Pembentukan
Sikap Religius (K1) dan Sikap Sosial (K2) melalui Pendekatan Saintifik sebagai
Wujud Pembentukan Karakter Siswa sebagai Implementasi Pembelajaran Pragmatik
dalam Kurikulum 2013
di SMP N 3 Kabupaten Majalengka
Abstrak
Bahasa Indonesia
menjadi penghela ilmu pengetahuan dalam implementasi kurikulum 2013. Peran
bahasa sebagai alat komunikasi sangat penting untuk diperkuat dalam
pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini layak dilakukan dalam rangka menyongsong
implementasi kurikulum 2013. Terkait dengan kebijakan pemerintah memberlakukan
kurikulum 2013 pada tahun pelajaran
2013/2014 pada tanggal 15 Juli 2013. Hal terpenting yang harus ditingkatkan
antara lain perubahan mindset guru,
penedekatan saintifik, dan penilaian otentik. Guru wajib memahami pendekatan
saintifik dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan pendekatan saintifik yang
diintegrasikan dengan model pembelajaran berbasis proyek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran berbasis
penemuan (discovery learning)
merupakan upaya penerapan model pembelajaran inovatif di dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penerapan model-model pembelajaran inovatif dalam proses
pembelajaran diharapkan dapat menghasilkan siswa yang aktif, kreatif, dalam
berbagai konteks pembelajran. Dengan demikain, para siswa akan memiliki
kompetinsi sikap religious (K1), kompetensi sikap sosial (K2), kompetensi
pengetahuan (K3), dan kompetensi
keterampilan (K4) secara berimbang. Mengacu deskripsi di atas,
pembelajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan saintifik diharapkan mampu
menghasilkan siwa yang kompeten dan berkarakter unggul.
Kata kunci: pembelajaran, bahasa Indonesia,
kurikulum 2013, dan generasi unggul.
Abstract
Indonesian
language become a draft of the science in the implementation of the curriculum
of 2013. The role of language as a means of communication is very important to
be strengthened in learning Indonesian language. It is worth doing in order to
meet the implementation of the curriculum of 2013. Related to this policy, the
government imposed the curriculum of 2013 in the academic year 2013/2014 on
July 15, 2013. The most important thing that should be improved are changes in
the mindset of teachers, scientific approach, and authentic assessment. Teachers
are required to understand the scientific approach in learning Indonesian
language. By the scientific approach that is integrated with a model of
project-based learning, problem-based learning, and discovery learning is an
effort in implementing innovative teaching model in learning Indonesian
language. Implementation of innovative learning models in the learning process
is expected to produce students who are active and creative in different
context of learning. Accordingly, the student will have the competence of
religious attitude (K1), the competence of social attitudes (K2), the
competence of knowledge (K3), and the competence of skills (K4) in balance.
Referring to the above description, learning Indonesian language by the
scientific approach is expected to produce students who are competent and have
excellent character.
Keywords: learning, Indonesian language,
curriculum of 2013, and excellent generation.
A.
PENDAHULUAN
Implementasi
kurikulum 2013 sangat menarik untuk didiskusikan dalam berbagai konteks
pembelajaran bahasa Indonesia. Ada tiga aspek utama dalam implementasi
kurikulum 2013, yakni: (1) perubahan mind
set, (2) keterampilan dan kompetensi guru, (3) kepemimpinan, kultur, dan
manajemen sekolah (Gultom, 2013). Ketiga komponen tersebut menjadi dasar
perubahan yang ingin dicapai dalam kurikulum 2013. Selama ini diakui atau tidak
diakui dapat direfleksikan masing-masing untuk bertanya pada diri sendiri (guru
dan dosen), “Apakah aku sudah profesional dan kompeten?” pertanyaan tersebut
merupakan pertanyaan bagi guru dan dosen di seluruh Indonesia. Saya yakin kalau
yang menjawab guru dan dosen itu sendiri sudah pasti akan menjawab, “Saya profesional
dan kompeten!”. Namun demikian bukan sekadar jawaban itu yang diperlukan tetapi implementasi
dan karya yang dihasilkan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak
lanjut dalam pembelajaran.
Menjawab refleksi di
atas, dapat dikaji lebih mendalam selaras dengan penjelasan Iskandarwassid
(2009:108) yang menjelaskan bahwa sifat khas dalam pembelajaran di kelas dapat
dilihat dari :(1) sifat kealamiahan bahasa sasaran, (2) cara peserta didik
dalam berkomunikasi, (3) ketersediaan model yang dapat ditiru, dan (4) adanya
lingkungan yang mendukung untuk mencapai keberhasilan dalam berkomunikasi.
Dengan demikian, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi bagi guru dan dosen
menjadi teladan berbahasa bagi para siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah, guru, dan hasil observasi selama proses pengambilan data, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa kendala/masalah dalam implementasi Kurikulum 2013 SMP sasaran di SMP N 3 Kab. Majalengka. Masalah yang teridentifikasi adalah sebagai berikut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah, guru, dan hasil observasi selama proses pengambilan data, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa kendala/masalah dalam implementasi Kurikulum 2013 SMP sasaran di SMP N 3 Kab. Majalengka. Masalah yang teridentifikasi adalah sebagai berikut.
- Selama ini tidak ada diskusi/komunikasi antarguru-guru
pendamping dan antara guru pendamping dengan petugas Dinas (Pendamping
Daerah/Pengawas)
- Guru pendamping menunggu instruksi dari dinas (legal
formal), sedangkan Dinas Pendidikan kurang mengetahui adanya (Rencana
Tindak Lanjut) RTL yang harus dikomunikasikan ke Dinas Pendidikan dan
ditindaklanjuti.
- Hanya sebagian kecil guru sasaran yang mengajar di
sekolah yang sama dengan sekolah guru pendamping sudah mendapat
pendampingan.
- Pemahaman guru tentang pembelajaran saintifik masih
perlu ditingkatkan, terutama untuk mata pelajaran non sains.
- Ada
kecenderungan untuk membuat RPP untuk kurun waktu satu tahun, sehingga RPP
kurang relevan dengan kebutuhan KBM. Masih terindikasi adanya mindset
bahwa RPP merupakan formalitas yang akan dijadikan toloh ukur kualitas
pendidikan.
- Guru
masih perlu meningkatkan pemahaman tentang esensi penilaian, proses
penilaian, instrumen penilaian, dan tujuan penilaian.
- Guru
sangat membutuhkan dukungan formal dari Kepala Sekolah dan Dinas
Pendidikan setempat dalam hal pendampingan dan kebijakan terkait,
khususnya dalam implementasi kurikulum 2013.
Berdasarkan hasil
pendampingan selama tiga hari efektif dan kegiatan curah pendapat dalm bentuk
FGD untuk menampung berbagai keluhan dan kesulitan dalam implementasi kurikulum
2013. Khususnya pada (1) hasil penyusunan dan pengembangan RPP, (2) implementasi
pendekatan saintifik dan model-model pembelajaran, dan (3) penialaian otentik.
Berdasarkan hasil diskusi dan tanya jawab, diperoleh simpulan bahwa:
1.
Guru-guru masih memerlukan proses secara
kontinu untuk memiliki mind set perubahan dari KTSP ke KTSP 2013.
2.
Guru-guru sudah dapat menyusun dan
mengembangan RPP sesuai dengan hasil pendampingan pertama. Namun demikian
diperlukan pembiasaan serta desiminasi kepada guru-guru lain ketika tahun depan
akan diimplementasikan secara menyeluruh di semua kelas dan jenjang sekolah.
3.
Guru-guru sudah menerapkan pendekatan
saintifik dalam pembelajaran tetapi belum maksimal. Masih diperlukan berbagai
pemodelan dalam pendekatan saintifik untuk memperkaya model-model yang dapat
diterapkan oleh para guru di sekolah.
4.
Guru-guru masih memiliki kesulitan khsusnya
pada penilaian proses dan sikap. Karena banyaknya siswa yang harus dinilai
membuat guru agak kesulitan. Oleh karena itu, ada sekolah yang mencoba
mengembangkan sistem untuk mengisi uraian deskriptif penilaian para siswa.
Penelitian ini
merupakan hasil penelitian dari hasil monitoring dan evaluasi implementasi
kurikulum 2013 di SMP N 3 Kabupaten Majalengka. Implementasi kurikulum 2013 di SMP
N 3 Kabupaten Majalengka memberikan gambaran yang beraneka ragam. Namun dalam
penelitian ini difokuskan pada: (1) bagaimana pembentukan sikap religius (K1)
sebagai wujud pembentukan karakter dan implementasi pembelajaran pragmatik
dalam kurikulum 2013? dan (2) bagaimana pembentukan sikap religius (K1) sebagai
wujud pembentukan karakter dan implementasi pembelajaran pragmatik dalam
kurikulum 2013?
B.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan data dan sumber referensi
dan wawancara dengan narasumber. Tulisan ini mengambil objek dan refleksi
imlementasi kurikulum 2013 di SMP N 3 Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi, dan focus group discussion (fgd). Penelitian
ini dijelaskan secara deskriptif dengan berbagai fakta. Hasil wawancara, observasi,
dan fgd yang ditemukan secara terintegratif. Teknik analisis dilakukan adalah
model mengalir, Miles dan Huberman (2009, 15-20) yaitu (1) pengumpulan data,
(2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan simpulan/verivikasi. Kesimpulan
dibuat dengan teknik deduktif, yaitu dari penjelasan umum menuju fakta-fakta
khusus sebagai kesimpulan.
C.
Hasil dan Pembahasan
Implementasi
kurikulum 2013 mewajibkan empat kompetensi inti yang harus dimiliki siswa.
Empat kompetensi tersebut adalah: (1) kompetensi sikap religius (K1), (2) kompetensi
sikap sosial (K2), (3) kompetensi pngetahuan (K3), dan (4) kompetensi keterampilan
(K4). Dalam rangka merealisasikan empat kompetensi inti tersebut diperlukan
upaya dari berbagai pihak untuk bersinergis, yakni guru, dosen, siswa, dan
pengambil kebijakan. Pengambil kebijakan yang dimaksud adalah kepala sekolah,
pengawas, dan kepala dinas pendidikan. Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi di SMP N 3 majaelngka, Jawa Barat dapat dijelaskan sebagai berikut.
C.1 Upaya
Pembentukan Sikap Religius (K1) di SMP N 3 Majalengka.
Berbagai upaya untuk
mewujudkan pembentukan sikap religius (K1) di SMP N 3 Majalengka dapat
dideskripsikan sebagai berikut.
1. Guru Harus Profesional dan Berkarakter
Seorang guru memiliki tugas mulia untuk mendidik,
membimbing, dan mengarahkan seperti dalam UU Guru dan Dosen. Guru harus menjadi
teladan bukan sekadar memberi teladan. Selain itu, guru dan dosen harus dapat
menjadi contoh bukan sekadar memberi contoh dalam berbagai konteks kehidupan
(Rohmadi, 2012:2). Guru dan dosen professional menurut pasal 1 UUGD sebagai
berikut. Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (pasal 1)
dan dosen adalah pendidik profesional
dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Merujuk paparan di atas, guru dan
dosen memiliki peran penting sebagai seorang “sutradara pembelajaran” di dalam
atau luar kelas.
Merujuk paparan di atas, ada beberapa dimensi yang mampu
membentuk sikap profesioanlisme dan karakteristik guru antara lain: guru harus
mmapu menjadi pembelajar, pemimpin, motivator dalam pembelajaran, pengelana/penjelajah
keilmuan, inovator, penghibur, pelatih dan pembimbing sejati, manusia sejati,
optimis, kolaborator, dan revolusioner. Pemikiran-pemikiran tersebut
dikembangkan dari pemikiran Sandy, Suparlan, dan Rachmawati (2013:11); Allen
(1973). Dengan demikian, guru harus mampu menunjukan kreativitas,
profesionalitas, dan karakteristik secara berkelanjutan dalam berbagai konteks
kehidupan. Hal ini menjawab tantangan mengenai dehumanisasi pembelajaran yang
disampaikan oleh Prawiradilaga (2012:42) yang mempertanyakan bahwa di era
1970-an keberadaan teknologi pendidikan dipertanyakan, apakah akan menggantikan
peran guru, atau “mengurangi” nilai-nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik.
Jawabnya bergantung pada guru dalam membimbing dan mengarahkan dalam mewujudkan
keteladanan.
Guru harus dapat belajar dari apa yangdijelaskan Ginanjar
(2007:170) bahwa Archimedes telah “membaca” air yang tumpah, ketika dirinya
masuk ke dalam bath tub. Kemudian ia
menelaah, meneliti, dan memelajari hal itu secara sungguh-sungguh, dan akhirnya
ia pun berhasil “melihat” salah satu “ketentuan Tuhan”. Berangkat dari
pelajaran dan renungan tersebut, seorang guru dan dosen harus menunjukkan sikap
keteladanan dalam berbagai konteks kehidupan. Keteladanan itulah wujud
implementasi karakter yang sesungguhnya, seperti jujur, bertanggung jawab,
bekerja sama, memiliki kemandirian, santun, memiliki empati, dan lain-lain.
Dengan perwujudan keteladanan tersebut maka diyakini, seluruh peserta didik
akan mengikuti dan menerapkan apa yang kita ajarkan dengan pendekatan kasih
sayang dan hati. Itulah sosok guru dan dosen yang professional dan berkarakter.
2. Guru harus Menerapkan Pembelajaran Kritis dan Kreatif
Terkait dengan perubahan paradigma berpikir bagi guru profesional
harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Peningkatan keterampilan berpikir
tingkat tinggi telah menjadi salah satu prioritas dalam pembelajaran di
sekolah. Apabila kita kaji secara mendalam bahwa mata pelajaran bahasa
Indonesia diberikan kepada semua peserta didik untuk membekali mereka dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerja sama. Pada deskripsi ini ditegaskan pula bahwa
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
di sekolah bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah
dalam berkomunikasi, merancang aneka
model komunikasi, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
dalam berkomunikasi dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga menimbulkan
sikap santun dan empati. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita sebagai
guru dan dosen memfasilitasi siswa atau mahasiswaa untuk menjadi pemikir (thinker)
dan pemecah masalah (problem solver) yang lebih baik dalam berbagai
konteks komunikasi? Jawabnya sederhana: Jadikan kelas bahasa dan sastra
Indonesia sebagai tempat bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir
dan berkreasi bagi mereka.
Dengan demikian, lahirlah karya-karya kreatif yang penuh dengan ide dan
gagasan kreatif dalam berbagai konteks kehidupan.
Pengajaran bahasa dengan keterampilan berpikir tingkat
tinggi dilandasi dua filosofi. Pertama harus ada materi atau pelajaran
khusus tentang berpikir. Kedua, mengintegrasikan kegiatan berpikir ke
dalam setiap pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia. Dengan demikian, keterampilan berpikir terutama berpikir
tingkat tinggi harus dikembangkan dan menjadi bagian dalam proses pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia secara berkelanjutan. Dengan pendekatan ini,
keterampilan berpikir dapat dikembangkan dengan cara membantu siswa menjadi problem
solver yang lebih baik dengan
diientegrasikan pendekatan saintifik. Untuk itu, guru harus menyediakan
masalah (soal) yang memungkinkan siswa menjadikan soal terebut objek diskusi
dan siswa menggunakan keterampilan berpikir tingkat tingginya dalam proses
pembelajaran. Dengan demikain, para siswa akan memanfaatkan model discovery learning dan problem based learning dalam proses pembelajarannya
untuk menyelesaikan masalah tersebut.
3. Guru Harus memiliki Kompetensi Inti dalam
Kurikulum 2013
Guru-guru
di SMP N 3 Majalengka harus menguasai empat kompetensi utama, yakni pedagogik,
profesional, kepribadian dan sosial. Selain itu, seorang guru dalam
mengimpelemtasikan kurikulum 2013 berdasarkan indikator ketercapaian tujuan dan
kompetensi inti, bahwa guru harus memiliki (BBPSDM, 2013); Paddila (1985): (1) sikap
yang terbuka untuk menerima Kurikulum 2013, (2) keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan
Kurikulum 2013, (3) pemahaman yang mendalam tentang Kurikulum 2013 (filosofi,
rasional, elemen perubahan, strategi implementasi, Kompetensi Inti (KI), dan
Kompetensi Dasar (KD)), (4) keterampilan menganalisis keterkaitan antara
Standar Kompetensi Kelulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD),
Buku Guru, dan Buku Siswa, (5) keterampilan menyusun Rencana Program
Pembelajaran (RPP) dengan mengacu pada Kurikulum 2013, (6) keterampilan
mengajar dengan menerapkan pendekatan Scientific
secara benar, (7) keterampilan mengajar dengan menerapkan model
pembelajaran Problem Based Learning,
Project Based Learning, dan Discovery
Learning, (8) keterampilan melaksanakan penilaian autentik dengan benar,
dan (9) keterampilan berkomunikasi lisan dan tulis dengan runtut, benar, dan
santun.
Merujuk
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru di atas dapat dideskripsikan bahwa
guru harus menggunakan pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Selain itu,
tiga model pembelajaran, problem based
learning, project based learning, dan discovery
learning, secara terintegratif harus diimplementasikan dalam pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia. Dengan demikian, guru dituntut mampu membangun
konteks, menanyakan, mendiskusikan, mendemostrasikan, dan memperesentasikan
berbagai tema dalam pembelajaran secara terintegratif.
C.2 Upaya
Pembentukan Sikap Sosial (K2) dalam Pembelajaran di SMP N 3 Majalengka
Berbagai
upaya dalam rangka pembentukan sikap religius (K1) tidak dapat terlepas dari
pembentukan sikap sosial (K2). Hal ini merupakan dua kompetensi yang saling
mengisi dalam pembentukan karakter siswa di dalam pembelajaran sebagai upaya
pementukan karakter siswa dan implementasi pembelajaran pragmatik. Pembelajaran
paragmatik melibatkan kontekstual pembelajaran di luar bahasa. Hal ini seperti
yang dijelaskan Wijana dan Rohmadi (2009: 5) bahwa pragmatik adalah
pembelajaran bahasa yang terikat konteks. Upaya-upaya pembentukan sikap sosial
(K2) di SMP N 3 Majalengka dapat dijabarkan sebagai berikut.
- Guru
harus Kaya Metode dan Media Pembelajaran Inovatif
Dalam implentasi
kurikulum 2013 di SMP N 3 Majalengka guru diwajibkan untuk menerapkan
pendekatan ilmiah dalam pembelajaran karena diyakini pendekatan ilmiah sebagai
titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan
peserta didik. (BBPSDM, 2013:153). Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia
dan mata pelajaran yang lain juga menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach) yang menyentuh
pada tiga ranah, sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pendekatan ilmiah dalam pembelajaran meliputi: (1) mengamati,
menanya, menalar, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta
untuk semua mata pelajaran, termasuk bahasa Indoneisa. Namun demikian,
pendekatan ini tidak serta merta menjadi satu-satunya pendekatan dalam
pembelajaran. Oleh karena itu, dalam konteks tertentu, pendekatan pembelajaran
yang tidak selaras dilakukan dengan pendekatan saintifik perlu mengedepankan
sifat-sifat ilmiah dan membebaskan diri dari pendekatan nonilmiah. Hal ini
dapat diperhatikan dalam implementasi pembelajaran empat keterampilan
berbahasa.
Pendekatan saintifik menjadi pendekatan utama untuk
membentuk sikap religious (K1) dalam pembelajaran di SMP N 3 Majalengka. Proses
pembelajaran dapat
dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi
pendekatan ilmiah dalam pembelajaran.Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian
emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para
ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) dibandingkan
dengan penalaran deduktif (deductivereasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian
menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang
fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara
keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke
dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena
unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Metode ilmiah merujuk pada
teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala,
memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan
sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang
dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang
spesifik.Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas
pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau
data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis (BBPSDM, 2013).
Berdasarkan
hasil observasi, bahwa guru di SMP N 3 Majalengka menerapkan pendekatan
ilmiah/saintif masih memerlukan koordinasi dan refleksi lebih lanjut. Hal ini
lebih banyak disebabkan karena masih belum dipahami secara utuh konsep
penggunaan pendekatan saintifik tersebut dalam pembelajaran. Faktor utama
kesulitan guru adalah untuk mengesplor materi-materi yang digunakan dalam
konsep lima M, yakni mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan menyajikan.
Berdasarkan hasil evaluasi proses, para siswa begitu antusias dalam
pembelajaran. Piranti-piranti pragmatik dalam interaksi pembelajaran anatar
guru dan siswa juga begitu antusias. Hal ini mebuktikan bahwa implementasi
pembelajaran pragmatik dengan pendekatan saintifik dalam rangka pembentukan
sikap religious (K1) dan sikap sosial
(K2) di SMP N 3 Majalengka cukup berhasil.
2.
Guru Mengimplemntasikan Pendekatan
Ilmiah dan Nonilmiah dalam Pembelajaran
Pembelajaran
berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan
pembelajaran tradisional. Paparan berkaitan dengan pendekatan ilmiah atau
saintifik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia telah memberikan gambaran yang
jelas dalam menumbuhkan kreativitas siswa (Saddhono, 2013: 439-444). Hasil
penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi
dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit dan perolehan pemahaman
kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah,
retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan
perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen. Proses pembelajaran dengan berbasis pendekatan ilmiah harus
dipandu dengan kaida-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan
dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang
suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan
dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran
disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
1.
Substansi atau materi pembelajaran
berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau
penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng
semata.
2.
Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif
guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran
subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis,
analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan
mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
4.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik
dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi
pembelajaran.
5.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami,
menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam
merespon substansi atau materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapatdipertanggung-jawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
Deskripsi proses pembelajaran tersebut sangat erat
kaitanya dengan implementasi kurikulum 2013. Hal ini dapat dilihat paparan
pendekatan nonilmiah di SMP N 3 majalengka selaras dengan pendekatan ilmiah (BBPSDM,
2013:23). Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau
nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi, akal sehat,prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal
berpikir kritis.
1. Intuisi.
Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang
kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna
kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan
kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap
sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan
sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui
proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali
menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.
2.
Akal
sehat.
Guru dan peserta didik harus menggunakan akal
sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah
sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan
peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula
menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3. Prasangka.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata
atas dasar akal sehat (comon sense)
umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan
sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi
kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi
terlalu luas.
Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi
prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang
penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka
buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru
dan peserta didik.
4. Penemuan
coba-coba.
Tindakan atau aksi coba-coba
seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian,
keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu
bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika
baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong
kreatifitas.Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan,
harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan
kepastian jawaban.
Misalnya, seorang peserta didik
mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget
komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang
menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga
dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa
komputer laptop itu bisa menyala.
5. Berpikir
kritis.
Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya
mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran
kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti
ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil
pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil esperimen
yang valid dan reliabel karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang
logis semata.
3.
Guru Menerapkan Pembelajaran
Pragmatik dengan Pendekatan Saintifik
Guru-guru SMP N 3 majalengka menerapkan pendekatan
ilmiah/pendekatan saintifik. Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah,
yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis
pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi
ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi
ajar agar peserta didik tahu tentang ‘bagaimana’. Ranah pengetahuan menggamit
transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’.Hasil akhirnya adalahpeningkatan
dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik(soft
skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup
secara layak (hard skills)dari peserta didik yang meliputi aspek
kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Kurikulum
2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran semua mata pelajaran
meliputi menggali informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian
mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan
dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Untuk mata
pelajaran, materi, atau situasi tertentu,
sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara
prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus
tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari
nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran
disajikan berikut ini.
Mengamati
Metode
mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek
secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya.
Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan
waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika
tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran. Metode
mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik,
sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode
observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang
dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Menanya
Guru yang efektif mampu
menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula
dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru
menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya
itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Berbeda dengan penugasan
yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh
tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat
tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya
menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri
kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!
Fungsi bertanya dalam pembelajaran di SMP
N 3 Majalengka ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
1)
Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan
perhatian peserta didik tentang suatu
tema atau topik pembelajaran.
2)
Mendorong dan menginspirasi peserta didik
untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya
sendiri.
3)
Mendiagnosis kesulitan belajar peserta
didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya.
4)
Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan
pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan.
5)
Membangkitkan keterampilan peserta didik
dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis,
sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
6)
Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi,
berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir,
dan menarik simpulan.
7)
Membangun sikap keterbukaan untuk saling
memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta
mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
8)
Membiasakan peserta didik berpikir spontan
dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul.
9)
Melatih kesantunan dalam berbicara dan
membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
Dalam rangka mengimplementasikan pembelajaran
pragmatic dan kurikulum 2013 yang bersinergis, guru-guru SMP N 3 Majalengak
menerapkan dengan aneka pertanyaan. Hal ini sebagai bentuk penerapan pendekatan
saintifik dalam pembelajaran untuk membentuk sikap religious (K1) dan sikap
sosial (K2).
Berbagai implementasi tindak tutur pertanyaan
guru yang baik dan benar menginspirasi peserta didik untuk memberikan jawaban
yang baik dan benar pula. Guru harus memahami kualitas pertanyaan, sehingga
menggambarkan tingkatan kognitif seperti apa yang akan disentuh, mulai dari
yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi. Bobot pertanyaan yang menggambarkan
tingkatan kognitif yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi disajikan berikut
ini.
Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan
ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan
peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan
situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran
adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang
dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran
ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah
menalar di sini merupakan padanan dari associating;
bukan merupakan terjemanan dari reasonsing,
meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah
aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan
pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran
asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan
beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya
menjadi penggalan memori.
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat dua cara menalar, yaitu
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif
merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau
atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara
induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata
secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum.Kegiatan
menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau
pengalaman empirik.
Contoh:
1. Singa binatang berdaun telinga, berkembang biak dengan cara melahirkan.
2. Harimau binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan.
3. Ikan Paus binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan melahirkan.
4. Simpulan: Semua binatang yang berdaun telinga berkembang biak dengan
melahirkan.
Penalaran deduktif
merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau
fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. Pola
penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme. Cara kerja menalar secara
deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian
dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus. Ada tiga jenis silogisme,
yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada
penalaran deduktif tedapat premis, sebagai proposisi menarik simpulan.
Penarikan simpulan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung. Simpulan secara
langsung ditarik dari satu premis,sedangkan simpulan tidak langsung ditarik
dari dua premis.
Contoh :
1. Kamera adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk
beroperasi
2. Telepon genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk
beroperas.
3. Simpulan: semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.
Mencoba (eksperimen)
Kegiatan pembelajaran dengan
pendekatan eksperimen dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, persiapan,
pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ketiga tahapan eksperimen dimaksud dijelaskan
berikut ini.
Persiapan
1) Menentapkan tujuan eksperimen
2) Mempersiapkan alat atau bahan
3) Mempersiapkan tempat eksperimen sesuai
dengan jumlah peserta
didikserta alat atau bahan yang tersedia. Di sini guru perlu menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan
eksperimen secara serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok secara paralel
atau bergiliran
4) Memertimbangkan masalah keamanan dan kesehatan
agar dapat memperkecil atau menghindari risiko yang mungkin
timbul
5) Memberikan penjelasan mengenai apa
yang harus diperhatikan dan tahapa-tahapan yang harus dilakukan peserta didik, termasuk hal-hal yang dilarang
atau membahayakan.
Pelaksanaan
1) Selama proses eksperimen,
guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan. Di sini
guru harus memberikan dorongan dan bantuan terhadap
kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik agar
kegiatan itu berhasil dengan baik.
2) Selama proses eksperimen, guru hendaknya memperhatikan situasi secara
keseluruhan, termasuk membantu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang
akan menghambat kegiatan pembelajaran.
Tindak lanjut
1) Peserta didik
mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada guru
2) Guru memeriksa hasil eksperimen peserta didik
3) Guru memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil
eksperimen.
4) Guru dan peserta didik mendiskusikan
masalah-masalah yang ditemukan selama eksperimen.
5) Guru dan peserta didik memeriksa
dan menyimpan kembali segala bahan dan alat yang digunakan.
Jejaring
Pembelajaran atau Pembelajaran Kolaboratif/ Menyajikan Hasil
Apa yang
dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan
suatu filsafat personal, lebih dari sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas
sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup
manusia yang menempatkan dan memaknai kerja sama
sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk
memudahkan usaha kolektif untuk mencapai
tujuan bersama.
Pada
pembelajaran kolaboratif kewenangan guru dan fungsi guru lebih bersifat direktif atau
manajer belajar. Sebaliknya,
peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika
pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, ia
menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau
berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta
didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan
atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman
sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar
secara bersama-sama.
D. Penutup
Perubahan maind set guru sangat penting dalam
pembentukan sikap religious dan sosial siswa sebagai implementasi pemeblajaran
pragmatic dan kurikulum 2013. Dengan menimplementasikan pendekatan saintifik
dan model pembelajaran berbasis masalah, proyek, dan penemuan yang terintegrasi
dengan penilaian berbasis autentik semakin lengkap. Dengan demikian diperlukan
upaya pengembangan wawasan dan peningkatan profesionalisme guru dan dosen dalam
berbagai konteks pembelajaran. Maka akan lahirlah generasi-generasi bahasa yang
unggul dan berkarakter sebagai seorang teladan dalam masyarakat. Oleh karena
itu, menjadi kewajiban bersama, guru
untuk menanamkan rasa memiliki dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia
yang dijadikan penghela dalam implementasi kurikulum 2013. Mari teriakkan
bersama-sama dalam berbagai konteks dan di seluruh pelosok tanah air.
Berdasarkan paparan
dan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) pembentukan sikap religius
(K1) sebagai wujud pembentukan karakter dan implementasi pembelajaran pragmatik
dalam kurikulum 2013 di SMP N 3 Majalengka diwujudkan melalui integrasi dan
komitmen guru, siswa, dan kepala sekolah khususnya dalam proses pembelajaran
dan pembiasaan dan (2) pembentukan sikap
sosial (K2) sebagai wujud pembentukan karakter dan implementasi pembelajaran
pragmatik dalam kurikulum 2013 di SMP N 3 majalengka dilakukan melalui aneka
tindak tutur mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan menyajikan. Dengan
mengimplementasikan dan mengintegrasikan kedua kompetensi sikap religious dan
sikap sosial tersebut, guru dan siswa di SMP N 3 Majalengka lebih dapat
memahami wawasan keilmuan dan praktiknya dalam kehidupan.
Daftar Pustaka
Allen, L. (1973). An Examination of the Ability of Third Grade Children from the
Science Curriculum Improvement Study to Identify Experimental Variables and to Recognize Change. Science
Education, 57, 123-151.
BPSDMPK dan PMP. 2013. Materi
Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemndikbud.
Ginanjar A., Ary. 2007. Emotional
Spiritual Quotient. Jakarta: ARGA Publishing.
Gultom, Syawal. 2013. “Perubahan Mindset Guru dan Dosen” Makalah dalam rangka sosialisasi kurikulum
2013 di FKIP UNS.
Iskandarwassid dan Dadang S. 2009. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosda Karya.
Milles,
Matthew & A. M. Huberman. 1992. Analisis
Data Kualitatif (Buku sumber tentang Metode-metode Baru). Jakarta: UI
Press.
Padilla, M., Cronin,
L., & Twiest, M. (1985). The Development and Validation of the Test of Basic Process Skills. Paper Presented at the Annual meeting of the
National Association for Research in Science Teaching, French Lick, IN.
Prawiradilaga, Dewi Salma. 2012. Wawasan Teknologi Pendidikan. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
Rachmawati, T. Sandy, Suparlan, dan Daryanto.2013. Penilaian Kinerja Guru dan Angka Kreditnya.
Yogyakarta: Gava Media.
Rohmadi, M. 2012. Menjadi
Guru Profesional dan Berkarakter. Surakarta: Yuma Pustaka.
Rohmadi, M. 2013. “Peningkatan
Kompetensi Guru dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai upaya Penguatan
Jati Diri Bangsa di Era Global” dalam buku
Pendidikan Profesi dan Karakter
Bangsa dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surakarta: Ikatan Alumni MPB
Pascasarjana UMS.
Saddhono, Kundharu. 2013.
“Pendekatan Scientific pada Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah
Menengah Pertama dalam Kurikulkum 2013” dalam Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Mewujudkan
Generasi Berkarakter. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UNS.
Wijana, I
Dewa Putu. Dan M. Rohmadi. 2009. Analisis
Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.
0 Response to "Pembentukan Sikap Religius (K1) dan Sikap Sosial (K2) melalui Pendekatan Saintifik sebagai Wujud Pembentukan Karakter Siswa sebagai Implementasi Pembelajaran Pragmatik dalam Kurikulum 2013"
Post a Comment