Pembentukan Sikap Religius (K1) dan Sikap Sosial (K2) melalui Pendekatan Saintifik sebagai Wujud Pembentukan Karakter Siswa sebagai Implementasi Pembelajaran Pragmatik dalam Kurikulum 2013

Pembentukan Sikap Religius (K1) dan Sikap Sosial (K2) melalui Pendekatan Saintifik sebagai Wujud Pembentukan Karakter Siswa sebagai Implementasi Pembelajaran Pragmatik dalam Kurikulum 2013
 di SMP N 3 Kabupaten Majalengka


Abstrak
Bahasa Indonesia menjadi penghela ilmu pengetahuan dalam implementasi kurikulum 2013. Peran bahasa sebagai alat komunikasi sangat penting untuk diperkuat dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini layak dilakukan dalam rangka menyongsong implementasi kurikulum 2013. Terkait dengan kebijakan pemerintah memberlakukan kurikulum 2013  pada tahun pelajaran 2013/2014 pada tanggal 15 Juli 2013. Hal terpenting yang harus ditingkatkan antara lain perubahan mindset guru, penedekatan saintifik, dan penilaian otentik. Guru wajib memahami pendekatan saintifik dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan pendekatan saintifik yang diintegrasikan dengan model pembelajaran berbasis proyek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning) merupakan upaya penerapan model pembelajaran inovatif di dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penerapan model-model pembelajaran inovatif dalam proses pembelajaran diharapkan dapat menghasilkan siswa yang aktif, kreatif, dalam berbagai konteks pembelajran. Dengan demikain, para siswa akan memiliki kompetinsi sikap religious (K1), kompetensi sikap sosial (K2), kompetensi pengetahuan (K3), dan kompetensi  keterampilan (K4) secara berimbang. Mengacu deskripsi di atas, pembelajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan saintifik diharapkan mampu menghasilkan siwa yang kompeten dan berkarakter unggul.
Kata kunci: pembelajaran, bahasa Indonesia, kurikulum 2013, dan generasi unggul.

Abstract
Indonesian language become a draft of the science in the implementation of the curriculum of 2013. The role of language as a means of communication is very important to be strengthened in learning Indonesian language. It is worth doing in order to meet the implementation of the curriculum of 2013. Related to this policy, the government imposed the curriculum of 2013 in the academic year 2013/2014 on July 15, 2013. The most important thing that should be improved are changes in the mindset of teachers, scientific approach, and authentic assessment. Teachers are required to understand the scientific approach in learning Indonesian language. By the scientific approach that is integrated with a model of project-based learning, problem-based learning, and discovery learning is an effort in implementing innovative teaching model in learning Indonesian language. Implementation of innovative learning models in the learning process is expected to produce students who are active and creative in different context of learning. Accordingly, the student will have the competence of religious attitude (K1), the competence of social attitudes (K2), the competence of knowledge (K3), and the competence of skills (K4) in balance. Referring to the above description, learning Indonesian language by the scientific approach is expected to produce students who are competent and have excellent character.
Keywords: learning, Indonesian language, curriculum of 2013, and excellent generation.



A.      PENDAHULUAN
Implementasi kurikulum 2013 sangat menarik untuk didiskusikan dalam berbagai konteks pembelajaran bahasa Indonesia. Ada tiga aspek utama dalam implementasi kurikulum 2013, yakni: (1) perubahan mind set, (2) keterampilan dan kompetensi guru, (3) kepemimpinan, kultur, dan manajemen sekolah (Gultom, 2013). Ketiga komponen tersebut menjadi dasar perubahan yang ingin dicapai dalam kurikulum 2013. Selama ini diakui atau tidak diakui dapat direfleksikan masing-masing untuk bertanya pada diri sendiri (guru dan dosen), “Apakah aku sudah profesional dan kompeten?” pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan bagi guru dan dosen di seluruh Indonesia. Saya yakin kalau yang menjawab guru dan dosen itu sendiri sudah pasti akan menjawab, “Saya profesional dan kompeten!”. Namun demikian bukan sekadar  jawaban itu yang diperlukan tetapi implementasi dan karya yang dihasilkan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut dalam pembelajaran.  
Menjawab refleksi di atas, dapat dikaji lebih mendalam selaras dengan penjelasan Iskandarwassid (2009:108) yang menjelaskan bahwa sifat khas dalam pembelajaran di kelas dapat dilihat dari :(1) sifat kealamiahan bahasa sasaran, (2) cara peserta didik dalam berkomunikasi, (3) ketersediaan model yang dapat ditiru, dan (4) adanya lingkungan yang mendukung untuk mencapai keberhasilan dalam berkomunikasi. Dengan demikian, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi bagi guru dan dosen menjadi teladan berbahasa bagi para siswa.
           
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah, guru, dan hasil observasi selama proses pengambilan data, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa kendala/masalah dalam implementasi Kurikulum 2013 SMP sasaran di SMP N 3 Kab. Majalengka. Masalah yang teridentifikasi adalah sebagai berikut.
  1. Selama ini tidak ada diskusi/komunikasi antarguru-guru pendamping dan antara guru pendamping dengan petugas Dinas (Pendamping Daerah/Pengawas)
  2. Guru pendamping menunggu instruksi dari dinas (legal formal), sedangkan Dinas Pendidikan kurang mengetahui adanya (Rencana Tindak Lanjut) RTL yang harus dikomunikasikan ke Dinas Pendidikan dan ditindaklanjuti.
  3. Hanya sebagian kecil guru sasaran yang mengajar di sekolah yang sama dengan sekolah guru pendamping sudah mendapat pendampingan.
  4. Pemahaman guru tentang pembelajaran saintifik masih perlu ditingkatkan, terutama untuk mata pelajaran non sains.
  5. Ada kecenderungan untuk membuat RPP untuk kurun waktu satu tahun, sehingga RPP kurang relevan dengan kebutuhan KBM. Masih terindikasi adanya mindset bahwa RPP merupakan formalitas yang akan dijadikan toloh ukur kualitas pendidikan.
  6. Guru masih perlu meningkatkan pemahaman tentang esensi penilaian, proses penilaian, instrumen penilaian, dan tujuan penilaian.
  7. Guru sangat membutuhkan dukungan formal dari Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan setempat dalam hal pendampingan dan kebijakan terkait, khususnya dalam implementasi kurikulum 2013.
Berdasarkan hasil pendampingan selama tiga hari efektif dan kegiatan curah pendapat dalm bentuk FGD untuk menampung berbagai keluhan dan kesulitan dalam implementasi kurikulum 2013. Khususnya pada (1) hasil penyusunan dan pengembangan RPP, (2) implementasi pendekatan saintifik dan model-model pembelajaran, dan (3) penialaian otentik. Berdasarkan hasil diskusi dan tanya jawab, diperoleh simpulan bahwa:
1.     Guru-guru masih memerlukan proses secara kontinu untuk memiliki mind set perubahan dari KTSP ke KTSP 2013.
2.     Guru-guru sudah dapat menyusun dan mengembangan RPP sesuai dengan hasil pendampingan pertama. Namun demikian diperlukan pembiasaan serta desiminasi kepada guru-guru lain ketika tahun depan akan diimplementasikan secara menyeluruh di semua kelas dan jenjang sekolah.
3.     Guru-guru sudah menerapkan pendekatan saintifik dalam pembelajaran tetapi belum maksimal. Masih diperlukan berbagai pemodelan dalam pendekatan saintifik untuk memperkaya model-model yang dapat diterapkan oleh para guru di sekolah.
4.     Guru-guru masih memiliki kesulitan khsusnya pada penilaian proses dan sikap. Karena banyaknya siswa yang harus dinilai membuat guru agak kesulitan. Oleh karena itu, ada sekolah yang mencoba mengembangkan sistem untuk mengisi uraian deskriptif penilaian para siswa.
Penelitian ini merupakan hasil penelitian dari hasil monitoring dan evaluasi implementasi kurikulum 2013 di SMP N 3 Kabupaten Majalengka. Implementasi kurikulum 2013 di SMP N 3 Kabupaten Majalengka memberikan gambaran yang beraneka ragam. Namun dalam penelitian ini difokuskan pada: (1) bagaimana pembentukan sikap religius (K1) sebagai wujud pembentukan karakter dan implementasi pembelajaran pragmatik dalam kurikulum 2013? dan (2) bagaimana pembentukan sikap religius (K1) sebagai wujud pembentukan karakter dan implementasi pembelajaran pragmatik dalam kurikulum 2013? 

B.    Metode  Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan data dan sumber referensi dan wawancara dengan narasumber. Tulisan ini mengambil objek dan refleksi imlementasi kurikulum 2013 di SMP N 3 Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi, dan focus group discussion (fgd). Penelitian ini dijelaskan secara deskriptif dengan berbagai fakta. Hasil wawancara, observasi, dan fgd yang ditemukan secara terintegratif. Teknik analisis dilakukan adalah model mengalir, Miles dan Huberman (2009, 15-20) yaitu (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan simpulan/verivikasi. Kesimpulan dibuat dengan teknik deduktif, yaitu dari penjelasan umum menuju fakta-fakta khusus sebagai kesimpulan.

C.    Hasil dan Pembahasan
Implementasi kurikulum 2013 mewajibkan empat kompetensi inti yang harus dimiliki siswa. Empat kompetensi tersebut adalah: (1) kompetensi sikap religius (K1), (2) kompetensi sikap sosial (K2), (3) kompetensi pngetahuan (K3), dan (4) kompetensi keterampilan (K4). Dalam rangka merealisasikan empat kompetensi inti tersebut diperlukan upaya dari berbagai pihak untuk bersinergis, yakni guru, dosen, siswa, dan pengambil kebijakan. Pengambil kebijakan yang dimaksud adalah kepala sekolah, pengawas, dan kepala dinas pendidikan. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di SMP N 3 majaelngka, Jawa Barat dapat dijelaskan sebagai berikut.

C.1 Upaya Pembentukan Sikap Religius (K1) di SMP N 3 Majalengka.
            Berbagai upaya untuk mewujudkan pembentukan sikap religius (K1) di SMP N 3 Majalengka dapat dideskripsikan sebagai berikut.

1. Guru Harus Profesional dan Berkarakter
Seorang guru memiliki tugas mulia untuk mendidik, membimbing, dan mengarahkan seperti dalam UU Guru dan Dosen. Guru harus menjadi teladan bukan sekadar memberi teladan. Selain itu, guru dan dosen harus dapat menjadi contoh bukan sekadar memberi contoh dalam berbagai konteks kehidupan (Rohmadi, 2012:2). Guru dan dosen professional menurut pasal 1 UUGD sebagai berikut. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (pasal 1) dan dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Merujuk paparan di atas, guru dan dosen memiliki peran penting sebagai seorang “sutradara pembelajaran” di dalam atau luar kelas.
Merujuk paparan di atas, ada beberapa dimensi yang mampu membentuk sikap profesioanlisme dan karakteristik guru antara lain: guru harus mmapu menjadi pembelajar, pemimpin, motivator dalam pembelajaran, pengelana/penjelajah keilmuan, inovator, penghibur, pelatih dan pembimbing sejati, manusia sejati, optimis, kolaborator, dan revolusioner. Pemikiran-pemikiran tersebut dikembangkan dari pemikiran Sandy, Suparlan, dan Rachmawati (2013:11); Allen (1973). Dengan demikian, guru harus mampu menunjukan kreativitas, profesionalitas, dan karakteristik secara berkelanjutan dalam berbagai konteks kehidupan. Hal ini menjawab tantangan mengenai dehumanisasi pembelajaran yang disampaikan oleh Prawiradilaga (2012:42) yang mempertanyakan bahwa di era 1970-an keberadaan teknologi pendidikan dipertanyakan, apakah akan menggantikan peran guru, atau “mengurangi” nilai-nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik. Jawabnya bergantung pada guru dalam membimbing dan mengarahkan dalam mewujudkan keteladanan.
Guru harus dapat belajar dari apa yangdijelaskan Ginanjar (2007:170) bahwa Archimedes telah “membaca” air yang tumpah, ketika dirinya masuk ke dalam bath tub. Kemudian ia menelaah, meneliti, dan memelajari hal itu secara sungguh-sungguh, dan akhirnya ia pun berhasil “melihat” salah satu “ketentuan Tuhan”. Berangkat dari pelajaran dan renungan tersebut, seorang guru dan dosen harus menunjukkan sikap keteladanan dalam berbagai konteks kehidupan. Keteladanan itulah wujud implementasi karakter yang sesungguhnya, seperti jujur, bertanggung jawab, bekerja sama, memiliki kemandirian, santun, memiliki empati, dan lain-lain. Dengan perwujudan keteladanan tersebut maka diyakini, seluruh peserta didik akan mengikuti dan menerapkan apa yang kita ajarkan dengan pendekatan kasih sayang dan hati. Itulah sosok guru dan dosen yang professional dan berkarakter.

2. Guru harus Menerapkan Pembelajaran Kritis dan Kreatif
Terkait dengan perubahan paradigma berpikir bagi guru profesional harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi telah menjadi salah satu prioritas dalam pembelajaran di sekolah. Apabila kita kaji secara mendalam bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia diberikan kepada semua peserta didik untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama.  Pada deskripsi ini ditegaskan pula bahwa pembelajaran bahasa  dan sastra Indonesia di  sekolah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah dalam berkomunikasi, merancang  aneka model komunikasi, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh dalam berkomunikasi dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga menimbulkan sikap santun dan empati.  Pertanyaannya adalah: bagaimana kita sebagai guru dan dosen memfasilitasi siswa atau mahasiswaa untuk menjadi pemikir (thinker) dan pemecah masalah (problem solver) yang lebih baik dalam berbagai konteks komunikasi?  Jawabnya sederhana: Jadikan kelas bahasa dan sastra Indonesia sebagai tempat bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan berkreasi bagi mereka.  Dengan demikian, lahirlah karya-karya kreatif yang penuh dengan ide dan gagasan kreatif dalam berbagai konteks kehidupan.
Pengajaran bahasa dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi dilandasi dua filosofi.  Pertama harus ada materi atau pelajaran khusus tentang berpikir.  Kedua, mengintegrasikan kegiatan berpikir ke dalam setiap pembelajaran  bahasa dan sastra Indonesia.  Dengan demikian, keterampilan berpikir terutama berpikir tingkat tinggi harus dikembangkan dan menjadi bagian dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara berkelanjutan.  Dengan pendekatan ini, keterampilan berpikir dapat dikembangkan dengan cara membantu siswa menjadi problem  solver yang lebih baik dengan diientegrasikan pendekatan saintifik.  Untuk itu, guru harus menyediakan masalah (soal) yang memungkinkan siswa menjadikan soal terebut objek diskusi dan siswa menggunakan keterampilan berpikir tingkat tingginya dalam proses pembelajaran. Dengan demikain, para siswa akan memanfaatkan model discovery learning dan problem based learning dalam proses pembelajarannya untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 

3.    Guru Harus memiliki Kompetensi Inti dalam Kurikulum 2013

Guru-guru di SMP N 3 Majalengka harus menguasai empat kompetensi utama, yakni pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. Selain itu, seorang guru dalam mengimpelemtasikan kurikulum 2013 berdasarkan indikator ketercapaian tujuan dan kompetensi inti, bahwa guru harus memiliki (BBPSDM, 2013); Paddila (1985): (1) sikap yang terbuka untuk menerima Kurikulum 2013, (2) keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (3) pemahaman yang mendalam tentang Kurikulum 2013 (filosofi, rasional, elemen perubahan, strategi implementasi, Kompetensi Inti (KI), dan Kompetensi Dasar (KD)), (4) keterampilan menganalisis keterkaitan antara Standar Kompetensi Kelulusan (SKL), Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), Buku Guru, dan Buku Siswa, (5) keterampilan menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP) dengan mengacu pada Kurikulum 2013, (6) keterampilan mengajar dengan menerapkan pendekatan Scientific secara benar, (7) keterampilan mengajar dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning, Project Based Learning, dan Discovery Learning, (8) keterampilan melaksanakan penilaian autentik dengan benar, dan (9) keterampilan berkomunikasi lisan dan tulis dengan runtut, benar, dan santun.
Merujuk kompetensi yang harus dimiliki oleh guru di atas dapat dideskripsikan bahwa guru harus menggunakan pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Selain itu, tiga model pembelajaran, problem based learning, project based learning, dan discovery learning, secara terintegratif harus diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dengan demikian, guru dituntut mampu membangun konteks, menanyakan, mendiskusikan, mendemostrasikan, dan memperesentasikan berbagai tema dalam pembelajaran secara terintegratif.

C.2 Upaya Pembentukan Sikap Sosial (K2) dalam Pembelajaran di SMP N 3 Majalengka
            Berbagai upaya dalam rangka pembentukan sikap religius (K1) tidak dapat terlepas dari pembentukan sikap sosial (K2). Hal ini merupakan dua kompetensi yang saling mengisi dalam pembentukan karakter siswa di dalam pembelajaran sebagai upaya pementukan karakter siswa dan implementasi pembelajaran pragmatik. Pembelajaran paragmatik melibatkan kontekstual pembelajaran di luar bahasa. Hal ini seperti yang dijelaskan Wijana dan Rohmadi (2009: 5) bahwa pragmatik adalah pembelajaran bahasa yang terikat konteks. Upaya-upaya pembentukan sikap sosial (K2) di SMP N 3 Majalengka dapat dijabarkan sebagai berikut.

  1. Guru harus Kaya Metode dan Media Pembelajaran Inovatif 
Dalam implentasi kurikulum 2013 di SMP N 3 Majalengka guru diwajibkan untuk menerapkan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran karena diyakini pendekatan ilmiah sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. (BBPSDM, 2013:153). Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran yang lain juga menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach) yang menyentuh pada tiga ranah, sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendekatan ilmiah dalam pembelajaran meliputi: (1) mengamati, menanya, menalar, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran, termasuk bahasa Indoneisa. Namun demikian, pendekatan ini tidak serta merta menjadi satu-satunya pendekatan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, dalam konteks tertentu, pendekatan pembelajaran yang tidak selaras dilakukan dengan pendekatan saintifik perlu mengedepankan sifat-sifat ilmiah dan membebaskan diri dari pendekatan nonilmiah. Hal ini dapat diperhatikan dalam implementasi pembelajaran empat keterampilan berbahasa.
Pendekatan saintifik menjadi pendekatan utama untuk membentuk sikap religious (K1) dalam pembelajaran di SMP N 3 Majalengka. Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran.Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deductivereasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.

Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik.Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis (BBPSDM, 2013).

            Berdasarkan hasil observasi, bahwa guru di SMP N 3 Majalengka menerapkan pendekatan ilmiah/saintif masih memerlukan koordinasi dan refleksi lebih lanjut. Hal ini lebih banyak disebabkan karena masih belum dipahami secara utuh konsep penggunaan pendekatan saintifik tersebut dalam pembelajaran. Faktor utama kesulitan guru adalah untuk mengesplor materi-materi yang digunakan dalam konsep lima M, yakni mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan menyajikan. Berdasarkan hasil evaluasi proses, para siswa begitu antusias dalam pembelajaran. Piranti-piranti pragmatik dalam interaksi pembelajaran anatar guru dan siswa juga begitu antusias. Hal ini mebuktikan bahwa implementasi pembelajaran pragmatik dengan pendekatan saintifik dalam rangka pembentukan sikap religious  (K1) dan sikap sosial (K2) di SMP N 3 Majalengka cukup berhasil. 

2.   Guru Mengimplemntasikan Pendekatan Ilmiah dan Nonilmiah dalam Pembelajaran

Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Paparan berkaitan dengan pendekatan ilmiah atau saintifik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia telah memberikan gambaran yang jelas dalam menumbuhkan kreativitas siswa (Saddhono, 2013: 439-444). Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen. Proses pembelajaran  dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaida-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
1.     Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2.     Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3.     Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
4.     Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
5.     Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
6.     Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapatdipertanggung-jawabkan.
7.     Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
Deskripsi proses pembelajaran tersebut sangat erat kaitanya dengan implementasi kurikulum 2013. Hal ini dapat dilihat paparan pendekatan nonilmiah di SMP N 3 majalengka selaras dengan pendekatan ilmiah (BBPSDM, 2013:23). Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi, akal sehat,prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.
1.      Intuisi.
Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.
2.      Akal sehat.
Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3.      Prasangka.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas.
Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4.      Penemuan coba-coba.
Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban.
Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang  seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala.
5.      Berpikir kritis.
Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.


3.      Guru Menerapkan Pembelajaran Pragmatik dengan Pendekatan Saintifik

Guru-guru SMP N 3 majalengka menerapkan pendekatan ilmiah/pendekatan saintifik. Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’. Ranah keterampilan  menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘bagaimana’. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’.Hasil akhirnya adalahpeningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik(soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills)dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran semua mata pelajaran meliputi menggali informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi  tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran disajikan berikut ini.

Mengamati

            Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan  tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran. Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.

Menanya

Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif! Fungsi bertanya dalam pembelajaran di SMP N 3 Majalengka ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
1)     Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian  peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
2)     Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
3)     Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya.
4)     Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan.
5)     Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
6)     Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir,  dan menarik  simpulan.
7)     Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
8)     Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul.
9)     Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
Dalam rangka mengimplementasikan pembelajaran pragmatic dan kurikulum 2013 yang bersinergis, guru-guru SMP N 3 Majalengak menerapkan dengan aneka pertanyaan. Hal ini sebagai bentuk penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran untuk membentuk sikap religious (K1) dan sikap sosial (K2).
Berbagai implementasi tindak tutur pertanyaan guru yang baik dan benar menginspirasi peserta didik untuk memberikan jawaban yang baik dan benar pula. Guru harus memahami kualitas pertanyaan, sehingga menggambarkan tingkatan kognitif seperti apa yang akan disentuh, mulai dari yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi. Bobot pertanyaan yang menggambarkan tingkatan kognitif yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi disajikan berikut ini.

 

Menalar

Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.  Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori.
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum.Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik.
Contoh:
1. Singa binatang berdaun telinga, berkembang biak dengan cara melahirkan.
2. Harimau binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan.
3. Ikan Paus binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan melahirkan.
4. Simpulan: Semua binatang yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus. Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif tedapat premis, sebagai proposisi menarik simpulan. Penarikan simpulan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu  langsung dan tidak langsung. Simpulan secara langsung ditarik dari satu premis,sedangkan simpulan tidak langsung ditarik dari dua premis.
Contoh :
1.       Kamera adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
2.       Telepon genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperas.
3.       Simpulan: semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.

Mencoba (eksperimen)
Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan eksperimen dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ketiga tahapan eksperimen dimaksud dijelaskan berikut ini.

Persiapan

1)     Menentapkan tujuan eksperimen
2)     Mempersiapkan alat atau bahan
3)     Mempersiapkan tempat eksperimen sesuai dengan jumlah peserta didikserta alat atau bahan yang tersedia. Di sini guru perlu menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan eksperimen secara serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok secara paralel atau bergiliran
4)     Memertimbangkan masalah keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau menghindari risiko yang mungkin timbul
5)     Memberikan penjelasan mengenai apa yang harus diperhatikan dan tahapa-tahapan yang harus dilakukan peserta didik, termasuk hal-hal yang dilarang atau membahayakan.

Pelaksanaan

1)     Selama proses eksperimen, guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan. Di sini guru harus memberikan dorongan dan bantuan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik agar kegiatan itu berhasil dengan baik.
2)     Selama proses eksperimen, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan, termasuk membantu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat kegiatan pembelajaran.

Tindak lanjut

1)     Peserta didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada guru
2)     Guru memeriksa hasil eksperimen peserta didik
3)     Guru memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil eksperimen.
4)     Guru dan peserta didik mendiskusikan masalah-masalah yang ditemukan selama eksperimen.
5)     Guru dan peserta didik memeriksa dan menyimpan kembali segala bahan dan alat yang digunakan.

Jejaring Pembelajaran atau Pembelajaran Kolaboratif/ Menyajikan Hasil

Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerja sama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif untuk mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru dan fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar. Sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika  pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama. 

D.    Penutup
Perubahan maind set guru sangat penting dalam pembentukan sikap religious dan sosial siswa sebagai implementasi pemeblajaran pragmatic dan kurikulum 2013. Dengan menimplementasikan pendekatan saintifik dan model pembelajaran berbasis masalah, proyek, dan penemuan yang terintegrasi dengan penilaian berbasis autentik semakin lengkap. Dengan demikian diperlukan upaya pengembangan wawasan dan peningkatan profesionalisme guru dan dosen dalam berbagai konteks pembelajaran. Maka akan lahirlah generasi-generasi bahasa yang unggul dan berkarakter sebagai seorang teladan dalam masyarakat. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bersama, guru  untuk menanamkan rasa memiliki dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia yang dijadikan penghela dalam implementasi kurikulum 2013. Mari teriakkan bersama-sama dalam berbagai konteks dan di seluruh pelosok tanah air.
Berdasarkan paparan dan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) pembentukan sikap religius (K1) sebagai wujud pembentukan karakter dan implementasi pembelajaran pragmatik dalam kurikulum 2013 di SMP N 3 Majalengka diwujudkan melalui integrasi dan komitmen guru, siswa, dan kepala sekolah khususnya dalam proses pembelajaran dan pembiasaan dan (2)  pembentukan sikap sosial (K2) sebagai wujud pembentukan karakter dan implementasi pembelajaran pragmatik dalam kurikulum 2013 di SMP N 3 majalengka dilakukan melalui aneka tindak tutur mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan menyajikan. Dengan mengimplementasikan dan mengintegrasikan kedua kompetensi sikap religious dan sikap sosial tersebut, guru dan siswa di SMP N 3 Majalengka lebih dapat memahami wawasan keilmuan dan praktiknya dalam kehidupan.  



Daftar Pustaka
Allen, L. (1973). An Examination of the Ability of Third Grade Children from the Science Curriculum Improvement Study to Identify Experimental Variables and to Recognize Change. Science Education, 57, 123-151.

BPSDMPK dan PMP. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemndikbud.

Ginanjar A., Ary. 2007. Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: ARGA Publishing.

Gultom, Syawal. 2013. “Perubahan Mindset Guru dan Dosen” Makalah dalam rangka sosialisasi kurikulum 2013 di FKIP UNS.

Iskandarwassid dan Dadang S. 2009. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosda Karya.

Milles, Matthew & A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (Buku sumber tentang Metode-metode Baru). Jakarta: UI Press.
Padilla, M., Cronin, L., & Twiest, M. (1985). The Development and Validation of the Test of Basic Process Skills. Paper Presented at the Annual meeting of the National Association for Research in Science Teaching, French Lick, IN.

Prawiradilaga, Dewi Salma. 2012. Wawasan Teknologi Pendidikan. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Rachmawati, T. Sandy, Suparlan, dan Daryanto.2013. Penilaian Kinerja Guru dan Angka Kreditnya. Yogyakarta: Gava Media.

Rohmadi, M. 2012. Menjadi Guru Profesional dan Berkarakter. Surakarta: Yuma Pustaka.

Rohmadi, M. 2013. “Peningkatan Kompetensi Guru dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai upaya Penguatan Jati Diri Bangsa di Era Global” dalam buku  Pendidikan Profesi dan Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surakarta: Ikatan Alumni MPB Pascasarjana UMS.

Saddhono, Kundharu. 2013. “Pendekatan Scientific pada Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dalam Kurikulkum 2013” dalam Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNS.

Wijana, I Dewa Putu. Dan M. Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.

0 Response to "Pembentukan Sikap Religius (K1) dan Sikap Sosial (K2) melalui Pendekatan Saintifik sebagai Wujud Pembentukan Karakter Siswa sebagai Implementasi Pembelajaran Pragmatik dalam Kurikulum 2013"

Post a Comment