisit pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren atau mengaplikasikannya dalam bentuk kurikulum. (2002:85)

Dewasa ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan, termasuk di dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal sistem dan kelembagaan pesantren telah dimodernisasi, serta disesuaikan dengan tuntutan pembangunan, terutama dalam aspek-aspek kelembagaan sehingga secara otomatis akan mempengaruhi ketetapan kurikulum.

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan. Pesantren dalam aspek kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak pendidikannya yang bermacam-macam. Seperti Pesantren Tebuireng Jombang yang di dalamnya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum. Tetapi pesantren yang mengikuti pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum belum dimasukkan secara baik.

Maka dari pada itu kurikulum pondok pesantren tradisional statusnya cuma sebagai lembaga pendidikan non formal yang hanya mempelajari kitab-kitab klasik. Meliputi : nahwu, sorrof, belaghoh, tauhid, tafsir, hadist, mantik, tasawwuf, bahasa arab, fiqih, ushul fiqh dan akhlak. Dengan demikian pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi ada tingkat awal, menengah, dan lanjutan.

Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.

Apabila seorang santri telah mengusai satu kitab atau beberpa kitab dan telah lulus ujian yang diuji oleh Kiainya, maka ia berpindah kepada kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.

Sebagai konsekuensi dari cara penjenjangan di atas, pendidikan pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu atau bidang-bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing pesantren untuk dapat menarik minat para santri menuntut ilmu di dalamnya. Biasanya keunikan pendidikan sebuah pesantren telah diketahui oleh calon santri yang ingin mondok. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160)

Kendati beberapa pakar berbeda dalam merumuskan pengertian kurikulum, tetapi mereka tidak berbeda mengenai fungsi kurikulum, yakni : sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sebagai pelestari nilai nilai budaya dan sebagai pedoman tentang jenis, lingkup dan hirarki urutan isi dan proses pendidikan..

Kurikulum, bagi pendidik berfungsi sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman belajar peserta didik, bagi tenaga kependidikan berfungsi sebagai pedoman dalam mengadakan supervisi, bagi wali murid berfungsi untuk memberikan informasi sekaligus dorongan agar membantu menggiatkan belajar yang relevan di rumah, dan bagi perserta didik sendiri berfungsi sebagai informasi tentang jenis pengetahuan, nilai nilai dan keterampilan yang telah diperolehnya sebagai entri behaviornya.

Kurikulum Pendidikan pesantren, menurut Hasan (2001 : 6 ) paling tidak memiliki beberapa komponen, antara lain : tujuan, isi pengetahuan dan pengalaman belajar, strategi dan evaluasi. Biasanya komponen tujuan tersebut terbagi dalam beberapa tingkatan, yakni tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurekuler dan tujuan instruksional. Namun demikian berbagai tingkat tujuan tersebut satu sama lainnya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

Komponen isi meliputi pencapaian target yang jelas, materi standart, standart hasil belajar siswa, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran. kepribadian. Komponen strategi tergambar dari cara yang ditempuh di dalam melaksanakan pengajaran, cara di dalam mengadakan penilaian, cara dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan dan cara mengatur kegiatan sekolah secara keseluruhan. Cara dalam melaksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku dalam menyajikan tiap bidang studi, termasuk cara mengajar dan alat pelajaran yang digunakan.

Komponen evaluasi berisi penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan bersifat menyeluruh terhadap bahan atau program pengajaran yang dimaksudkan sebagai feedback terhadap tujuan, materi, metode, sarana, dalam rangka membina dan mengembangkan kurikulum lebih lanjut

Menurut Imam Bawani (1987 : 92) adalah berbeda antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam. Bila disebut pendidikan Islam, maka orientasinya adalah sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami yang teori-teorinya disusun berdasarkan alqur’an hadits. Sedangkan pendidikan agama Islam adalah nama kegiatan atau aktivitas dalam mendidikkan agama Islam.

Dengan kata lain pendidikan agama Islam adalah sejajar dengan mata pelajaran lain di sekolah seperti pendidikan matematika, ataupun pendidikan biologi. Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam mempersiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.

Jadi kurikulum Pendidikan pesasntren adalah bahan-bahan pendidikan agama Islam di pesantren berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sisteatis diberikan kepada santri dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Kurikulum Pendidikan pesasntren merupakan alat untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Adapun lingkup materi pendidikan pesasntren adalah : Al-Qur’an dan Hadits, Keimanan, akhlak, Fiqh/ibadah dan sejarah, dengan kata lain, cakupan Pendidikan pesasntren adanya keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.

Untuk mencapai tujuan Pendidikan pesasntren tersebut, perlu rekonstruksi kurikulum agar lebih riil. Rumusan tujuan Pendidikan pesasntren yang ada selama ini masih bersifat general dan kurang mach dengan realitas masyarakat yang terus mengalami transformasi. Rekonstruksi disini dimaksudkan untuk meningkatkan daya relevansi rumusan tujuan Pendidikan pesasntren dengan persoalan riil yang dihadapi masyarakat dalam hidup kesehariannya.

Prinsip pengembangan kurikulum Pendidikan pesasntren secara umum dapat dikelompkkan menjadi dua, yakni prinsip umum , yang meliputi prinsip relevansi, prinsip fleksebelitas, prinsip kontinoitas, prinsip praktis, prinsip efektifitas dan prinsip efisiensi. Sedangkan prinsip khusus mencakup prinsip yang berkenaan dengan tujuan Pendidikan pesasntren, prinsip yang berkenaan dengan pemilihan isi Pendidikan pesasntren , prinsip yang berkenaan dengan metode dan strategi proses pembelajaran Pendidikan pesantren, prinsip yang berkenaan dengan alat evalusi dan penilaian Pendidikan pesasntren.

Mastuhu secara praktis memberikan konsep tentang model dan paradigma Pendidikan pesasntren yang diharapkan menjadi orientasi dan landasan dalam kurikulum lembaga Pendidikan pesasntren, yaitu :

·       Dasar Pendidikan : Pendidikan pesasntren harus mendasarkan pada “teosentris’ dengan menjadikan “antroposentris” sebagai bagian esensial dari konsep teosentris. Hal ini berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya bersifat antroposentris semata.

·       Tujuan Pendidikan : kerja membangun kehidupan duniawiyah melalui pendidikan sebagai perwujudan mengabdi kepada-Nya. Pembangunan kehidupan duniawiyah bukan menjadi tujuan final, tetapi merupakan kewajiban yang diimani dan terkait kuat dengan kehidupan ukhrawiyah, tujuan finalnya adalah kehidupan ukhrawi dengan ridla Allah SWT.

·       Konsep manusia : Pendidikan Islam memandang manusia mempunyai fitrah yang harus dikembangkan, tidak seperti pendidikan sekuler yang memandang manusia dengan tabularasa-nya.

·       Nilai : Pendidikan pesasntren berorientasi pada Iptek sebagai kebenaran relatif dan Imtaq sebagai kebenaran mutlak. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya berorientasi pada Iptek.

Pengembangan kurikulum Pendidikan pesasntren yang terus menerus menyangkut seluruh komponennya merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan, agar ia tidak kehilangan relevansi dengan kebutuhan riil yang dihadapi komonitas pendidikan islam yang kecenderungannya terus mengalami proses dinamika transformatif.

Pendidikan pesantren yang dibangun atas dasar pemikiran yang Islami bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia, serta diarahkan kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah – kaidah Islam. Kurikulum yang demikian biasanya mengacu pada sembilan prinsip utamanya sebagai berikut :

·       Sistem dan pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan fitrah manusia, agar tetap berada dalam kesucianya dan tidak menyimpang.

·       Kurikulum hendaknya mengacu kepada pencapain tujuan akhir pendidikan Islam sambil memperhatikan tujuan – tujuan di bawahnya.

·       Kurikulum perlu disusun secara bertahap mengikuti periodisasi perkembangan peserta didik.

·       Kurikulum hendaknya memperhatikan kepentingan nyata masyarakat seperti kesehatan, keamanan, administrasi dan pendidikan. Kurikulum hendaknya pula disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan seperti iklim dan kondisi alam yang memungkinkan adanya perbedaan pola kehidupan, agraris , industri dan komersial.

·       Kuirikulum hendaknya terstruktur dan terorganisasi secara integral.

·       Kurikulum hendaknya realistis. Artinya, kurikulum dapat dilaksanakan sesuai dengan berbagai kemudahan yang dimiliki setiap negara yang melaksanakanya.

·       Metode pendidikan yang merupakan salah satu komponen kurikulum ini hendaknya bersifat fleksibel.

·       Kurikulum hendaknya efektif untuk mencapai tingkah laku dan emosi yang positif.

·       Kurikulum hendaknya memperhatiakan tingkat perkembangan peserta didik, baik fisik, emosional, ataupun intelektualnya; serta berbagai masalah yang dihadapi dalam setiap tingkat perkembangan seperti pertumbuhan bahasa, kamatangan sosial, dan kesiapan religiusitas.

 

D. Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam perspektif

Pendidikan Islam Indonesia

Dalam prinsip ajaran Islam, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda : yang artinya : “Sesungguhnya Allah sangat mencintati orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”. (HR Thabrani)

Sebenarnya, manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam, sebab dalam islam arah gayah (tujuan) yang jelas, landasan yang kokoh, dan kaifiyah yang benar merupakan amal perbuatan yang dicintai Allah swt.

Setiap organisasi, termasuk pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan pengetahuan manajemen, pengelola pondok pesantren bisa mengangkat dan menerapkan prinsip-prinsip dasar serta ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis ke dalam kembaganya tersebut.

Manajemen sebagai ilmu yang baru dikenal pada pertengahan abad ke-19, dewasa ini sangat populer, bahkan dianggap sebagai kunci keberhasilan pengelola perusahaan atau lembaga pendidikan, tak terkecuali lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren, maka hanya dengan manajemen lembaga pendidikan pesantren diharapkan dapat berkembang sesuai harapan, karena itu manajemen merupakan sebuah niscaya bagi lembaga pendidikan Islam atau pesantren untuk mengembangkan lembaganya ke arah yang lebih baik.

Abudin Nata (2003 : 43) menyebutkan dewasa ini pendidikan islam terus dihadapkan pada berbagai problema yang kian kompleks, karena itu upaya berbenah diri melalui penataan SDM, peningkatan kompetensi dan penguatan institusi mutlak harus dilakukan, dan semua itu mustahil tanpa manajemen yang profesional.

Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya, komponen tersebut meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran, sarana prasarana, evaluasi pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen ini -- karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang -- seringkali berjalan apa adanya, alami dan tradisional, akibatnya mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yang kurang membanggakan.

Al-Qur’an dan Hadits yang notabene merupakan landasan dan dasar pendidikan Islam saat ini belum benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pakar --di Indonesia-- yang secara khusus mendalami pemahaman kedua sumber tersebut dalam perspektif pendidikan Islam. Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan Al-Quran dan Al-Sunnah yang berhubungan dengan pendidikan secara baik. Akibatnya proses pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.

Sebagai konsekwensinya, visi dan misi pendidikan Islam juga masih belum berhasil dirumuskan secara baik dan universal. Tujuan pendidikan Islam juga seringkali diorientasikan untuk menghasilkan manusia – manusia siap pakai bukan siap hidup, menguasai ilmu Islam saja bukan berkarekter islami, dan visinya diarahkan untuk mewujudkan manusia yang shalih dalam arti ritual ukhrowi belum sosial dunia, Akibatnya lulusan pendidikan Islam hanya memiliki kesempatan dan peluang yang terbatas, mereka kurang mampu bersaing dan tidak mampu berebut peluang dan kesempatan dalam ruang yang lebih kompleks.

Konsekwensi lebih lanjut lulusan pendidikan Islam semakin terpinggirkan dan tak berdaya, ini merupakan masalah besar yang perlu segera diatasi, lebih lebih dalam dunia persaingan yang kian kompetieif dan mengglobal. Problema ini kian diperparah oleh tidak tersedianya tenaga pendidik Islam yang profesional, yaitu tenaga pendidik yang selain menguasai materi ilmu yang diajarkannya secara baik dan benar, juga harus mampu mengajarkannya secara efektif dan efisien kepada para siswa, serta harus pula memiliki idealisme.

Manajemen yang dimaksud disini adalah kegiatan seseorang dalam mengatur organisasi, lembaga atau perusahaan yang bersifat manusia maupun non manusia, sehingga tujuan organisasi, lembaga atau perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Bertolak dari rumusan ini , terdapat beberapa unsur yang inheren dalam manajemen, antara lain :

1.    Unsur proses, artinya seorang manejer dalam menjalankan tugas manajerial harus mengikuti prinsip graduasi yang berkelanjutan.

2.    Unsur penataan, artinya dalam proses manajemen prinsip utamanya adalah semangat mengelola, mengatur dan menata.

3.    Unsur implementasi, artinya, setelah diatur dan ditata dengan baik perlu dilaksanakan secara profesional.

4.    Unsur kompetensi. Artinya sumber-sumber potensial yang dilibatkan baik yang bersifat manusia maupun non manusia mesti berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan kualitasnya.

5.    Unsur tujuan yang harus dicapai, tujuan yang ada harus disepakati oleh keseluruhan anggota organisasi. Hal ini agar semua sumber daya manusia mempunyai tujuan yang sama dan selalu berusaha untuk mensukseskannya. Dengan demikian tujuan yang ada dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas dalam organisasi.

6.    Unsur efektifitas dan efisiensi. Artinya, tujuan yang ditetapkan diusahakan tercapai secara efektif dan efisien.

Relevan dengan hal diatas, Hamzah (1994 : 32) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Manajemen Pendidikan Pesantren adalah aktivitas memadukan sumber-sumber Pendidikan Pesantren agar terpusat dalam usaha untuk mencapai tujuan Pendidikan Pesantren yang telah ditentukan sebelumnya, dengan kata lain manajemen Pendidikan merupakan mobilisasi segala sumberdaya Pendidikan Pesantren untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Maka manajemen Pendidikan Pesantren hakekatnya adalah suatu proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam menggerakkannya mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan efisien.”.

Yang disebut “efektif dan efisien” adalah pengelolaan yang berhasil mencapai sasarannya dengan sempurna, cepat, tepat dan selamat. Sedangkan yang “tidak efektif” adalah pengelolaan yang tidak berhasil memenuhi tujuan karena adanya mis-manajemen, maka manajemen yang tidak efisien adalah manajemen yang berhasil mencapai tujuannya tetapi melalui penghamburan atau pemborosan baik tenaga, waktu maupun biaya.

Reddin (1970 : 135) memberikan beberapa gambaran tentang perilaku manajer yang efektif, antara lain : pertama, mengembangkan potensi para bawahan, kedua, memahami dan tahu tentang apa yang diinginkan dan giat mengejarnya, memiliki motivasi yang tinggi, ketiga, memperlakukan bawahan secara berbeda-beda sesuai dengan individunya, dan keempat, bertindak secara team manajer.

Seorang manajer tidak hanya memanfaatkan tenaga bawahannya yang sudah ahli atau trampil demi kelancaran organisasi yang dia pimpin saja, tetapi juga memberikan kesempatan pada bawahannya agar mereka dapat meningkatkan keahlian atau ketrampilannya.

Manajer Pendidikan Pesantren pada umumnya hanya tahu apa tugas mereka agar proses pendidikan dapat berlangsung konstan, tetapi acapkali mereka kurang mampu mengantisipasi secara akurat perubahan yang bakal terjadi di masyarakat pada umumnya dan dalam dunia pendidikan Islam khususnya. Akibatnya mereka hanya tenggelam dalam tugas-tugas rutin organisasi keseharian tetapi sangat sulit melakukan inovasi progresif nan memungkinkan dicapainya tujuan organisasi secara lebih improve dan membanggakan.

Dalam setiap perjalanan sebuah lembaga itu tidak terlepas yang namanya aktivitas managemen, karena setiap lembaga, organisasi dan termasuk pondok pesantren selalu berkaitan dengan usaha-usaha mengembangkan dan memimpin suatu tim kerja sama atau kelompok orang dalam satu kesatuan, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Semuanya ini untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam organisasi yang ditetapkan sebelumnya. Maka dari pada itu, keterkaitan managemen dan memimpin tidaklah salah jika kemudian orang menyatakan bahwa managemen sangat berkait erat dengan persoalan kepemimpinan. Karena managemen dari segi etimologinya yang berasal dari sebuah kata manage atau manus (latin) yang berarti memimpin, menangani, mengatur, dan membimbing. Dengan demikian pengertian managemen dapat diartikan sebagai sebuah proses khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan; perencanaan, pengorganisasian, penggiatan, dan juga pengawasan. Ini semua juga dilakukan untuk menentukan atau juga untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia, serta sumber-sumber lainnya.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa managemen adalah ilmu aplikatif, dimana jika dijabarkan menjadi sebuah proses tindakan meliputi beberapa hal : Pleaning, organizing, aktuating, controling. Berdasarkan empat hirarki tersebut managemen dapat bergerak, tentunya hal itu juga bergantung tingkat kepemimpinan seorang manager. Artinya adalah proses managerial sebuah organisasi akan bergerak apabila para managernya mengerti dan paham secara benar akan apa yang dilakukannya. (Suhartini, dkk,2005:70-72)

Maka berdasarkan dari definisi di atas, baik secara etimologi dan termenologi, berbicara managemen pendidikan pondok pesantren atau bisa disebut mengolah konsep apapun tentang pesantren sebenarnya bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih dahulu adanya kenyataan bahwa tidak ada konsep yang mutlak rasional, dan paling afdhol diterapkan di pesantren. Baik sejarah pertumbuhannya yang unik maupun karena tertinggalnya pesantren dari lembaga-lembaga kemasyarakatan lain dalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis, pesantren belum mampu mengolah, apalagi dalam soal melaksanakan konsep yang disusun berdasarkan pertimbangan rasional.

Kendati bersifat gradual, dalam beberapa tahun terakhir di lembaga pendidikan pesantren telah dilakukan berbagai pembaharuan di bidang manajemen sebagai jawaban atas tuntutan demokratisasi global, salah satu bentuknya adalah model manajemen demokratis yang berbasis kultural, dari, oleh dan untuk peserta didik (DOUP), dalam konteks ini terjadi rekonstruksi dari yang top down menjadi button up, dari yang doktrimal menjadi demokratik, dari yang menyeramkan menjadi menyenangkan.

Konsederasi yang dapat digunakan bagi model manajemen demokratis adalah bahwa setiap manusia dan masyarakat diciptakan dalam keadaan merdeka, karena itu kemerdekaan adalah hak setiap manusia, dan kemerdekaan sejati itu adalah terbebasnya rakyat dari berbagai bentuk ketidak berdayaan disegala bidang, termasuk pendidikan.

Karena itu agenda utama manajemen demokratis dalam pendidikan islam adalah semangat pembebasan kaum muslimin dari belenggu ideologi dan relasi kekuasaan yang menghambatnya mencapai perkembangan harkat dan martabat kemanusiaannya, maka manajemen demokratis dalam pendidikan islam sejatinya diarahkan pada proses aksi dimana kelompok sosial kelas bawah mengontrol ilmu pengetahuan dan membangun daya melalui pendidikan, penelitian dan tindakan sosial kritis.

Dari sisi managemen kelembagaan, di pesantren saat ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti model yayasan.

Sejatinya manajemen berhubungan erat dengan usaha untuk tujuan tertentu dengan jalan menggunakan berbagai sumber daya yang tersedia dalam organisasi atau lembaga pendidikan Islam dengan cara yang sebaik mungkin. Manajemen bukan hanya mengatur tempat melainkan juga mengatur orang per orang, dalam mengatur orang, tentu diperlukan seni atau kiat agar setiap orang yang bekerja dapat menikmati pekerjaan mereka.

Dalam proses manajemen, fungsi-fungsi manajemen digambarkan secara umum dalam tampilan prangkat organisasi yang dikenal dengan sebutan teori manajemen klasik. Para pakar manajemen mempunyai perbedaan pendapat dalam merumuskan proses manajemen, Bagi Poul Mali (1981 : 54), fungsi manajemen meliputi : planning, organizing, staffing, directing and controlling. Sedangkan dalam pandangan Wayne (1988 : 32) fungsi manajemen meliputi : planning, organizing, leading and controlling. Sementara menurut Peter Drukcer (1954 : 87) proses manajemen dimulai dari planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting. Dan menurut Made Pidarta (1988 : 85) manajemen meliputi : planning, organizing, comanding, coordinating, controlling

Berdasarkan uraian diatas, yang wajib ada dalam proses manajemen minimal empat hal, yakni : planning, organizing, actuating, controlling, (POAC). Empat hal ini prosesnya digambarkan dalam bentuk siklus karena adanya saling keterikatan antara proses yang pertama dengan proses berikunya, begitu juga setelah pelaksanaan controlling lazimnya dilanjutkan dengan membuat planning baru.

Dalam hal ini para pakar manajemen pendidikan Islam merumuskan siklus proses manajemen pendidikan Islam diawali oleh adanya sasaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu, lalu disusunlah rencana untuk mencapai sasaran tersebut dengan mengorganisir berbagai sumber daya yang ada baik materiil maupun non materiil lalu berbagai sumberdaya tersebut digerakkan sesuai jobnya masing masing, dan dalam aktuating tersebut dilakukan pengawasan agar proses tersebut tetap sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Perencanaan pendidikan islam adalah proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan kegiatan yang akan dikerjakan pada waktu yang akan datang untuk mencapai sasaran atau tujuan pendidikan islam yang telah dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya.

Dalam islam keharusan membuat perencanaan yang teliti sebelum melakukan tindakan banyak disinyalir dalam teks suci, baik secara langsung maupun secara sindiran (kinayah), misalnya dalam islam diajarkan bahwa upaya penegakan yang ma’ruf dan pencegahan yang munkar membutuhkan sebuah perencanaan dan strategi yang baik, sebab bisa jadi kebenaran yang tidak terorganisir dan terencana akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir dan terencana.

Meskipun Alqur’an menyatakan yang benar pasti mengalahkan yang bathil (al Isra’ : 81), namun Allah lebih mencintai dan meridhoi kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapi, terencana dan teratur ( as shaff : 4)

Setelah perencanaan, dilanjutkan dengan pengorganisasian, yakni proses penataan, pengelompokan dan pendistribusian tugas, tanggung jawab dan wewenang kepada semua perangkat yang dimiliki menjadi kolektifitas yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan team work dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efesien. Dalam Qs. 6 : 132 ditegaskan bahwa “Setiap orang mempunyai tingkatan menurut pekerjaannya masing-masing.

Sewaktu Rasulullah membentuk atribut-aribut negara dalam kedudukan beliau sebagai pemegang kekuasaan tetinggi, beliau membentuk organisasi yang didalamnya terlibat para sahabat beliau yang beliau tempatkan pada kedudukan menurut kecakapan dan ilmu masing-masing. Tidak dapat dipungkiri bahwa Rasulullah adalah seorang organisatoris ulung, administrator yang jenius, dan pendidik yang baik yang menjadi panutan, karena itu beliau disebut sebagai panutan yang baik (uswatun hasanah).

Setelah planning dan organizing, dalam siklus manajemen pendidikan islam dilanjutkan dengan actuating, yakni proses menggerakkan atau merangsang anggota anggota kelompok untuk melaksanakan tugas mereka masing masing dengan kemauan baik dan antusias.

Fungsi Actuating berhubungan erat dengan sumber daya manusia, oleh karena itu seorang pemimpin pendidikan Islam dalam membina kerjasama, mengarahkan dan mendorong kegairahan kerja para bawahannya perlu memahami seperangkat faktor-faktor manusia tersebut, karena itu actuating bukan hanya kata-kata manis dan basa-basi, tetapi merupakan pemahaman radik akan berbagai kemampuan, kesanggupan, keadaan, motivasi, dan kebutuhan orang lain, yang dengan itu dijadikan sebagai sarana penggerak mereka dalam bekerja secara bersama-sama sebagai taem work.

Siklus terakhir adalah controlling, yakni proses pengawasan dan pemantauan terhadap tugas yang dilaksanakan, sekaligus memberikan penilaian, evaluasi dan perbaikan sehingga pelaksanaan tugas kembali sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

Menurut Siagian (1983 : 21) fungsi pengawasan merupakan upaya penyesuaian antara rencana yang telah disusun dengan pelaksanaan dilapangan, untuk mengetahui hasil yang dicapai benar-benar sesuai dengan rencana yang telah disusun diperlukan informasi tentang tingkat pencapaian hasil. Informasi ini dapat diperoleh melalui komunikasi dengan bawahan, khususnya laporan dari bawahan atau observasi langsung. Apabila hasil tidak sesuai dengan standar yang ditentukan, pimpinan dapat meminta informasi tentang masalah yang dihadapi.

Dengan demikian tindakan perbaikan dapat disesuaikan dengan sumber masalah. Di samping itu, untuk menghindari kesalahpahaman tentang arti, maksud dan tujuan pengawasan antara pengawas dengan yang diawasi perlu dipelihara jalur komunikasi yang efektif dan bermakna dalam arti bebas dari prasangka nigatif dan dilakukan secara berdayaguna dan berhasilguna, al hasil, tujuan pengawasan pendidikan Islam haruslah konstruktif, yakni benar benar untuk memperbaiki, meningkatkan efektifitas dan efisiensi.

 

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

 

A. Kesimpulan

1.   Bahwa pendidikan pondok pesantren tradisonal adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) melalui kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.

Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill)

2.   Bahwa visi dan misi pendidikan pondok pesantren tradisional dalam persepktif pendidikan islam indonesia adalah : Pertama, menekankan pada prinsip asasul khomsah atau panca jiwa, yakni keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan. Kedua, pola relasi kiai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi juga bersifat batiniyah.Ketiga, pendidikan pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi ilmu ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, juga dimaksudkan menjadi alternatif bagi People centered development, Value oriented development, Institution development dan Self reliance and sustainability.

3.   Bahwa kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisonal saat ini tidak sekedar fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, saat ini di pendidikan pondok pesantren dikhotomi ilmu mulai tidak populer.

4.   Bahwa dari sisi managemen kelembagaan, di lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional saat ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti model yayasan.

 

B. Rekomendasi

1.    Karena peran lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional sangat penting dalam menjawab krisis kerohanian manusia modern, atau paling tidak sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup hedonistik dan ketidak jujuran, maka keberadaannya perlu mendapat dukungan yang lebih serius dari semua pihak.

2.    Karena kesuksesan manusia lebih banyak ditentukan oleh faktor EQ dan SQ, sedangkan SQ merupakan aspek utama yang menjadi focus dari pendidikan pondok pesantren tradisional, maka direkomendasikan kepada semua pihak untuk terus mengembangkan pendidikan hati demi memperoleh kesuksesan hidup yang hakiki.

3.    Karena aktifitas pendidikan pondok pesantren tradisional sejak awal kelahirannya mampu berkembang positif di masyarakat bahkan mempunyai kontribusi vital tidak saja dalam dimensi theologis tetapi juga sosial sebagai lokomotif utama dalam pencerahan masyarakat, maka tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan nasional yang patut dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Lampiran-lampiran

0 Response to "Contoh Skripsi Tentang Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia "

Post a Comment